"What do you see when you look at me?"
Ada yang mengatakan bahwa psikologis merupakan salah
satu titik terlemah manusia, salah satu bagian penting tubuh kita yang jika
terganggu dapat menghasilkan ledakan yang berbahaya, fungsi mental yang dapat
mengubah puppy menjadi monster, seorang pendiam yang selalu tampil tenang
seketika berubah menjadi makhluk buas yang siap menghancurkan segala sesuatu
yang membuatnya tidak bahagia. Hal tersebut menjadi basis dari thriller
sederhana ini, The Equalizer, a dark and
modern Robin Hood story.
Jam tangan mungkin menjadi benda favorit pria dengan
perawakan misterius bernama Robert McCall
(Denzel Washington), ia selalu tampak presisi dalam menjalankan kegiatannya
sehari-hari, dari bangun pagi dan sarapan, kemudian berkerja di Home Mart,
bercanda bersama rekan kerjanya Ralphie
(Johnny Skourtis), setelah pulang mengunjungi sebuah restoran lokal tempat
dimana ia membaca buku dengan sebungkus teh yang bahkan telah ia persiapkan dengan
sangat rapi dari rumah, yang duduk manis di samping segala peralatan makan yang
telah Robert susun sesuai posisi yang ia inginkan.
Namun suatu ketika pola kehidupan dari pria yang
mengidap OCD kelas berat ini harus
berubah. Sumbernya adalah seorang pelacur muda bernama Teri (Chloë Grace Moretz), sosok yang selama ini selalu
menyempatkan berbasa-basi dengannya ketika singgah di restoran lokal tadi,
gadis yang sesungguhnya sangat tidak senang dengan pekerjaan yang ia lakukan
terlebih dengan perlakuan germonya yang berasal dari Rusia. Robert McCall
berupaya untuk memberikan Teri keadilan, tapi celakanya ada pria lain bernama Teddy (Marton Csokas) yang merasa
tindakan Robert sebagai sesuatu yang tidak adil.
The Equalizer adalah sebuah kemasan guilty pleasure terbaru, sederhananya mungkin seperti itu. Ini
adalah hiburan yang akan sulit membuat penontonnya mengatakan ia sebagai
sesuatu yang benar-benar baik secara keseluruhan, tapi dilain sisi sanggup
memberikan petualangan dangkal yang mengajak mereka untuk bersenang-senang,
dari kisah yang dibalik kesan rapi ketika ia terbangun sesungguhnya hanya
melakukan mondar-mandir yang sempit, mengubah tema balas dendam sederhana
menjadi sebuah aksi kepahlawanan yang selalu menonjolkan kesan bad-ass di
posisi terdepan, thriller oktan tinggi yang digerakkan dengan kecepatan yang
sesekali menenangkan, bahkan kita punya sedikit unsur studi karakter pada sosok
Robert McCall yang seperti benar-benar tidak ingin berbagi layar di bagian awal
itu.
Pada dasarnya The
Equalizer adalah kemasan pemalas, pada cerita. Kisah yang ditulis oleh Richard Wenk itu tidak menghasilkan
kedalaman yang menarik pada sektor script, kita diberikan pria dengan masa lalu
suram, kita tahu ia selalu dihantui rasa cemas dalam sikap tenangnya, dan mudah
untuk memperkirakan akan ada ledakan skala besar ketika orang-orang dengan
tipikal seperti itu mulai habis kesabarannya. Untung saja mereka terbentuk dengan
sangat efektif ditangan Antoine Fuqua,
yang mayoritas berkat rutinitas dari karakter yang dibentuk dengan sabar,
sebuah perkenalan yang menghabiskan banyak waktu sebelum masuk kedalam aksi
kejar layaknya tikus dan kucing yang klasik itu, sebuah keputusan yang tepat
karena ia berhasil membuat penonton merasa dekat dengan karakter utama.
Sejak awal hal tersebut sepertinya telah menjadi
strategi dari Antoine Fuqua, karena
pada dasarnya ia ingin menjadikan ini sebagai sebuah arena one man show, ya
seperti Liam Neeson dengan Taken. Hasilnya positif, karena segala
permasalahan yang ia miliki tidak berhasil memberikan gangguan yang begitu
besar pada kenikmatan penonton berkat kemampuan Denzel Washington untuk menjadikan karakternya seperti sebuah mesin
yang tak terkalahkan, aksi menghabisi para penjahat (yang juga dibentuk dengan
baik) dipenuhi berbagai shocking moment dengan kebrutalan dan kekerasan ekstrim
yang tidak malu-malu ketika tampil. Kesediaan anda untuk menghabiskan waktu
bersama masa lalu suram karakter di paruh pertama yang ditemani dengan sepinya
apartement itu seperti terbayar lunas ketika ia mulai berubah kedalam mode
agresif.
Kata terakhir itu dapat pula mewakili The Equalizer, sebuah kisah balas dendam
yang terus mampu dipompa daya tariknya dengan cara variatif, sehingga meskipun
terkesan berantakan dan mungkin terasa tanpa tujuan, atensi penonton tidak
pernah lepas dari cengkeraman mereka dimana kita seperti terus dibuat menanti
karena berpikir akan ada sesuatu yang besar di bagian akhir yang akan dilakukan
pria yang selalu selangkah lebih cepat dibanding musuh-musuhnya itu. Ada
dinamika cerita yang segar disini, kadang ia melambat, kadang ia bergerak
sangat cepat, dengan sokongan berbagai gambar yang mampu menyuntikkan
intensitas yang efisien mereka mampu menghalangi agar kesan monoton yang
tersebar didalam cerita itu untuk tidak bergerak lebih jauh mendekati
penontonnya.
Ya, ada kesan monoton yang hadir disini, penyebabnya
adalah perputaran yang ia berikan dalam proses menuju finale itu. Tidak dapat
dikatakan buruk memang, ibaratnya seperti bermain tarik dan ulur dengan
penonton, nilai minus dari substansi yang tipis ia tutupi dengan style yang
manis. Hasilnya, ada sebuah keseimbangan secara keseluruhan, kadang kita
melihat karakter merenung, kadang kita akan dikejutkan dengan cara ia
menggunakan palu dan bor listrik selain fungsi utamanya untuk menancapkan benda
tajam, bahkan sebuah adegan menggunakan racun yang sederhana itu bisa tampak
menarik, semua berkat keputusan awal untuk menjadikan ini sebagai sebuah one
man show, membekali tokoh utama dengan karakterisasi yang mumpuni, dan
kemampuan Denzel Washington untuk
membungkus kemudahan yang ia miliki itu untuk menjadi sebuah aksi bersenang-senang.
Overall, The
Equalizer adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah hiburan yang selama
dua jam mampu mempermainkan penontonnya dengan efektif dan variatif. Terkadang
ia terasa monoton, terkadang pula ia membuat mata kita terbuka lebar sembari
tersenyum dengan aksi brutal yang total, ia juga punya minus pada cerita
meskipun akhirnya ditutup dengan karakterisasi yang mumpuni dan membuat
karakter punya pesona yang menarik. Keseimbangan itu yang akhirnya menjadikan
ini sebagai sebuah kemasan guilty
pleasure, ia tidak kuat secara keseluruhan, tapi ia berhasil memberikan
petualangan yang cukup menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment