Tahukah anda
bahwa salah satu dari sekian banyak cara untuk meraih kebahagiaan adalah dengan
memiliki pola pikir terbuka? Ya, karena banyak diantara kita hidup dalam sebuah
pola dimana kita merasa nyaman dan aman dengan apa yang telah kita yakini, dan
kemudian menolak untuk keluar dari pola tersebut karena merasa takut tidak akan
memperoleh hal positif yang sama, bersedia “terpenjara” meskipun sadar kita
tidak sepenuhnya merasa bahagia. Ida, keep your eyes and mind open, maximize
your sense and focus, it’ll haunt you. An adorable art.
Seorang
biarawati muda bernama Anna (Agata
Trzebuchowska) bersama dengan beberapa temannya tengah bersiap menyambut
prosesi dimana mereka akan diambil sumpahnya untuk bergabung dengan biara yang
telah membesarkannya sejak kecil itu. Anna datang kesana sebagai bayi yatim
piatu yang menjadi korban perang dunia kedua, tapi fakta tersebut juga yang
memberikan sebuah kejutan besar kepadanya, ketika kepala biara memberitahu Anna
bahwa ia punya seorang bibi yang pernah bertukar pesan melalui surat dengannya.
Anna diberikan
kesempatan untuk bertemu dengan wanita tersebut, Wanda (Agata Kulesza), yang celakanya justru punya kehidupan yang
bertolak belakang dengannya, wanita duniawi yang juga menjadi pintu masuk bagi
Anna kedalam dunia yang selama ini tidak ia kenal, keluar dari segala gejolak
batin lewat berbagai fakta mengejutkan lainnya, dari yang terkait dengan
Yahudi, seorang musisi berwajah tampan (Joanna
Kulig), bersama dengan misteri terkait kematian orangtuanya.
Mengatakan ini bukan berarti menandakan saya
menganggap rendah peran agama atau berbagai ajaran lainnya didalam kehidupan
kita, karena faktanya sangat banyak wahyu atau aturan main yang mereka berikan
dapat menjadi penuntun bagi manusia untuk jauh dari jurang kegelapan, tapi
dilain sisi saya benci dengan orang-orang yang justru menjadikan hal-hal
tersebut sebagai sebuah patokan tak terbantahkan yang pada akhirnya justru
membawa keburukan bagi mereka. Itu mengapa kisah yang ditulis oleh Paweł Pawlikowski bersama Rebecca Lenkiewicz ini terasa indah,
dengan cara yang sederhana namun berkualitas ia seperti meninju penonton dengan
sebuah fakta bahwa manusia sering kali menjadikan kehidupan mereka seperti
terpenjara bersama hal-hal yang sesungguhnya tidak membuat mereka bahagia.
Ya, terkadang rasa takut untuk keluar dan mencoba hal
yang baru menjadi faktor yang membuat manusia tidak berhasil meraih rasa
bahagia, sikap menolak untuk terbuka dan kemudian meraih pengalaman baru
bersama hal-hal yang lebih luas dan lebih memilih untuk berpegang teguh pada
apa yang faktanya sering memberikan mereka gejolak batin yang melelahkan.
Disini mereka digambarkan dengan manis dan lembut, berawal dari isu
antisemitisme kita akan diberikan pertarungan saling menyelamatkan yang
implisit antara slut dan saint, bermain-main bersama kasih, rasa sakit, hingga
tragedi dengan satu orang baik dan satu orang jahat yang pada dasarnya
sama-sama sedang berada dalam kondisi yang rusak, sedang bertarung dengan diri
mereka sendiri namun memilih bertahan ketimbang keluar dan menghindar.
