"Chinchilla! Chinchilla!"
Apa sih musik itu? Nada yang bisa membuat kamu
bergoyang tanpa peduli jika suara vokal yang terselip disampingnya terasa mengganggu karena tidak
sejalan dengan irama? Atau justru kumpulan nada yang membingungkan namun mampu
menyentuh emosi pendengarnya? Apa sih
musisi itu? Manusia dengan tampang menarik yang mudah meraih atensi sekalipun
ia punya suara standard yang dimiliki banyak orang? Atau justru sosok dengan
penampilan kurang menarik namun mampu membawa pendengar hanyut dalam
lantunan suaranya yang merdu? Hal tadi merupakan perdebatan yang menarik,
antara bisnis dan kenikmatan bermusik, Frank,
clever satire whose lose their consistency.
Jon (Domhnall Gleeson) punya mimpi yang sangat besar untuk menjadi seorang
musisi, ia lebih sering memikirkan nada-nada serta lirik yang menarik ketimbang
pekerjaan kantornya ketika ia berada dalam perjalanan pulang, sebuah kebiasaan
yang sepertinya mendapat perhatian dari dewi fortuna. Suatu ketika Jon duduk di
tepi pantai dan tiba-tiba menyaksikan polisi sedang berupaya menyelamatkan
seorang pria yang mencoba bunuh diri, pria yang menjadi jalan bagi Jon untuk
masuk kedalam sebuah band setelah bertemu dengan Don (Scoot McNairy), yang mengatakan band miliknya yang bernama
Soronprfbs sedang memerlukan keyboardist baru.
Tentu saja tawaran tersebut diterima oleh Jon, yang
langsung meminta ijin kepada kantor dan berharap akan memperoleh pengalaman
baru dengan melakukan gig bersama Soronprfbs. Celakanya apa yang telah
menantinya jauh lebih besar dari perkiraan Jon, dimana ia telah ditunggu oleh
empat orang musisi keras kepala yang sedang menyusun album mereka, sekelompok
manusia berperawakan aneh dibawah pimpinan vokalis Frank (Michael Fassbender) yang selalu menginginkan kesempurnaan
dalam musik mereka, tidak peduli musik tersebut mudah dinikmati orang lain
ataupun mudah untuk dijual.
Hal pertama yang terlintas di pikiran saya sejak
pertanyaan “You play C, F and G?” itu
muncul adalah ini akan menjadi sebuah kritik yang menyenangkan kepada dunia
musik. Ya, sebuah kritik, bagaimana ketika “soul” tidak lagi menjadi hal paling
penting bagi banyak musisi sekarang ini dalam menciptakan lagu, cukup dengan nada
familiar, modifikasi kecil di sana-sini, kemudian sebisa mungkin menarik atensi
agar karya mereka dapat menjadi sensasi yang besar. Sebut saja seperti youtube yang berulang kali digunakan
oleh Lenny Abrahamson dalam menggambarkan dua dunia yang berbeda dari kisah
yang ditulis oleh Jon Ronson dan Peter Straughan ini. Apakah hanya dengan
tahu nada dasar, punya penampilan dan wajah yang menjual, kemudian ciptakan
image yang menarik, anda sudah bisa menjadi musisi?
Ya, apakah dengan kombinasi gitar dan suara yang
selalu menyimpang dari irama, namun punya banyak follower di twitter anda sudah dapat dikategorikan
sebagai seorang pekerja seni? Hal tadi yang menjadikan Frank seperti sebuah bom
kecil tapi tampil dengan terus berupaya melemparkan kesan absurd pada
penontonnya. Bersama alur yang sesekali bergerak random kita diajak untuk
mengeksplorasi fantasi tentang popularitas, diselimuti dengan karakter yang
depresi, berputar-putar bersama Frank dan rekan-rekannya yang tidak pernah
sekalipun melepaskan kesan unik dan gila, memadukan synthesizer dengan lirik aneh yang sempat mencuri emosi, ditemani
dengan aksi tarik menarik antara Jon dan Clara yang secara stabil menjaga
perdebatan tentang visi mereka terhadap musik dan keberhasilan untuk tidak
hilang dari atensi.
