“Let me in! Let me in!”
Mana diantara dua opsi
berikut yang menurut anda akan memberikan sensasi menonton yang lebih
mengasyikkan: secara konsisten terus disajikan berbagai materi horor dari
gimmick klasik hingga jump scare, atau justru masuk kedalam petualangan dimana
anda hanya di beri tahu bahwa ada sesuatu yang menyeramkan disana namun
kemudian dilepas untuk bermain-main secara liar bersama imajinasi yang perlahan
membentuk sendiri rasa takut anda? For me opsi kedua lebih mengasyikkan, dan
film ini punya hal tersebut, The
Babadook, a very good classic haunted house & psychological horror. Gripping. Riveting!
Pada hari dimana ia
hendak melahirkan, wanita bernama Amelia
(Essie Davis) justru harus kehilangan salah satu sosok yang paling ia
cintai dalam hidupnya. Suaminya, Oskar
(Ben Winspear), meninggal dunia akibat kecelakaan mobil tujuh tahun yang
lalu, kisah yang juga menjadi favorit bagi anak mereka Samuel (Noah Wieseman) untuk diceritakan kepada orang lain.
Celakanya beban Amelia tidak hanya harus berjuang keluar dari mimpi buruk tadi,
menjadi ibu tunggal di usia muda, namun juga harus berhadapan dengan tingkah
laku Sam yang bahkan telah dinilai mengerikan oleh orang-orang disekitar
mereka.
Namun seperti ibu pada
umumnya Amelia tidak merasa ada yang salah pada Sam, ia bahkan dengan sabar
menunjukkan pada anaknya itu bahwa tidak ada sosok aneh di dalam lemari hingga
dibawah tempat tidur seperti yang ia ucapkan, dan kemudian membacakan Sam buku
cerita sebelum tidur. Tapi suatu hari siklus yang mereka lakukan secara teratur
itu berubah dimana Sam diperbolehkan untuk memilih buku cerita yang ia
inginkan. Buku yang dipilih itu berjudul "Mister
Babadook", buku bersampul merah tanpa penerbit dan penulis yang berkisah
tentang tuan Babadook, sosok supranatural yang membawa bahaya bagi mereka.
Pertanyaan di bagian
awal tadi sesungguhnya telah menjadi clue yang sangat besar, bahwa The Babadook bukan merupakan sebuah horror yang menggunakan premis dari
sinopsis yang ia punya agar membuka arena bermain untuk kemudian menyuapi
penontonnya dengan materi horror sembari mengajak mereka mencari jawaban atas
teka-teki yang ia lemparkan. Jennifer
Kent menekan kuantitas hal tersebut pada kisah yang ia lebarkan dari film
pendek miliknya yang berjudul Monster ini,
menjaganya untuk tampil dalam kualitas yang tidak kalah baik, namun kemudian
menyandingkan hal tadi bersama perputaran cerita yang berisikan kelelahan
psikologis atau penderitaan mental yang menyenangkan.
The
Babadook adalah film horror
yang menyenangkan karena berhasil bercerita dengan rapi. Seperti yang
disebutkan sebelumnya anda tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada
karakter, dan tanpa mencoba untuk tampil rumit penonton akan dengan mudahnya
terjebak kedalam cerita berkat pesona dari dua karakter yang mampu membentuk
"something wrong" itu tampak menjanjikan. Tapi dari sana pula
penonton kemungkinan akan terpecah karena pada dasarnya The Babadook mayoritas berisikan aksi menunggu dimana kita diajak
untuk mengamati proses destruksi pada karakter dari positif menjadi negatif,
dan dengan visi yang kuat hal itu berhasil Jennifer
Kent tampilkan dengan padat.
Apa maksudnya? Mengapa
begitu rumit hanya untuk ditakut-takuti? Sebenarnya tidak, jika anda sejak awal
telah klik dengan visi Jennifer Kent
yang memilih tampil dengan visi sebuah tahapan, sebuah petualangan yang lebih
mengedepankan permainan atmosfir atau suasana hati untuk kemudian membangun
masalah dengan perlahan diselimuti keheningan tanpa harus kehilangan kontrol
pada sensasi. Mungkin akan terasa asing, tapi pilihan berani itu menghasilkan
kemasan yang terasa kuat, dari "something wrong" masuk kedalam
permainan emosional ditemani rasa sedih, benci, marah, stress, dan takut,
kemudian terjebak lebih dalam bersama terror serta berbagai guncangan yang
dikemas dengan cekatan.
