"There are more connections in the human body than there are stars in the galaxy."
Semoga saja kamu belum bosan melihat wajah Scarlett
Johansson tahun ini, karena setelah memberikan suaranya di film dengan sentuhan
sci-fi dan fantasy berjudul Her wanita seksi satu ini telah tampil di tiga buah
film lainnya, dua diantaranya juga berada di genre tadi dimana ia sukses
memberikan penampilan yang mencuri perhatian. Nah, film ini memetik keuntungan
dari kemampuan ScarJo kembali melakukan hal tadi, Lucy, pelengkap trilogy science fiction dan fantasy pribadi Scarlett Johansson tahun ini.
Mahasiswa asal Amerika yang sedang study di Taipe
bernama Lucy (Scarlett Johansson)
mendapatkan bencana, ia ditipu oleh pacarnya dan kemudian masuk kedalam
perangkap drug lord bernama Mr. Jang
(Min-sik Choi), pria yang kemudian menggunakan perut Lucy sebagai media
penyimpan obat yang bernama CPH4.
Celakanya obat tersebut secara tidak sengaja masuk kedalam sistem tubuh wanita
tersebut, yang lantas memberikannya kemampuan baru dari mental hingga psikis
yang berbahaya.
Kalau kamu merupakan tipe penonton yang mencoba
mencari tahu informasi sebuah film sebelum menontonnya, kamu pasti akan
tersenyum dan mungkin sedikit meragu ketika melihat nama Luc Besson sebagai nahkoda utama film ini. Pria dibalik Taken dan Transporter ini merupakan sutradara yang menurut saya karyanya
identik dengan hit or miss, terkadang ia mampu membawamu kedalam petualangan
menyenangkan, terkadang hiburan yang kamu dapatkan darinya akan terasa
menjengkelkan. Lucy berada diantara dua hal tadi, sinopsis menjanjikan menghasilkan sebuah sci-fi yang akan
menimbulkan dilema antara menyukainya atau justru membencinya.
Sumber adalah keputusan Luc Besson yang disini seperti ingin menyatukan dua warna. Pertama
ia tampak ingin memanfaatkan kekuatan super yang dimiliki karakter untuk
memberikan sebuah film action dengan tembak-menembak yang dikemas sesuai ciri
khasnya, ringan, gerak cepat, humor
seadanya, dan tampil dengan sedikit ceroboh. Yang kedua, ia seolah ingin lebih pintar dari Limitless dengan memasukkan unsur art-house kedalam film ini, mencoba mengajak penonton meresapi
makna evolusi dan konsep ilmiah untuk menemani pesta dengan kemampuan mencuri
perhatian cukup tinggi yang berdiri disampingnya.
Menarik bukan? Sayangnya kombinasi yang dihasilkan
kurang kuat, dan ini yang akan memecah penonton, mereka suka jika unsur kedua
tadi tidak hinggap di otak mereka, tapi mereka akan kecewa jika unsur kedua
mengacaukan kenikmatan unsur pertama. Hasilnya canggung, Lucy seperti terbebani oleh upaya untuk menyatukan dua ide tadi,
mengandalkan efek visual menemani sisi action yang dipompa tinggi, kemudian
teka-teki yang mencoba sedikit menampilkan filosofi ilmiah. Under the Skin berjaya karena ia hanya
membawa satu tujuan, dan kurang cermatnya Luc
Besson dalam mencampur dua tujuan yang ia bawa menciptakan inkonsistensi
dari kenikmatan yang dimiliki Lucy untuk menghibur dan tidak menciptakan dilema
pada penontonnya.
Ada dua opsi yang akan kamu peroleh ketika menyaksikan
Lucy, jika kamu terjebak sepenuhnya
bersama Scarlett Johansson yang
tampil baik dalam thrill elemen action dan berpacu dengan waktu, kamu akan
terhibur tingkat tinggi, tapi jika kamu mampu merasakan hadirnya inkonsistensi
pengembangan serta fokus pada penggambaran konsep brain capacity yang ia bawa,
maka bersiaplah menyambut hadirnya senyuman masam untuk kemudian bertarung
dengan senyum bahagia yang telah hadir sebelumnya.
0 komentar :
Post a Comment