"There is no calm before the storm"
Film seperti ini merupakan sebuah hiburan yang punya
potensi besar untuk meninggalkan dilema pada penontonnya, kita tahu ia punya
materi yang miskin, usang, bahkan beberapa ada yang terasa bodoh, tapi disisi
lain kita juga akan merasa sulit untuk
memungkiri bahwa apa yang ia berikan mampu memberikan rasa senang,
sekecil apapun kualitas dan kuantitas yang ia miliki. Yap, guilty pleasure. Into The
Storm, when disaster and drama destroying each other.
Seorang pria muda bernama Donnie (Max Deacon) membuat sebuah video berisikan pesan yang ingin
ia ucapkan kepada dirinya 25 tahun kemudian sebelum acara wisuda di sekolahnya.
Video tersebut merupakan permintaan dari sang ayah, Gary Morris (Richard Armitage), yang ternyata dikerjakan oleh
Donnie dengan setengah hati karena masalah diantara mereka, menyerahkan tugas
tersebut kepada adiknya, Trey (Nathan
Kress), dan justru memilih mewujudkan impiannya pada Kaitlyn (Alycia Debnam-Carey), wanita yang selama ini ia kagumi.
Tugas sekolah Kaitlyn menjadi jalan bagi Donnie, tapi
ternyata juga membawa masalah bagi mereka. Sebuah badai tornado raksasa sedang
dalam perjalanan untuk menghancurkan kota mereka, objek yang celakanya ternyata
telah menjadi sesuatu yang menarik bagi sebuah kelompok yang berisikan seorang
ahli meteorologi bernama Allison Stone
(Sarah Wayne Callies) serta para pria yang dipimpin Pete (Matt Walsh), yang sangat yakin dengan mobil bernama Titus
yang telah ia rancang dapat mewujudkan impiannya untuk berada di pusat tornado
dan meraih keuntungan besar dari video dokumenter yang mereka dapatkan.
Into The Storm adalah film bagi mereka yang datang untuk menyaksikan
sebuah petualangan berisikan bencana. Oh, tunggu dulu, mungkin lebih tepatnya “pure disaster”, murni ingin melihat
gerakan tornado memporak-porandakan bangunan, mobil ukuran besar, hingga alat
transportasi lainnya, dan bergabung bersama dua orang gila (mungkin juga tiga)
dalam upaya mewujudkan mimpi mereka. Ya, kasarnya anda mungkin akan merasa
sangat senang jika diawal hanya berharap untuk dapat di hibur dengan kehancuran
visual, yang harus di akui berhasil memberikan kinerja memuaskan.
Lantas bagaimana dengan mereka yang datang tidak
dengan keinginan yang sederhana seperti tadi? Mix, campur aduk, dan itu pula
yang saya rasakan ketika harus berusaha keras di bagian awal menyaksikan
perputaran masalah yang masih dibangun dengan canggung itu bersama karakter dan
bahkan dialog yang seolah tidak punya pesona yang mampu menggoda penontonnya.
Kegelisahan itu hanya hadir dari proses menunggu yang kita jalani dalam
menunggu hadirnya badai tornado, sedangkan karakter, dialog, bahkan perputaran
alur sendiri tidak mampu menciptakan pondasi yang baik, padahal kita sudah tahu
pada akhirnya ini akan berujung pada sebuah dramatisasi.
Nah, itu dia minus dari kisah yang ditulis oleh John Swetnam dan dibangun oleh Steven Quale ini, mereka tidak berhasil
membentuk sebuah kombinasi yang mumpuni antara drama dan juga jualan utamanya,
disaster. Keduanya saling membunuh, tidak menjadi sebuah masalah jika sejak
awal drama hanya dijadikan sebagai pemanis belaka, tapi sebaliknya secara
konstan dapat terlihat dengan sangat jelas Steven
Quale terus berupaya menciptakan momen-momen yang dapat ia gunakan untuk
memperdalam sisi drama, memperkuat cerita dan karakter. Dan itu gagal, sisi
drama sering di push terlalu kuat, terlalu berlebihan, dan terlalu kaku, hingga
akhirnya mengganggu kekacauan visual yang nikmat itu.
Lupa kapan terakhir kali merasa begitu senang dalam
menikmati sebuah badai dengan tampilan kokoh bergerak memacu adrenalin (Sharknado, mungkin), yang kemudian tanpa
di sadari dapat menarik penonton untuk menjadi pendukungnya dalam melibas
karakter-karakter yang mayoritas sudah terasa menjengkelkan sehingga eksistensi
mereka tidak lagi menjadi sesuatu yang terasa penting. Apresiasi layak
diberikan pada Steven Quale (visual
effects Avatar), ia mampu memanfaatkan CGI dengan baik sehingga hadir
semangat dari “kehancuran” yang dibawa oleh tornado pada penonton, seperti rollercoaster kecil karena tubuh yang
telah santai dengan hal-hal super standard tadi berubah seketika ketika badai
tiba.
Yap, saya suka bagaimana rasa takut itu dapat hadir
bersamaan dengan rasa kagum, sebuah windstorms yang mungkin akan terkesan
berlebihan tapi tetap tidak mampu menghalangi kita untuk menilainya sebagai
sesuatu yang luar biasa. Dan at least dengan eksistensinya Into The Storm punya sesuatu yang menarik dibalik kumpulan hal-hal
cheesy yang tidak mampu diolah dengan baik, pergerakan alur yang kusam, hal
teknis seperti permainan kamera yang tidak berhasil menambah hal positif bahkan
beberapa kali terasa kurang sehat, hingga kualitas akting para aktor yang
terkesan seadanya, tidak menunjukkan perkembangan dalam standard minimal,
sehingga tidak punya pesona yang melemahkan sisi drama pada cerita.
Overall, Into
The Storm adalah film yang cukup memuaskan. Sangat standard memang, dan ia
juga punya penyakit dari disaster movie seperti karakter minim pesona dalam
script yang kasar, hal-hal klise yang tidak terbangun dengan baik namun terus
dipaksakan kehadirannya, serta hiburan visual yang menjadi senjata utama untuk
menyenangkan penontonnya. Well, setidaknya dengan keterbatasan yang ia miliki
film ini hadir dalam komposisi yang normal sehingga tidak terasa melelahkan, dan petualangan klise itu masih mampu menghadirkan rasa puas bagi penontonnya.
0 komentar :
Post a Comment