Dari durasi yang hanya 80 menit, hanya menggunakan dua
karakter yang juga ditempatkan didalam tampilan hitam dan putih, Paweł Pawlikowski seperti ingin agar
kesederhanaan menjadi kunci dalam menggambarkan hal-hal yang disebutkan diatas
tadi, proses pencarian jati diri yang mengandalkan efektifitas dan efisiensi
dari semua elemen pembentuk sebuah film. Saya bahkan terkejut dengan peran
musik didalam cerita, lantunan jazz
yang sukses menebar kesan freedom dan
seksi serta memberikan kontribusi yang sangat pas bagi salah satu pengalaman
visual paling menyenangkan di tahun ini, gambar-gambar sederhana yang penuh
dengan kompleksitas yang mampu mengundang senyuman, dikemas dengan pendekatan
yang tidak overdo dan konsisten memberikan kesan haunting pada petualangan yang
bisa saja terkesan mondar-mandir tanpa tujuan ini.
Suatu yang tidak mengejutkan jika ada penonton yang
menganggap Ida sebagai sebuah hiburan kosong tanpa makna, karena Ida memang tidak diciptakan untuk
mengajak penonton untuk berjalan bersama pertanyaan dan kemudian menemukan
sebuah jawaban di akhir cerita. Ia bergerak lambat, bahkan terkadang hadir
momen statis, tapi mengapa ia tampak menarik karena dibalik ketenangan yang
mendominasi itu ada sebuah permasalahan yang kuat dengan kuantitas dan kualitas
yang presisi, ditemani dengan sinematografi yang manis diajak untuk mengamati
karakter yang terus berperang didalam diri mereka bersama pertanyaan batin yang
terus membelenggu dan mencoba keluar, sebuah kepedihan yang terbentuk indah
tanpa ikut serta sebuah dramatisasi oktan tinggi didalamnya.
Lantas apa kekurangan dari Ida? Jawabannya mungkin kurang tajam dibagian akhir. Ia halus, ia
digali dengan cermat, ia bahkan mampu menjadi sebuah film meditasi tanpa harus
terasa seperti hiburan kontemplatif tingkat tinggi yang membosankan, itu berkat
bantuan berbagai elemen seperti akting yang ekspresif dan visual yang terus
menyibukkan mata, tapi anehnya ketika ia berakhir saya menginginkan sesuatu
yang lebih kuat di bagian akhir. Ya, terasa subjektif memang, dimana setelah
menyaksikan ledakan-ledakan skala kecil yang mengandalkan polemik dari masa
lalu karakter yang ia sebar dengan manis di sepanjang penceritaan itu tidak
dibungkus dengan penutup yang benar-benar kuat, sebuah penutup yang mampu
membuat penonton mengatakan “oke, itu manis, itu cukup,” tidak peduli ia memberikan
konklusi ataupun ditinggalkan menggantung.
Hal tadi tidak bisa dikatakan sebagai sebuah minus
sebenarnya, hanya sebuah rasa yang mengganjal yang sesungguhnya tidak punya
power yang besar, terlebih jika anda telah tenggelam bersama dua karakter utama
yang dimainkan dengan baik oleh Agata
Kulesza dan Agata Trzebuchowska.
Chemistry yang mereka bangun terasa manis, hubungan bibi dan keponakan itu
tidak perlu waktu lama mampu berdiri kuat di pusat cerita, dan dari sisi
performa individu mereka juga memberikan sesuatu yang sama baiknya. Kulesza
menjadikan wanda seperti setan yang ingin anda tolong, karena pada dasarnya ia
juga ingin menolong keponakannya. Dan Agata
Trzebuchowska adalah bintangnya, terus tampil dengan ekspresi tenang tapi
rasa terguncang, rasa takut, hingga rasa penasaran terbentuk dengan cerdas.
Overall, Ida
adalah film yang memuaskan. Ida ibarat sebuah media dimana Paweł Pawlikowski memberikan kumpulan materi yang kuat tapi ia
kemas dengan setengah matang, kemudian menuntut penonton untuk mematangkannya,
karena ketika ia telah matang ada sebuah petualangan sinematik yang sederhana
dan manis bagi mereka, kisah tentang manusia yang selama ini terpenjara didalam
dirinya dan mencoba menyelamatkan dirinya sendiri, ditemani dengan permainan
teka-teki serta kepedihan yang penuh pesona, dan hal terakhir itu yang menjadi
alasan mengapa ia terasa manis dibalik kesederhanaannya. So, are you a prisoner in your own prison? Segmented.
0 komentar :
Post a Comment