"I believe that the dull reality of life is all there is but you are proof that there's more, more mystery, more magic."
Tahukah kamu kalau dalam 49 tahun karirnya di dunia
film sebagai sutradara dan penulis hanya lima tahun Woody Allen
absen, tahun 1967, 68, 70, 74, 81, dan
sejak tahun 1981 itu pula ia punya satu film setiap tahunnya, dengan cerita
yang ia tulis sendiri. Mudah sekali memberikan "wow", tiga dekade
tanpa putus, tapi tidak sama halnya jika dinilai dari segi kualitas yang sejak
era millennium selalu muncul "not good" or "just okay"
sebagai jembatan diantara film-film "good" dan “memorable” milik Woody Allen dengan magic yang minim.
Ups, bukankah "good" terakhir itu tahun lalu? Magic in the Moonlight?
Seorang ilusionis bernama Stanley Crawford (Colin Firth) bertemu dengan rekannya sesama
ilusionis, Howard Burkan (Simon
McBurney), sosok yang kemudian meminta bantuan dari pria dengan nama
panggung Wei Ling Soo itu. Howard ingin agar Stanley pergi ke Perancis Selatan untuk bertemu
paranormal dengan trik yang sulit ia pecahkan dan mudah membuat penonton
"terhipnotis" dengannya, Sophie
Baker (Emma Stone), wanita yang berhasil meruntuhkan sikap sinis milik
Stanley dengan "magic" yang ia miliki.
Seperti yang saya bahas diawal tadi kamu bisa menyebut
ini sebagai jembatan bagi Woody Allen,
ya mungkin sebagai media refreshing bagi ia untuk menciptakan kembali kisah
yang kuat dengan cara bersenang-senang tapi juga tetap menghasilkan sebuah
film. To Rome with Love langsung
terlintas di pikiran saya ketika film ini mulai berjalan tidak begitu jauh,
sinopsis sederhana yang masih tampak menjanjikan karena dampak dari jajaran
cast, kemudian perlahan berubah menjadi petualangan dengan
pemandangan-pemandangan yang manis. Yap, seperti itu kira-kira, film Woody Allen dengan cerita yang forgettable dan hanya dikenang sebagai
liburan bagi pria 78 tahun itu.
Wajar memang, dengan usia tersebut cukup sulit untuk
mengharapkan sebuah konsistensi dari karya pria yang keras kepala ingin hadir
setiap tahun ini, tapi kalau melihat kualitas jujur saja saya cukup terkejut
dengan apa yang dihasilkan film ini. Tidak kuat seperti Blue Jasmine, itu jelas, tapi kisah dengan tema pertarungan antara
faith dan ilmu pengetahuan ini juga punya semangat yang menarik atensi,
imajinasi yang diberikan disini cukup berhasil menutup berbagai nilai minus
yang seperti malu-malu untuk menjadi benar-benar baik atau benar-benar buruk.
Ceritanya kurang dalam, itu penyebab Magic in the Moonlight menjadi film
tentang magic yang kekurangan magic. Dramatisasi yang tercipta terkesan
seadanya, ia seperti bingung cara agar dua materi pada tema utama tadi dapat
bersatu dengan pas. Hasilnya ya narasi tenang yang canggung, gambar-gambar
yang sering berupaya sentimental kelas berat tapi jatuh di level standard,
minim perhatian pada hal penting dan lebih memilih bermain-main dengan hal-hal
kecil yang kusut, kekurangan soul pada karakter yang cukup disayangkan
mengingat kemampuan Colin Firth dan Emma Stone membangun aksi saling ejek
yang menarik dengan intrik dan sikap angkuh yang baik.
Not bad, tapi Magic in the Moonlight tidak punya hal yang dimiliki film-film “memorable” Woody Allen seperti yang terbaru Vicky Cristina Barcelona, Midnight in Paris, dan Blue Jasmine, ketajaman pada point
utama. Usaha mencampur melodrama bersama komedi tidak memberi banyak bantuan
pada isu dan ide utama, begitupula sebaliknya. Hasilnya seperti sedang menikmati
matahari diatas pelampung di tepian danau, tenang dan minim gelora, dan itu
cukup disayangkan mengingat ia punya Colin
Firth dan Emma Stone yang tampil
tidak mengecewakan.
0 komentar :
Post a Comment