Orang-orang yang tidak puas dengan limit pada
kemampuan yang mereka miliki, dan kemudian berupaya untuk menghasilkan sesuatu
yang jauh lebih besar dari batas tadi tentu saja layak diberikan apresiasi.
Tapi yang menjadi masalah mampu atau tidak mereka mengendalikan dan menangani
segala permasalahan yang otomatis jauh lebih besar yang akan menghampiri mereka.
Film ini menjadi contoh dari hal tersebut, dalam konteks filmmaking. The Longest Week, an uncompelling rom-com.
Conrad Valmont (Jason
Bateman) merupakan pria
yang selama ini hidup dalam kemewahan, ia punya supir pribadi, hidup makmur
tanpa beban dimana ia dapat saja mengelilingi Manhattan seharian bersama anjing
kesayangannya tanpa rasa takut pada
kehidupannya. Tapi suatu ketika pria yang masih belum menemukan arah dalam
kehidupannya ini dihadapkan pada sebuah kabar mengejutkan dimana kedua orangtuanya
sedang berada dalam tahap perceraian, dan keduanya sepakat untuk berhenti
membiayai Conrad Valmont, yang memaksanya untuk merubah gaya dan mulai
membangun kembali kehidupannya sendiri.
Tapi ternyata pilihan pertama Conrad berbeda,
ketimbang menyewa tempat tinggal dan mulai mencari pekerjaan ia justru
menumpang dengan temannya, Dylan (Billy
Crudup), sosok yang justru membawa masalah baru bagi mereka. Adalah wanita
bernama Beatrice (Olivia Wilde) yang
menjadi penyebabnya, seorang model yang telah lama dikagumi oleh Dylan, namun
dengan mudahnya justru jatuh kedalam pelukan pria playboy yang tidak dewasa dan sedang berada dalam kebangkrutan,
Conrad Valmont.
Dimulai dengan prolog dan diakhiri oleh epilog, selama
86 menit kita akan memperoleh sebuah kisah romansa kota New York yang seperti menjadi upaya untuk menggabungkan Woody Allen dan Wes Anderson. Ya, itu yang pertama kali terlintas di benak saya
dimana cerita yang ditulis oleh sang sutradara, Peter Glanz, ini terasa ingin bercerita dengan cara menenggelamkan
mood anda lewat penceritaan yang santai dan ringan, tapi disisi lain ia juga
berupaya menjadikan kisah cinta yang klasik dan sangat standard itu seolah
bergelora luar biasa di balik ketenangan tadi, caranya dengan tanpa henti
berusaha memberikan pergerakan visual layaknya sebuah orchestra ditemani dengan
narasi serta dentingan piano dan suara biola yang melengkapi gambar-gambar yang
tampil cukup mumpuni.
Perpaduan dua hal tadi tentu saja merupakan sesuatu
yang menarik, asalkan mereka mampu di kombinasikan dengan tepat untuk kemudian
secara bergantian mempermainkan penonton dengan dinamika cerita yang terasa
hidup. Nah, itu dia yang tidak dimiliki film ini, dan dapat dikatakan menjadi
sumber malapetaka luar biasa yang menarik jatuh potensinya untuk sekedar
menjadi rom-com standard yang manis diawal itu. Menyaksikan The Longest Week ibarat menjadi seorang
pengendara motor yang terjebak traffic jam, kemudian memutar arah untuk mencari
jalan alternative lain, tapi pada akhirnya kembali terjebak didalam kemacetan,
terus berulang hingga akhirnya merasa bingung, bosan, dan jengkel.
Ya, macet, ini adalah film yang penuh percaya diri
bahwa apa yang ia berikan akan mampu berjalan dan mengalir dengan baik, tapi
sayangnya apa yang dirasakan penonton justru sebaliknya, segala kesibukan
bersama permainan palet pada visual itu tidak pernah membawa penonton untuk
lebih dekat dengan sasaran yang ingin ia capai. Script menjadi masalah utama
disini, secara konsisten ia tampak malas untuk memperindah upaya sophomore yang
ia bawa dengan memberikan konflik dan karakterisasi yang mumpuni, mayoritas
dari mereka terasa seperti dilempar bebas begitu saja dan membiarkan penonton
untuk menangkap sendiri makna dari permasalahan cinta itu. Celakanya tidak ada
irama yang mampu membuat kita terombang-ambing dengan cara yang menyenangkan
bersama karakter.
Jadi bukan sesuatu yang mengherankan ketika penonton
mulai tenggelam dalam rasa bosan, karena tidak ada penceritaan yang menarik
disini, hanya sebuah rom-com yang ingin sukses tanpa mau berusaha lebih keras,
petualangan sederhana yang ingin tampak pintar dan lucu tapi tidak berhasil
menciptakan materi yang dapat mendukung ia untuk mencapai hal tersebut, dengan
berani menempatkan penonton untuk berjalan bersama permainan suasana hati tapi
tidak mampu untuk terus memupuk pesona karakter yang menjadi faktor kunci
keberhasilan sektor tersebut, karakter yang mampu membuat penonton merasakan
apa yang mereka rasakan, serta masalah yang mereka hadapi mempunyai kepentingan
yang besar bagi kehidupan mereka.
Andai saja Peter
Glanz tidak berupaya terlalu keras untuk tampil beda di debutnya ini,
sedikit menekan kesan eksperimental dan menjadikan kombinasi antara visual dan
cerita terasa lebih padat, ini dapat menjadi sebuah rom-com yang sederhana dan
manis, bukannya petualangan selama satu minggu yang bergerak liar,
tergesa-gesa, dan berbelit-belit tanpa
sebuah tujuan yang kuat. Ia bahkan membuang percuma potensi dari divisi akting,
Jason Bateman miskin pesona karena
yang ia lakukan kebanyakan memberika ekspresi bingung yang hambar, tugasnya
untuk menjadi objek bagi kritik juga berakhir mentah. Olivia Wilde yang semestinya mejadi pendamping justru terasa
seperti tempelan, hal yang juga dialami oleh Billy Crudup yang dibiarkan berputar-putar tanpa sesuatu yang
menarik.
Overall, The
Longest Week adalah film yang tidak memuaskan. Drama yang melelahkan,
sederhana mungkin seperti itu, sebuah rom-com yang berupaya agar hiburan yang
ia berikan terlihat serius, tapi dibalik itu ia tidak manganggap serius hal-hal "serius" dari sebuah rom-com ketika membangun
hiburan tersebut. The Longest Week mencoba
terlalu keras untuk menjadi sebuah komedi romantis yang pintar, tapi ia tidak
pintar dalam membentuk berbagai elemen wajib dari sebuah rom-com untuk bekerja
dengan baik, cerita yang macet, karakter yang minim pesona, dan berakhir
menjadi sebuah drama yang datar.
0 komentar :
Post a Comment