"When people have the power to choose, they choose wrong."
Berbicara potensi film ini punya peluang yang cukup
besar untuk menjadi sensasi baru di kelompok young-adult pada dunia perfilman,
selain karena materinya yang dianggap sebagai nenek moyang The Hunger Games, Divergent, dan lain-lain itu telah menjadi
reading lists di middle school USA,
Kanada, hingga Australia, tapi
juga sedang booming-nya kesuksesan dari film dengan tema young-adult juga jelas layak untuk di coba. Namun meskipun punya Jeff Bridges, Meryl Streep, Katie Holmes,
hingga Taylor Swift, The Giver hanya terasa seperti sebuah
usaha setengah hati.
Pria muda bernama Jonas
(Brenton Thwaites) terkejut ketika ia ditunjuk menjadi the Receiver
berikutnya, satu-satunya sosok yang akan mengingat semua memori yang sebelumnya
pernah terjadi di The Community
ketika mereka memutuskan untuk menghapus semua yang pernah terjadi dari ingatan
mereka. Dibawah bimbingan receiver terkini,
The Giver (Jeff Bridges), Jonas
dilatih untuk kelak dapat terlibat dalam keputusan yang diambil pemerintahan
yang dipimpin oleh The Chief Elder (Meryl
Streep), tapi proses belajar itu pula yang membuka mata Jonas pada sejarah kelam, sadar
pekerjaan itu berbahaya, dan berupaya untuk bergerak lebih jauh.
Tentu menarik ya ketika kita tahu bahwa novel karya Lois Lowry ini merupakan bagian dari
pendidikan di negara-negara yang disebutkan tadi, yang sederhana dapat
menunjukkan betapa pentingnya materi yang dimiliki oleh novel tersebut.
Sayangnya Phillip Noyce sebagai
sutradara, serta Michael Mitnick dan Robert B. Weide di bagian screenplay seolah merusak daya tarik
tadi. Apa yang saya rasakan ketika menyaksikan film ini seperti kombinasi
antara Magic in the Moonlight dan juga Lucy,
hiburan yang bingung cara menyatukan dua misi yang ia bawa, menjadi film yang
memberikan pesan kuat penuh makna, atau justru sekedar petualangan
bersenang-senang yang ringan.
Itu dia masalah terbesar dari The Giver, ia seperti upaya kepahlawanan yang berjalan pincang.
Kita seperti dipengaruhi dan diajak untuk menyoroti masalah dari rekayasa
sosial itu, potensi permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan, hal yang
jujur saja sudah terasa umum dengan keberadaan film-film young-adult dystopian yang telah beredar. Disisi lain mereka juga
seolah ingin agar tidak kehilangan unsur blockbuster
didalamnya, adegan aksi dalam plot yang bergerak lamban. Kedua hal tadi tidak
mampu disatukan dengan baik, hasilnya meskipun punya kualitas akting tidak
begitu buruk, ide-ide menarik itu lebih banyak hilang bersama dialog-dialog hampir
mengerikan.
Bagi mereka yang telah membaca novelnya mungkin bisa
merasakan sesuatu yang menarik dari film ini, tapi sebagai penonton non-reader saya cukup sering mendapatkan
momen membosankan. Hal menarik mungkin dari teknik visual dengan penggunaan
dalam penerapan warna, tapi disamping itu apa yang mereka ciptakan tidak mampu
menjadi sebuah arena untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan, sering banget
bergerak terburu-buru, karakterisasi lemah yang tidak mampu menunjang
dramatisasi terlebih pada romansa, serta plot yang kurang liar untuk memberikan
petualangan yang menyenangkan.
Tidak masalah memang untuk meniru apa yang orang lain
telah lakukan, tapi akan terasa memalukan jika mereka tidak mampu membangun
ulang dengan formula yang sama untuk mencoba meraih hasil yang jangankan dapat menjadi lebih baik
untuk bisa menjadi sama baiknya atau sekedar mendekati kualitas apa yang ditiru tadi
saja mereka tidak bisa. Kurang bernyawa, monoton, kurang semangat, The Giver terasa seperti Divergent 2.0, atau mungkin sebaliknya.
0 komentar :
Post a Comment