Kombinasi diatas tadi merupakan sesuatu yang sulit
untuk anda tolak, pertanyaan yang serius dan berat namun dikemas dengan ringan
sembari bergerak dengan cara bersenang-senang, kekonyolan yang menarik tanpa
menjadikan misi yang ia bawa tidak tampil sama menariknya. Tapi ada satu
masalah besar yang menghalangi Frank untuk meraih potensi tertingginya,
konsistensi daya tarik yang dihasilkan oleh Lenny
Abrahamson pada cerita. Semua nilai plus yang disebutkan tadi akan anda
temukan di paruh pertama, dalam skala yang sangat kuat, tapi semakin jauh anda
melangkah bersama karakter yang punya kedalaman cukup mumpuni itu, semakin
dalam anda terjebak bersama aksi quirky Frank yang mempesona itu, semakin lemah
pula fokus yang akan anda rasakan pada kritik yang ia bawa sejak awal tadi.
Hal tersebut sangat disayangkan, karena sejak awal
selain manusia berkepala besar yang diambil dari karakter Frank Sidebottom itu, isu terkait dunia musik tadi juga menjadi
salah satu hal paling menarik dari film ini. Eksplorasi yang Lenny Abrahamson
lakukan mulai terasa lemah ketika kita mulai masuk ke formula konvensional di
babak ketiga, sikap perfectionist dari karakter yang seharusnya menjadikan
sindiran terhadap bisnis musik itu semakin terasa tajam justru memudar. Terlalu
berlebihan memang mengatakan babak tersebut sebagai sesuatu yang pointless,
tapi ketika telah keluar dari hutan mereka mulai kehilangan apa yang sebelumnya
menjadikan mereka terasa mengasyikkan, pancaran energi yang seperti kehabisan
pasokan, seperti kereta api uap yang mulai kehabisan stok kayu dan menjadikan
penumpang merasa bosan dengan gerak lambatnya.
Tapi nilai minus tadi mungkin tidak akan memberikan
efek yang begitu besar jika sejak awal anda sepenuhnya tertarik dengan apa yang
dilakukan oleh Frank. Ya, seperti yang disebutkan tadi ada dua hal yang menarik
disini, dan jika anda tidak begitu mempersoalkan masalah pada hal terkait dunia
musik tadi, perjalanan ini akan terasa menyenangkan, terlebih dengan penampilan
mumpuni dari pada aktor. Dua pemain band jelas sebagai tempelan, dan Scoot McNairy berhasil menghantarkan
tekanan sebagai musisi dengan baik, begitupula dengan Maggie Gyllenhaal dengan pendirian teguhnya itu. Domhnall Gleeson tampil manis sebagai
nahkoda, terutama pada cara ia membangun konflik, hal yang juga dilakukan
dengan baik oleh bintang utamanya, Michael
Fassbender, berhasil menjadikan Frank tampak eksentrik hanya dengan gerak
tubuh yang meyakinkan itu.
Overall, Frank
adalah film yang cukup memuaskan. Frank
adalah sebuah kemasan satir yang cerdas namun gagal menjadikan pesan yang bawa
terasa kuat di bagian akhir, semua akibat konsistensi dan fokus pada isu utama
yang tidak terbangun dengan mumpuni. Menyenangkan memang, mereka lucu dibalik
kesan aneh, terasa hangat dengan aksi gila yang mereka tampilkan, tapi
sayangnya pertanyaan terkait seni dan kesuksesan yang mereka berikan sejak awal
tidak di tutup dengan tajam. Menyenangkan? Ya. Memuaskan? Cukup.
Frank, 7.5-8 lah mas rory, a well-made entertainment. harus diakui kalau diakhir fil kurang greget.
ReplyDeleteTapi saya kurang greget-nya bukan cuma di bagian akhir. :)
Delete