"If a man desire to life, he will surely die, but if he fights to the death, then he will surely live"
Bisa dikatakan ini merupakan salah satu film di tahun
2014 dengan hype yang sangat besar menjelang rilis. Wajar memang jika menilik
dua pemeran utama miliknya yang sangat menjanjikan itu, terlebih dengan dibantu cerita
yang diambil dari salah kisah penting bagi eksistensi bangsa Korea, faktor di balik keberhasilannya meraih posisi tertinggi
sebagai the most-watched film of all time
di Korea mengalahkan The Host, serta the biggest grossing movie in Korea
dengan mengalahkan Avatar. The Admiral: Roaring Currents (Myeongryang), very important movie for Korean.
Empat abad yang lalu tepatnya pada tahun 1597, setelah
sempat ditahan karena sikap yang ia tunjukkan dinilai melawan perintah dari
raja, komandan militer yang sangat dihormati bernama Yi Sun-sin (Choi Min-sik) kembali ditugaskan untuk memimpin
angkatan laut Dinasti Joseon.
Penyebabnya adalah kondisi darurat dimana Jepang dibawah komando Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong)
dan Wakisaka Yasuharu (Cho Jin-woong)
berniat melancarkan invasi kedua mereka dengan berupaya menduduki pantai milik
Dinasti Joseon.
Masalah besar bagi Dinasti
Joseon tersebut ternyata tidak hanya datang dari kubu musuh, karena setelah
mengalami kekalahan telak di Pertempuran
Chilchonryang armada angkatan laut milik mereka telah hancur berantakan.
Hanya 12 kapal yang tersisa dari perang tersebut, jumlah yang kalah telak jika
dibandingkan dengan 330 kapal milik pasukan Jepang, hal yang kemudian menciptakan
sikap putus asa dipenuhi rasa takut, serta opsi untuk menyerah karena
kesempatan yang sangat kecil untuk menang di medan pertempuran. Namun Yi
Sun-sin tetap teguh pada sikapnya, menolak menyerah untuk kalah sebelum
berperang.
Beberapa fakta terbaru di paragraf pembuka tadi
sebenarnya bukanlah sebuah kejutan yang besar bagi saya karena sejak awal film
ini pada dasarnya telah memiliki kemampuan yang sangat mudah untuk mencuri
atensi dan minat penonton, bahkan imo jika harus mengesampingkan faktor dari kisah sejarah penting
yang ia bawa dengan bersenjatakan Choi
Min-sik dan Ryu Seung-ryong (dua
aktor yang menjadi bagian dari bankable
movie actor di Korea) di posisi terdepan jajaran cast tidak diragukan lagi
akan sangat mudah bagi masyarakat Korea untuk bersedia menyisihkan sedikit
waktu mereka bagi film ini di dalam cinema. Lantas apa masalahnya? Masalahnya terletak pada
hype yang mereka hasilkan.
Saya terjebak di dalam hype tersebut, dua pemeran
utama yang menjanjikan, semakin heboh dengan keberhasilan meraih 16 juta
penonton dalam negeri, ekspektasi semakin tinggi yang sayangnya tidak berhasil
terpenuhi. Ya, ini memuaskan, namun tidak mencapai apa yang saya harapkan,
dengan penyebab utama berasal dari terbaginya film menjadi dua bagian yang
celakanya tidak tampil sama menariknya. Kisah yang dibentuk kembali oleh
sutradara Kim Han-min bersama dengan Jeon Cheol-hong ini ternyata bukan
merupakan sebuah pencampuran dari action dengan drama secara beriringan dengan
menggunakan gesekan tingkat tinggi seperti yang ditampilkan oleh trailer miliknya, karena Roaring Currents justru mengajak
penontonnya untuk terjebak, menunggu, dan berpesta.
