“A life for a rose”
Ketika berbicara
tentang makna sesungguhnya universal power yang kita kenal dengan sebutan
cinta, mungkin Beauty and the Beast dapat menjadi contoh termudah, sebuah kisah
tentang love and redemption dimana seorang wanita dengan rupa cantik dan
menawan yang bersedia menerima cinta dari makhluk menyerupai monster buas yang
buruk rupa. Sayangnya film ini kurang mampu menjadi presentasi terbaru dari hal
tadi, Beauty and the Beast (La belle et
la bête), visual feast whose forget the fairy tale main charm.
Setelah bangkrut, Le marchand (André Dussollier) terpaksa
harus berhadapan dengan hasil dari kehancuran yang dialaminya itu, turun dari
level kehidupannya yang mewah dan pindah menuju sebuah rumah sederhana di
pedesaan di luar kota bersama enam orang anaknya. Namun suatu ketika ia
mendengar sebuah kabar yang membuatnya segera bergegas menuju kota sembari
berniat untuk memenuhi keinginan pakaian serta perhiasan yang bagus dari dua
putrinya yang masih belum mampu menerima kenyataan pahit tadi, Astrid (Myriam Charleins) dan Clotilde (Sara Giraudeau).
Namun fakta pahit telah
menantinya, yang kemudian membawa pria ini terdampar di sebuah kastil tua tak
berpenghuni dimana ia berhasil menemukan apa perhiasan dan pakaian bagus itu.
Namun celakanya dalam perjalanan pulang ketika hendak menemukan permintaan
sederhana dari putrinya, Belle (Léa
Seydoux), akan setangkai mawar merah, Le marchand justru membangunkan
amarah dari La Bête (Vincent Cassel),
yang meminta balasan nyawa atas setangkai mawar tadi, yang uniknya ditebus
sendiri oleh Belle.
Adaptasi dari dongeng
tradisional milik Gabrielle-Suzanne
Barbot de Villeneuve ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya penyegaran
yang dual-motivation. Ya, ada dua motivasi disini yang sebenarnya di tahap awal
memang berhasil tampil sama baiknya, menceritakan kembali dongeng tua yang
ditulis ulang oleh sutradara Christophe
Gans bersama dengan Sandra Vo-Anh
yang bahkan telah ia tunjukkan ketika membuka petualangan ini dengan seorang
ibu yang sedang membacakan cerita untuk dua anak kecil, dan satu lagi adalah
kesenangan visual, memanfaatkan teknologi CGI untuk menopang kekuatan fantasi
sembari menjadi media yang menghubungkan cerita kepada penontonnya.
Menjanjikan memang,
tapi yang menjadi masalah disini adalah ternyata Christophe Gans tidak menaruh kepedulian yang sama besar pada dua aspek
tersebut, ia tampak sangat berambisi menjadikan film ini terasa indah bagi mata
yang sayangnya menjadikan ia lupa bahwa pada dasarnya ini adalah sebuah kisah
cinta yang intim. Anda akan mendapatkan aksi mondar-mandir yang dipersenjatai
dengan sinematografi mumpuni, berbagai tindakan dan gambar yang mengesankan
bahkan hingga menyentuh hal detail, dunia fantasi hasil kerja komputer yang
tidak dapat dipungkiri mayoritas terbentuk dengan manis, tapi sayangnya mereka
pula yang menghancurkan pesona dari dongeng yang ia bawa.
Bahkan sedikit bingung
penonton mana yang menjadi sasaran hiburan yang hanya halus dan menawan bagi
mata ini, penonton dewasa, atau penonton remaja? Ia seperti ingin tampak
bijaksana dengan membagi porsi yang sama besar, tapi sayangnya yang muncul
justru kesan setengah hati yang hampir saja menjadikan ia terasa sebagai sebuah
kekacauan yang canggung dan aneh. Untuk penonton muda ini terlalu berat dan
terlalu gelap, dongeng itu dibentuk dengan pendekatan yang sedikit berbeda,
terlalu banyak ide yang ia masukkan seperti aksi kilas balik yang merusak
kepadatan dan kekuatan pada fokus cerita, ia juga minim humor yang menjadi
bagian wajib bagi film tipe seperti ini.
Dan masalah bagi
penonton dewasa lebih banyak. Seperti yang disebutkan tadi, ini seharusnya
menjadi sebuah kisah cinta, tidak peduli seberapa jauh modifikasi yang
diberikan dongeng ini tetaplah tentang jalinan cinta antara wanita dan pria
buruk rupa. Film ini tidak punya itu, karakterisasi yang kurang kuat
menyebabkan penonton sulit untuk terhubung dengan emosi yang disampaikan oleh
karakter, bahkan ketika telah mengubah cara dengan mengamati pergerakan mood dan
interaksi implisit diantara mereka, pesona itu tidak juga kunjung tiba.
Dramatisasi yang ia miliki terasa miskin, La
Bête dan Belle yang seharusnya
terus dijaga tampil kuat di panggung utama bersama ikatan romantisme seperti
kekurangan perhatian yang membuat intensitas dan intimitas hubungan mereka
terasa dangkal.
Andai saja Christophe Gans mau sedikit merelakan
ambisinya pada sektor visual, dan kemudian menaruh perhatiannya untuk menggali
jauh lebih dalam dan menjadikan romansa dua karakter utamanya tampil lebih
subur, tampil lebih menarik, ini dapat menjadi sebuah adaptasi yang
menyenangkan, sebuah adaptasi yang bukan hanya menjadi update yang mumpuni dari
segi visual, tapi juga update pada pesona romansa dari kisah yang telah menjadi
legenda ini, karena ia punya materi yang mumpuni untuk meraih itu, visual oke,
bahkan Léa Seydoux dan Vincent Cassel masih punya banyak ruang
yang dapat mereka manfaatkan jika diberi kesempatan ketimbang menggambarkan
cinta mereka hanya dengan tatapan mata.
Overall, Beauty and the Beast (La belle et la bête) adalah
film yang kurang memuaskan. Dongeng yang standard, sederhananya mungkin seperti
itu, dimana kisah yang seharusnya menjadi sebuah dramatisasi percintaan yang
manis dan intim itu justru dibentuk menjadi sebuah arena show-off visual (yang mampu terus mencuri atensi) yang
tanpa disadari turut menjadi penyebab lemahnya fokus pada cerita sehingga
menghancurkan pesona dari dua karakter utamanya.
0 komentar :
Post a Comment