"Morons need friends."
Sikap optimis tentu merupakan sesuatu yang wajib di
miliki oleh setiap orang, rasa percaya diri serta ambisi untuk terus menjadi
lebih besar dan lebih baik, tapi ada pula sikap yang kita sebut realistis,
sikap yang mampu mengingatkan kita mana limit yang harus di pecahkan dan mana
limit yang harus di jaga sebagai upaya untuk tidak melahirkan hal buruk dan
negatif. Edisi ketiga parade otot ini tetap berusaha memecahkan batasan yang
ada dihadapan mereka, The Expendables 3, that dream team becomes too far, too crowded, too foolish.
Masih dibawah komando Barney Ross (Sylvester Stallone), The Expendables yang beranggotakan Lee Christmas (Jason Statham), Gunnar
Jensen (Dolph Lundgren) dan Toll Road
(Randy Couture) sedang menjalankan aksi mereka dengan menggunakan sebuah
kereta untuk membebaskan mantan anggota lainnya, ahli pisau bernama Doctor Death (Wesley Snipes). Namun
masalah tidak berhenti disana, karena saat menjalankan tugas mereka di Somalia,
The Expendables menemukan fakta mengejutkan bahwa pengkhianat mereka bernama Conrad Stonebanks (Mel Gibson) masih
hidup.
Kekuatan Stonebanks cukup besar, ia bahkan mampu
membuat The Expendables mundur dari
peperangan, tapi dampaknya ternyata cukup besar bagi Barney yang memilih tidak
mau membahayakan nyawa rekan-rekannya dan kemudian membentuk tim baru yang
lebih muda, dari John Smilee (Kellan
Lutz) hingga Galgo (Antonio Banderas),
dibawah pengawasan officer CIA Drummer
(Harrison Ford), dan bantuan rekannya Trench
Mauser (Arnold Schwarzenegger), Barney berusaha mengagalkan bisnis Stonebanks
sembari membalaskan rasa kesalnya.
Coba cermati sinopsis diatas tadi, begitu banyak nama
aktor berpenampilan kokoh, kekar, hingga ikonik yang coba saya masukkan
kedalamnya, bahkan cukup rumit untuk menjelaskan bahwa didalamnya anda juga
dapat menemukan martial artist bernama Ronda
Rousey, serta jagoan asia bernama Jet
Li. Tidak heran memang karena hal ini mulai menjadi sebuah pemandangan
umum, ketika mendengar nama The
Expendables hal pertama yang terlintas adalah sebuah tim berisikan berbagai
jagoan action yang bersedia memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Sylvester Stallone bukan hanya sebatas
bersantai dan bergembira bersama, namun juga menunjukkan kembali
hal-hal khas dan ikonik yang mereka miliki bersama kumpulan testosterone.
Yap, sedikit membosankan untuk mengikutsertakan ini
tapi anda tidak bisa mengharapkan kualitas cerita yang mumpuni dari film
seperti ini, yang meskipun kali ini secara mengejutkan tampil cukup padat tetap
saja berisikan aksi mondar-mandir dengan formula super klasik, perkenalan,
masalah internal dan eksternal, aksi tembak dan perkelahian, dibumbui dengan
misi balas dendam. Oh, begitupula dengan plot yang digunakan sebagai pembuka
ruang tempur baru, dan juga kualitas akting yang disini kalah penting dibandingkan
dengan ledakan api, pesta peluru bersama kendaraan lapis baja, helikopter,
speedboat, tanker, rudal, hingga aksi combat menggunakan pisau.
Lantas apa masalah film ini? Mengapa berputar-putar?
Bukan, hal diatas tadi lebih kepada upaya untuk menggambarkan ekspektasi rendah
saya pada film ini, yang sayangnya tetap saja tidak dapat tercapai. Alasannya?
Tiga hal dibagian awal tadi, terlalu jauh, terlalu padat, terlalu bodoh, apa
yang saya suka di film kedua hilang disini, sensasi bersenang-senang yang
memuaskan. Ambisi menghasilkan hal negatif bagi Sylvester Stallone, ini tidak lagi terasa sebagai sebuah parade
yang bebas, lebih ke arah sebuah arena show-off bagi bintang-bintang lama. Ya,
dua film sebelumnya juga begitu memang, tapi dengan sikap yang masih bijak
masih ada momen dan sensasi yang benar-benar kuat, Jean-Claude Van Damme, hingga Chuck
Norris.
The Expendables 3? Sangat sangat minim. Pada sisi action apa yang
dilakukan oleh Patrick Hughes terasa
efektif, tapi ia juga menerima dampak dari sebuah teori dimana ruang kosong
yang berisikan sepuluh orang tentu saja akan menghasilkan bunyi gema yang lebih
kuat dari satu orang jika dibandingkan ketika ruangan tersebut di isi dengan jumlah dua kali
lipatnya. Ia tidak mampu menghindar dari hal tersebut, bukan hanya pada sensasi
tapi semangat itu juga hilang, berbagai tik-tok antara karakter yang seolah
berupaya membangkitkan kembali memori lama dan spesialisasi mereka di ingatan
penontonnya juga tidak ada yang benar-benar mengesankan, sulit untuk menemukan
raungan yang mampu mengajak penonton bergumam “ayo, hajar, hancurkan,” terasa
lunak dari lelucon hingga adegan kekerasan.
Lalu apa nilai positif dari film ini? Antonio Banderas! Yap, bukan gimmick
kusam dan kasar pada visual, bukan variasi pada lokasi, bukan pula adegan aksi
yang terasa lemah akibat keputusan bodoh menekan rating ke PG-13 meskipun ia
sadar memiliki banyak references yang sulit dijangkau remaja pada umumnya, tapi Mister Zorro dan El Mariachi yang mampu memanfaatkan setiap momen yang ia punya
dengan aksi cerewet untuk menyuntikkan energi yang lucu, segar, dan
menyenangkan. Selain itu tidak ada yang mengesankan, para pemain muda yang baru
hanya menjadi tempelan, sedangkan para pemeran lama terasa sedikit terlupakan.
Overall, The
Expendables 3 adalah film yang kurang memuaskan. Kurang menggigit,
sederhananya mungkin seperti itu, dimana bagian-bagian penting yang sebelumnya
telah berhasil merubah film pertama yang membosankan itu menjadi petualangan
mengesankan di edisi kedua kembali hilang disini: kekurangan semangat, kekurangan
sensasi, hal negatif itu hadir karena tidak mampunya mereka mengontrol ambisi
untuk terus memecahkan limit, yang celakanya kali ini terasa bergerak terlalu jauh.
0 komentar :
Post a Comment