"If you ain’t scared, you ain’t human."
Sesungguhnya banyak alasan mengapa film young-adult
dengan tema dystopia terbaru ini
tampak meragukan, berasal dari sektor pendanaan yang ia miliki, jadwal rilis
yang seolah menghindar dari hingar bingar summertime dan akhir tahun yang
selalu menjadi sasaran lezat meraup keuntungan, begitupula dengan hype yang dapat dikatakan hanya besar
dikalangan mereka yang telah membaca novelnya. Tapi dibalik berbagai hal
pesimistis tadi film ini mampu untuk tidak menjadi kemasan sci-fi post-apocalyptic terbaru yang membuat penonton mulai jenuh
dengan sub-genre tersebut. The Maze
Runner, a not bad introduction.
Pria muda bernama Thomas
(Dylan O'Brien) langsung dihantui rasa bingung ketika ia mendapati dirinya
telah berada disebuah tempat misterius, sebuah perkampungan kecil yang berada
tepat ditengah labirin berukuran raksasa yang mengelilinginya. Thomas bahkan
pada awalnya tidak mengetahui namanya sendiri, hal yang juga pernah dialami
oleh puluhan anak laki-laki lain yang menyebut diri mereka the Gladers, mereka yang telah terlebih dahulu terdampar disana
dengan cara yang sama, melalui sebuah elevator yang mereka sebut The Box, kemudian bangun, lupa ingatan,
dan bingung.
Para penghuni terdahulu terus melakukan metode yang
sama untuk mencari jalan keluar, di bawah pimpinan Alby (Aml Ameen) mereka mengirimkan sekelompok pelari yang
dikomandoi oleh Minho (Ki Hong Lee)
untuk masuk kedalam labirin yang berubah bentuk secara periodik itu di pagi
hari dan kemudian pulang menjelang malam hari. Formula yang terus menjebak itu
ternyata tidak berhasil menangkap Thomas, yang kemudian membawa perubahan bagi
mereka yang menghasilkan masalah lain yang ikut melibatkan dua sosok penting
lainnya, Newt (Thomas Sangster Brodie)
dan Gally (Will Poulter).
Ketika anda tahu bahwa sebuah film punya materi yang
mumpuni untuk mempermainkan rasa penasaran dan membawa anda kedalam petualangan
penuh kompleksitas tingkat tinggi, tapi ternyata yang kemudian hadir dihadapan
anda adalah kombinasi tadi dalam kualitas satu grade dibawah ekspektasi,
menjadikan ia tidak terasa sebagai sesuatu yang berbeda, satu kata yang tepat
untuk mewakili situasi tersebut adalah mengecewakan. Mungkin sederhananya
begitu apa yang saya tangkap dari pernyataan seorang rekan yang merupakan
reader dari novel karya James Dashner
yang menjadi basis kisah yang ditulis ulang Noah
Oppenheim, Grant Pierce Myers,
dan T.S. Nowlin ini. Lantas bagaimana
dengan mereka yang bukan reader?
Jawabannya adalah tentu saja berbeda. Bukan berarti
saya mengatakan jika anda penonton yang belum membaca novelnya anda akan dengan
mudahnya menyukai petualangan sempit ini, tapi hanya dengan mengandalkan premis
sangat menarik yang ia miliki (meskipun akan mulai terasa standard dengan
populernya konflik serupa sekarang ini), apa yang Wes Ball tampilkan selama hampir dua jam itu mampu memberikan
sebuah petualangan dangkal yang tidak membosankan. Ya, sedikit bingung juga
sebenarnya dimana ketika melangkah keluar tidak ada perasaan jengkel seperti
yang eksis di beberapa film young-adult serupa yang hadir belakangan ini (non Hunger Games tentu saja), ada
petualangan cekatan yang cukup menyenangkan.
Ya, kalimat terakhir tadi itu mungkin bisa mewakili
apa yang diberikan oleh The Maze Runner,
hiburan standard yang cekatan. Ada daya tarik yang konsisten disini yang mampu
menahan penonton untuk tidak pergi menjauh, kumpulan berbagai pertanyaan yang
kehadirannya seperti menjadi pewarna yang sengaja ditempatkan di panggung
utama, untuk kemudian menutupi berbagai minus yang mayoritas berasal dari
miskinnya pesona yang ia punya. Upaya untuk bertahan hidup terus ditekan
disini, misteri yang jika dicermati sebenarnya tidak terbangun dengan baik itu
anehnya tetap mampu mencuri atensi, mondar-mandir dalam gerak cepat yang
mungkin akan mengingatkan anda dengan beberapa games di gadget yang telah
populer, menebar ketegangan yang tidak begitu buruk untuk menemani karakter
yang seperti di set untuk selalu tampak bingung dan takut.
Standard memang, seperti daur ulang dengan berbagai
sentuhan kecil dari pattern sci-fi dystopia yang uniknya menolak untuk
mempermainkan penontonnya dengan kisah romansa. Ya, keputusan yang terbilang
efektif memang, karena hingga akhir yang bermain di pikiran kita adalah
labirin, jalan keluar, dan kebebasan yang menjadi impian dari karakter yang
disini tidak dapat dipungkiri terasa charmless,
terasa datar tanpa sebuah pertumbuhan yang mumpuni, terkesan hanya ditempel
didalam cerita tanpa dipersenjatai dengan kompleksitas yang mumpuni dalam
menghadapi konflik yang ada didepan mereka. Alur cerita juga banyak terbantu
oleh thrill dari visual, bahaya dari kematian dan misteri perlahan terasa
mengalami degradasi energi semakin jauh kita berjalan bersama mereka.
Sebut saja ini sebagai kemasan uji coba dari Fox yang mungkin sedang mencari
pengganti di sektor ini dengan Percy Jackson
yang masih belum jelas masa depannya itu, budget yang terbilang kecil, dan
seperti yang dibahas diawal tadi ia tidak ditempatkan di time slot yang
mumpuni. Mudah untuk menilai The Maze
Runner hal tadi karena film ini seperti hanya ingin menggoda penontonnya,
karena tidak ada rasa percaya diri yang kuat dari Fox pada film ini, upaya yang terlihat memang terlihat setengah
hati, seperti hanya ingin agar kita berkenalan dengan karakter dan pondasi
masalah yang mereka punya, dan kemudian menantikan film keduanya. Tidak heran
divisi akting tidak punya performa yang standout, mereka hanya ditemani dengan
kebingungan serta teror yang mayoritas datang dari scoring, dan juga visual
yang telah menjadi keahlian Wes Ball.
Overall, The
Maze Runner adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah kemasan uji coba yang
kurang rapi yang hanya berniat mencoba menggoda penontonnya dengan petualangan
standard dan cekatan, yang uniknya terasa cukup menyenangkan, sebuah perkenalan
pada perjuangan bertahan hidup berisikan rasa takut dan bingung dari karakter
yang memang tidak ingin terlihat megah dan hanya ingin menjauh dari segala
kegagalan skala besar pada masalah umum yang identik dengan tema yang ia bawa.
Standard, tapi cukup menyenangkan. Apakah anda tergoda untuk film kedua?
0 komentar :
Post a Comment