“Remember,
nothing is as strong as family.”
Hadirnya reboot dari film-film dengan elemen ikonik
seperti ini merupakan sesuatu yang harus disambut dengan tangan terbuka, tentu
saja terlepas dari misi yang ia bawa, bisa menjadi sebuah update yang baik,
sebuah pesta bagi para fans, pengeruk keuntungan semata, atau justru hanya
topeng dari terbatasnya ide segar yang dimiliki insan perfilman. Celakanya film
ini tidak mampu mengkombinasikan hal-hal tersebut dengan cermat, Teenage Mutant Ninja Turtles, a soulless and
charmless entertainment from ninjutsu warriors. Cowabummer!
Wanita yang berprofesi sebagai reporter di Channel 6 bernama April O'Neil (Megan Fox) suatu ketika mengatakan kepada rekan
kameramen nya, Vernon Fenwick (Will
Arnett), bahwa ia telah bosan dengan liputan sederhana yang mereka lakukan.
Ternyata dewi keberuntungan mendengar keluhan tersebut, dengan menggunakan
sepeda miliknya pada malam hari April menjadi saksi dari aksi kejahatan yang
dilakukan oleh Foot Clan, sindikat
penjahat yang dipimpin oleh Shredder
(Tohoru Masamune), dan berencana untuk mengambil alih kota New York.
Sayangnya peran kecil yang ia punya selama ini
menjadikan laporan terkait insiden tersebut dianggap sebagai sebuah lelucon
oleh pimpinan April, Bernadette (Whoopi
Goldberg), hal yang bertolak belakang dengan respon positif dari pria
bernama Eric Sacks (William Fichtner)
yang percaya pada kesaksian April karena punya kaitan pada studi mutagen yang
pernah ia lakukan, bahwa April telah bertemu dengan empat kura-kura dengan ukuran yang lebih besar dari manusia, Michelangelo (Noel Fisher), Donatello
(Jeremy Howard), Raphael (Alan Ritchson), dan Leonardo (Johnny Knoxville).
Mengapa ada kata bummer di bagian pembuka tadi? Karena
saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan dari film ini, sebuah petualangan
dengan cita rasa ringan yang mampu membawa penontonnya bersenang-senang bersama
perputaran yang bukan hanya bebas namun juga menarik. Tentu saja Teenage Mutant Ninja Turtles tidak
identik dengan cerita yang rumit, cukup hadirkan kekacauan, ciptakan
perkelahian skala sedang yang gila, kemudian selipkan aksi saling ejek diantara
empat bersaudara yang dilatih tikus bernama Splinter
(Tony Shalhoub) dengan sentuhan pizza
di dalamnya, tapi masalahnya adalah kisah yang ditulis oleh Josh Appelbaum, André Nemec, dan Evan Daugherty itu tidak berhasil
menciptakan wadah agar kekacauan tadi mampu menunjukkan pesona mereka.
Yap, mari mulai dengan charmless. Mayoritas dari kita
jelas memutuskan datang menyaksikan film ini karena tertarik dengan kura-kura
ninja sebagai jualan utamanya, namun disini dengan racikan dari Jonathan Liebesman kita justru
mendapatkan sebuah kesibukan yang terasa canggung dan hambar. Benar, soulless,
sangat suka pada animasi pembuka, begitupula dengan keputusan untuk menjadikan TMNT seperti sebuah misteri kecil di
awal, tapi anehnya ketika mereka hadir, boom, semua terasa biasa. Kemana pesona
itu pergi? Dari tik-tok yang sering kali terasa kaku dan datar itu perlahan
hadir rasa jengkel karena identitas dari film ini yang perlahan juga mulai
terkuak, sebuah reboot yang penakut.