Bukan sebuah skema yang salah memang, tapi sebelum
mencapai peperangan yang menyenangkan di bagian akhir itu kisah terbangun
dengan cara yang kurang menyenangkan. Paruh pertama cukup monoton, bahkan dapat
dikatakan cukup canggung dengan dramatisasi terkait berbagai keputusan buruk
yang dilakukan oleh banyak karakter dengan berisikan upaya menampilkan sisi
kepahlawanan, martabat, hingga loyalitas yang dibalut bersama rasa takut dan
putus asa. Bahkan salah satu hal taboo
ketika menonton film muncul disini, berulang kali mengecek jam tangan, karena
pada bagian ini cerita seperti terbebani, seolah ingin tampak rumit yang
akhirnya tidak menciptakan dinamika yang lembut dan cenderung terseret.
Itu yang mengecewakan, karena dampaknya kesan penting
dari point utama terkait sikap pantang menyerah itu pada akhirnya tidak tampil
sangat kuat ketika ia mencapai garis finish. Kim Han-min seperti ingin agar
peran dari hal-hal kecil dari intrik hingga hal implisit seperti strategi
menggunakan arus air laut itu mampu memperkuat penceritaan, tapi celakanya
keputusan itu yang menjadikan narasi tampak terlalu sibuk dan terasa kurang
fokus, hal yang menyebabkan memudarnya potensi Roaring Currents untuk tidak hanya sekedar menjadi sebuah film
peperangan yang familiar, namun juga karakter menarik yang mampu memberikan
dramatisasi mumpuni untuk mengaduk-aduk emosi penontonnya. Itu tidak ada, hasil
dari karakterisasi dan jalinan konflik yang kurang dalam sehingga daya tarik
mereka tidak berhasil terbangun dengan maksimal.
Lantas bagaimana dengan paruh akhir? Dinamika dan alur yang kurang lembut, daya tarik yang tampil kurang maksimal, nilai
minus di babak awal itu berganti wajah di babak kedua. Sangat suka pada bagian
ini, sebuah aksi bersenang-senang yang intens dan fokus, ditunjang detail
produksi yang mumpuni serta teknik sinematik yang terasa berani namun tetap
manis, dari replika kapal hingga bantuan CGI serta score yang terus menyuntikkan
kesan meriah, ketegangan yang dihasilkan terasa mengasyikkan disini, dari aksi
tembak jarak jauh, hingga pertarungan jarak dekat yang mampu dikemas dengan
cermat dalam gerak cekatan, dan akhirnya akan sulit untuk tidak menyambut
hadirnya senyuman ketika mendapatkan urutan pertempuran yang tampil layaknya
sebuah pesta menegangkan tersebut.
Dilema mungkin hadir dari divisi akting. Sulit untuk
mengatakan kinerja dari Choi Min-sik
disini tidak memuaskan, karisma yang ia miliki masih muncul dalam kemarahan
yang tampil tenang itu, tapi jika ditanya apakah sangat impresif atau
mengesankan, jawabnya adalah kurang. Hal yang sama juga berlaku pada Ryoo Seung-ryong, yang kali ini ternyata
punya peran cukup minim dan lebih sering tampil muram sembari merenung, terasa
datar, dan itu cukup disayangkan karena ia memiliki peran penting untuk
menciptakan gesekan konflik antara Korea dan Jepang yang di sepanjang film
terasa kurang intens, kurang dalam, sehingga tidak mampu menunjang konsistensi
pada daya tarik cerita.
Overall, The
Admiral: Roaring Currents (Myeongryang) adalah film yang cukup memuaskan. Let’s make it clear, Roaring Currents
berhasil menjalankan salah satu tugasnya sebagai film perang, impresif dan
menyenangkan, tapi saya yakin misi yang dibawa oleh film ini tidak sesederhana
itu. Ini telah di set agar mampu membakar semangat penontonnya untuk tidak
mudah menyerah, percaya diri, dan berani mencoba, hal-hal yang di selipkan
dalam aksi kepahlawanan itu memang hadir, namun tidak dalam kualitas yang sangat kuat dan mencapai potensi mereka, narasi yang kurang fokus
serta cara cerita yang terbentuk dengan canggung di paruh pertama menjadi
penyebabnya. Heroik, tapi kurang epik.
Film sejarah yang menarik, apalagi di laut peperangannya.
ReplyDeleteMakasih banget ulasannya.