Hasil dari skenario
tadi adalah sebuah tahap akhir yang "menyeramkan" dan membayar lunas
kesabaran para penontonnya. Derit pintu, langkah perlahan, menanti di kegelapan
dalam kondisi waspada, hal-hal klasik tadi bahkan kerap di mix dengan
momen-momen lucu yang mampu mengundang tawa, tapi alasan mengapa The Babadook merupakan real deal di
genre horror tahun 2014 sejauh ini adalah karena ia mampu menyandingkan dengan
sangat baik narasi bersama dengan sensasi. Apa yang anda inginkan dari sebuah
film horror The Babadook punya, dan
meskipun kuantitasnya terasa kurang tidak akan terasa mengganggu berkat narasi
yang dipenuhi interaksi dan emosi yang juga tampil menarik.
Lantas apa minus yang mengganggu dari The Babadook? Imo tidak ada, tidak
begitu menyeramkan memang tapi sensasi horror yang ia berikan sangat
menyenangkan. Nah, hal terakhir itu yang mungkin akan sedikit berbeda, tidak
ada boom-boom-boom penuh kejutan oktan tinggi disini, The Babadook lebih seperti sebuah orchestra yang membuat
penontonnya terombang-ambing dan kemudian terkejut ketika nada sedikit tinggi
hadir sesaat. Semua dijaga untuk tampil ketat, dari fokus pada cerita, fokus
pada emosi, hingga atmosfir, meskipun ada aksi menunggu tidak ada yang terasa
layu, semua karena tersusun dalam sebuah skema yang di eksekusi dengan rapi,
keseimbangan yang mampu membentuk teknik seperti close-up dapat memberikan rasa
segar pada horror tradisional ini.
Dua pemeran utama juga
punya andil sangat besar pada kesuksesan yang diraih The Babadook, terlebih mengingat penggunaan efek yang cukup minim
disini. Noah Wieseman adalah bintang
baru yang cemerlang, sangat suka pada cara ia melemparkan teror di awal dengan
menggunakan mata, kesan ambigu pada misteri juga mayoritas terjaga dengan
sangat baik berkat kemampuannya dalam menyeimbangkan penggunaan ruang bersama Essie Davis. Mungkin masih terlalu dini,
tapi nama terakhir punya kans yang cukup kuat untuk menjadi aktris terbaik
versi saya tahun ini, seperti menyaksikan Mia
Farrow di Rosemary Baby, berawal
dari rasa lelah kemudian kemunculan rasa sakit, marah, hingga sedih itu
ditampilkan dengan sangat baik oleh Essie
Davis namun tetap mudah dijangkau oleh penontonnya.
Overall, The Babadook adalah film yang memuaskan.
Sederhana dan tradisional, tapi keputusan untuk tidak hanya sebatas menjual
efek khas horor bersama visual suram, kemudian menyandingkan mereka dengan
narasi yang lucu tanpa harus terasa konyol, menyentuh tanpa terasa terlalu
mellow, hingga bermain-main liar dalam ketenangan tanpa terasa menjengkelkan, Jennifer Kent serta dua pemeran utama
berhasil menghadirkan efektifitas pada sebuah dongeng psikologis dan supranatural yang: bijak
dalam bercerita, lembut ketika berjalan, namun tetap pedas saat memberi
"kejutan". Ba-ba-ba! Dook-dook-dook!
hey, how did u get to see the film?
ReplyDeleteBlitzmegaplex.
DeleteFilmnya memang tdk menjual ending-2 wah,, tetapi sgt menunjukkan kpd realita yg begitu sgt sederhana namun apik tanpa harus dipengaruhi olh musik menegangkan utk menambah daya tarik kpd kemencekaman",,salut utk film ini - krn ini terasa real"
ReplyDelete& juga atas ulasannya dr kisanaq"
Thanks kunjungannya. :)
Delete