Bukan hanya mungkin, tapi Ju-on (terutama Ju-on: The
Grudge) telah menjadi jawaban yang sangat akrab dengan pertanyaan “film horor
paling creepy”, kombinasi dari anak kecil bertubuh putih, suara periodik yang
chilling, hingga ketenangan yang kemudian dihajar oleh kejutan visual, an
instant favourite. Jadi bukan sesuatu yang aneh ketika franchise mereka mulai
menunjukkan grafik menurun kemudian pilihan reboot itu diambil, karena resiko
dari mengulang kembali sesuatu yang telah usang cukup kecil di genre horor. Ju-on: The Beginning of the End (Ju-on:
Owari no Hajimari), still loyal, still fun.
Wanita muda manis bernama Yui Shono (Nozomi Sasaki) dengan penuh rasa gembira menghubungi
kekasihnya, Naoto Miyakoshi (Sho Aoyagi),
setelah mendapatkan pekerjaan sebagai guru tetap di sebuah sekolah dasar.
Tapi tidak butuh waktu lama masalah langsung menghampiri Yui, sumbernya adalah
seorang murid bernama Toshio Saeki (Kai
Kobayashi) yang telah lama absen tanpa kabar yang jelas. Sikap kepala
sekolah yang seolah tertutup semakin memperbesar rasa penasaran Yui, yang
kemudian memutuskan untuk datang ke rumah Toshio dan menemui orang tuanya.
Celakanya rumah Toshio telah lama di juluki sebagai
rumah angker, rumah dimana orang yang telah masuk kedalamnya akan keluar
bersama kutukan yang terus menghantui mereka. Hal tersebut ternyata bukan
sekedar mitos belaka, karena setelah masuk dengan langkah berani kedalam rumah
tersebut Yui kemudian harus menjalani hari-harinya bersama perasaan aneh, hal
yang juga dialami oleh empat pelajar yang pernah iseng untuk masuk kedalam
rumah tersebut, Yayoi (Yuina Kuroshima),
Aoi (Haori Takahashi), Rina (Miho Kanazawa), dan Nanami (Reina Triendl).
Tidak banyak yang akan menyangkal jika anda
berpendapat bahwa kisah yang kini berada dibawah kendali sosok baru ini, Masayuki Ochiai dan Takashige Ichinose, merupakan kemasan copy-paste dari pendahulunya,
karena faktanya memang begitu. Formulanya masih sama, bahkan jika menilik
hingga hal-hal detail para penonton yang sebelumnya pernah menyaksikan film
yang menjadi dasarnya itu mungkin akan sulit untuk menjaga agar memory mereka
tidak melakukan recall pada kejadian-kejadian di pendahulunya tersebut. Hampir
identik, bisa dikatakan seperti itu, ia masih menawarkan beberapa bab kecil
yang menguak masalah yang dihadapi dari tiap karakter, hingga kehadiran
elemen-elemen ikonik yang harus diakui akan memecah penontonnya.
Ya, memecah penonton, namun kali ini menjadi tiga
bagian. Penonton yang sama sekali belum pernah menyaksikan Ju-on akan sulit untuk menampik bahwa mereka tidak gembira dengan
apa yang diberikan oleh Masayuki Ochiai
dan timnya ini, berbagai formula klasik khas haunted house yang meskipun
penceritaannya terpecah dan mungkin terkesan terputus-putus tetap mampu
mempertahankan atmosfir eerie yang kuat dan konsisten bersama dinamika yang
berani dan mumpuni. Ketegangan dan teror hadir dalam komposisi yang cermat dan
efektif disini, gerak naik dan turun yang menjadikan rasa penasaran itu tidak
pernah berjalan sendiri karena terus di iringi rasa waspada yang bekerja dengan
sangat baik untuk sekedar merubah posisi duduk penontonnya dari santai menjadi
siaga, dan seterusnya.
Bagaimana dengan mereka yang telah menyaksikan film
pendahulunya itu? Mereka akan terpecah lagi menjadi dua bagian. Pertama,
penonton yang kecewa kelas berat, mereka yang mengharapkan film ini mampu
menghidupkan kembali kisah lama itu dengan cara yang segar serta kualitas yang
sama baiknya, tidak hanya sekedar mengulangi apa yang pernah mereka nikmati
sebelumnya, yang bahkan celakanya kali ini beberapa elemen pembentuknya terasa
terlalu dipoles, hal yang menghilangkan daya dukung tambahan pada sensasi
menakutkan yang dihasilkan, sebut saja nada dan irama cerita yang terasa
sedikit lebih ceria, hingga setting yang terasa minimalis.
Namun Ju-on: The
Beginning of the End akan tetap terasa menyenangkan bagi mereka yang telah
menonton namun tidak mempersoalkan hal tadi, atau bisa dibilang telah terjebak didalam
petualangan yang diberikan kemasan terbaru ini. Saya berada di bagian ini,
mengalami recall pada memory, tersenyum ketika momen-momen yang potensial
memberikan kejutan itu hadir karena telah familiar, kesulitan untuk klik
terlalu dalam dengan narasi, rasa penasaran yang tidak begitu besar, namun
tetap mampu menikmati sensasi yang ia lemparkan, aksi petak umpet mengasyikkan
yang dihasilkan kombinasi permainan kamera serta score yang kencang itu. Pesona
itu masih ada meskipun tidak lagi kuat, gaya horror Jepang klasik yang dibentuk
bersama kegelisahan yang masih mumpuni.
Satu hal yang terasa cukup mengecewakan dari film ini
adalah kekuatan dari karakter yang ia miliki. Sebuah penurunan, Toshio yang dahulu menjadi senjata
paling ampuh kini mungkin sudah terasa biasa, karakter wanita juga minim daya
tarik dan terselamatkan berkat wajah yang mereka miliki. Hal tersebut yang
kerap menghambat potensi menakutkan untuk tampil maksimal, ekspresi wajah
mereka memang baik namun tidak dengan tatapan mata yang sering kosong, hal
penting yang selalu mampu meningkatkan tensi dari rasa takut yang dirasakan
oleh penonton, tidak heran jika di beberapa bagian justru berubah menjadi lucu
yang sering mencuri atensi.
Overall, Ju-on:
The Beginning of the End (Ju-on: Owari no Hajimari) adalah film yang cukup
memuaskan. Peluang sebuah reboot untuk menjadi lebih besar dari pendahulunya
selalu kecil, tapi dalam kasus tersebut film ini at least mampu untuk tidak
jatuh terlalu jauh apalagi mengingat standard pendahulunya yang bisa dibilang
telah cukup tinggi. Ibarat sebuah copy and paste dengan formula yang sama
bersama beberapa sentuhan baru dalam kapasitas kecil, tidak megah namun mampu mengolah berbagai elemen klasik menjadi hiburan yang tetap berhasil menakuti-nakuti
penontonnya dengan efektif.
0 komentar :
Post a Comment