"Having a friend light years away taught us that distance is just a state of mind."
Film seperti Earth
to Echo ini sebenarnya menjadi salah satu bagian wajib dari pengisi liburan
musim panas layar-layar bioskop, bukan hanya film superhero, komedi, action,
dan film animasi. Penting, karena dengan luas cakupan yang sempit film seperti
ini jelas menyasar para remaja dengan berbagai pesan yang sederhana tapi tetap
menarik. Tapi sayangnya Earth to Echo
punya itu dalam kualitas yang kurang besar, terasa seperti ET grade E.
Sebelum berpisah, Alex
(Teo Halm), Tuck (Brian Bradley),
dan Munch (Reese C. Hartwig)
memutuskan untuk mengisi malam terakhir mereka bersama-sama. Tapi sebuah sinyal
aneh yang hadir di smartphone mereka justru membawa tiga anak laki-laki ini
bergerak bersama rasa penasaran mereka untuk menyelidiki apa yang terjadi.
Mereka menemukan alien dalam bentuk robot kecil yang mereka namai Echo, tapi bersama seorang anak
perempuan bernama Emma (Ella Wahlestedt)
mereka justru menjadi sasaran agen federal yang menginginkan Echo dengan tujuan
yang jahat.
Tidak perlu waktu lama untuk menilai kalau cerita yang
ditulis oleh Henry Gayden akan
mengingatkan kita dengan E.T. karya Steven Spielberg. Kurang yakin juga
sebutan apa yang layak diberikan, penghormatan, hanya sebatas terinspirasi,
atau justru copy paste murni dengan memberikan sesuatu yang segar dengan
penggunaan format found footage dalam
teknik pengambilan gambar. Tapi ada satu hal yang pasti, Dave Green membawa Earth to Echo terjebak dalam rasa berbagai film
terdahulu seperti The Goonies, Super 8, dan
menyebabkan pilihannya untuk mengikuti metode Chronicle tidak memberikan hasil yang baik.
Ya, ini terasa seperti kombinasi dari berbagai film
sci-fi, dan itu jelas bukan sesuatu yang salah dan taboo, asalkan dia memenuhi
satu syarat penting, ia punya identitas sendiri. Earth to Echo tidak punya itu, penghormatan kepada ET ia justru
tidak punya hal-hal positif dari ET, menggunakan gaya found footage justru
lebih terasa seperti usaha untuk menutupi nilai minus yang dimiliki script.
Terlalu sadis mengatakan ini super bodoh dengan beberapa materi yang tampak
dimasukkan tanpa perhitungan, lagipula karena sasaran utamanya pada penonton
muda, tapi referensi yang banyak banget tadi itu membuat Earth to Echo seperti bingung sendiri ia ingin menjadi apa.
Terlalu berambisi mungkin ya, ingin kelihatan wah dengan gaya sinematik tapi harus berakhir unimpressive karena berbagai ide yang
tidak di eksekusi dengan baik. Ini bisa menjadi tontonan yang intim menurut
saya, tapi pendekatan yang mengganggu terlebih dengan kamera yang kurang
“sehat” merusak potensi itu. Ini juga bisa menjadi sebuah film bertemakan
persahabatan dengan obsesi pada teknologi apalagi jika melihat chemistry ketiga
pemeran anak laki-laki yang dapat dikatakan tidak begitu buruk, tapi kurang
mampunya Dave Green mengontrol alur
yang dari awal hingga akhir terus bergerak turun daya tariknya juga mengubur
potensi tadi.
Tidak ada yang salah dengan aksi meminjam referensi
dari berbagai film yang sebelumnya pernah eksis dan terkenal, tapi Earth to Echo ternyata sebuah film
pemalas yang antara tidak mampu atau tidak mau untuk menciptakan identitasnya
sendiri sebagai film remaja yang ringan dengan isi pesan-pesan positif. Hal
terkahir tadi kurang penting? Untuk menjadi sebuah petualangan sederhana yang bodoh
tapi menyenangkan saja ini masih kurang memuaskan. Jika kelak ada orang yang
menanyakan tentang Earth To Echo
kepada saya, mungkin hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah ET grade E.
0 komentar :
Post a Comment