Okay, tidak perlu menyebutkan nama dari salah
satu produsernya, namun potensi menjanjikan diawal tadi dengan cepat berubah
menjadi sebuah kebisingan yang pemalas dan tidak peduli dengan makna dari
pertunjukkan yang ia hadirkan. Teenage
Mutant Ninja Turtles menjalankan dengan baik misi dari reboot di paragraf
pembuka tadi, dengan telaten menenun kerja komputer untuk memberikan hiburan
visual sebagai senjata pengeruk keuntungan, namun disisi lain ia adalah kemasan
pemalas untuk setidaknya meninggalkan hal mengesankan lainnya disamping sebuah
update visual dengan adegan menuruni gunung yang tidak dapat dipungkiri sanggup
tampil menarik itu.
Ya, sebuah update, menyegarkan memang, tapi tidak
meninggalkan kesan yang kuat. Teenage
Mutant Ninja Turtles tidak mampu menampilkan pesona yang dimiliki sehingga
penonton dapat merasakan kehadiran mereka sebagai sesuatu yang penting,
terlebih tidak mampu menjadikan tantangan pada tema persaudaraan yang mereka
bawa menjadi menarik. Pada akhirnya kita hanya berputar pada mode petualangan klasik
yang dengan semakin banyaknya film action dengan polesan CGI sekarang ini tidak mampu menciptakan kesan special sebagai
sebuah kesatuan, mencoba mondar-mandir agar tampak kompleks namun ketika aksi
close-up dipenuhi iklan dan lelucon kosong itu mulai tidak memberikan hasil
positif, ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari jeratan monoton.
Monoton, kesalahan terbesar film ini adalah ketika
Jonathan Liebesman takut untuk mengambil sikap di awal, ia seperti ragu apakah
ingin menjadikan film ini untuk tampil beda, atau tidak. Letaknya ada pada
karakter, karakterisasi yang merupakan hal penting bagi kualitas pesona yang
dihasilkan sangat lemah di TMNT,
tidak kokoh, terlalu terburu-buru, daya tarik mereka tidak di isi dengan baik,
sehingga ketika aksi-aksi standard itu muncul empat bersaudara itu bahkan
sering kali harus bertukar posisi dengan dua karakter utama manusia yang at
least mampu sesekali mencuri perhatian dan senyum dengan lelucon klise mereka
terkait percintaan, sebuah hal yang menjengkelkan jika menilik potensi film ini untuk bukan hanya sekedar menjadi reboot yang super standard.
Namun dibalik berbagai nilai minus tadi jujur saja apa
yang diberikan oleh Teenage Mutant Ninja
Turtles tidak melenceng terlalu jauh dari ekspektasi saya. Berbagai isu
yang hadir jauh sebelum ia rilis terbukti, bahwa perlakuan hormat pada karakter
Teenage Mutant Ninja Turtles
berpeluang sangat rendah dan ini semata-mata hanya sebuah usaha membuka
waralaba baru dari magician Transformers
itu. Yap, mereka yang mencintai nama terakhir tadi mungkin akan mudah mencintai
film ini, tidak perduli cerita buruk, tidak peduli karakter minim pesona dan
hambar, hanya berharap di hibur tindakan ingar-bingar, dan tentu saja Megan Fox yang sibuk menjadi informant
untuk menyelamatkan kota New York.
Overall, Teenage
Mutant Ninja Turtles adalah film yang kurang memuaskan. Merupakan sebuah
update yang cantik dari sisi teknologi, namun sayangnya sikap takut untuk tampil
beda menghancurkan potensi film untuk menjadi petualangan ringan yang bukan
hanya menyenangkan, tapi juga berkesan. Tidak mampunya ia bercerita at least
berada di level yang cukup baik, karakter menjadi lemah, tema persahabatan dan
keluarga menjadi ikut melemah, akhirnya pesona mereka tidak berhasil muncul,
menghasilkan sisi pahit yang menarik jatuh nilai plus dari elemen visual yang tampil baik
itu. Standard.
Couldn't agree more. Nice review, btw. :)
ReplyDeleteThanks. :)
DeleteBener-bener ngehibur ga ya?
ReplyDelete