Film-film seperti Under
the Skin sebenarnya masuk kedalam kategori “not to miss”, mengapa,
alasannya sederhana, karena ia seperti udara di pegunungan yang akan memberikan
sensasi segar dan menyejukkan bagi penonton yang selama ini hidup di gegap
gempita perkotaan. Ada pengalaman berbeda yang coba ia tawarkan tapi tentu saja
dengan resiko yang berasal pula dari dua opsi, hit or miss. Under the Skin, an ambiguous and calm
hypnotic adventure with beautiful alien.
Ada sebuah bunyi aneh yang seolah menandakan bahwa
sesuatu yang mengerikan telah tiba di bumi, dan tidak lama kemudian seorang
pria dengan tampilan pembalap membawa wanita dalam kondisi tak sadarkan diri di
bahunya. Wanita itu ia masukkan kedalam sebuah mobil van berwarna putih yang
ternyata punya kondisi yang sama putihnya dibagian dalam. Tubuh wanita itu
memang terdiam, tapi matanya masih dapat menyaksikan ketika seorang wanita
lainnya yang sedang dalam kondisi telanjang mulai melepas dan mencuri satu persatu
pakaian miliknya.
Setelah selesai bertransformasi wanita (Scarlett Johansson) itu mulai masuk ke
area publik, mulai mencari-cari barang yang di matanya terasa aneh di pusat
perbelanjaan, kemudian berkeliling kota di Skotlandia tempat ia terdampar itu
dengan mengendarai mobil van putih tadi. Celakanya apa yang ia lakukan ternyata
juga sama anehnya, mengemudi secara perlahan untuk secara selektif mulai
mencari dan merayu para pria lajang, membawa mereka kedalam sebuah ruangan aneh
yang berbahaya. Namun seiring berjalannya waktu wanita tersebut mulai merasakan
sesuatu yang aneh datang mengganggunya.
Untuk bagian pembuka saya cukup setuju dengan apa yang
telah di bahas sebelumnya pada review pertama Under the Skin di rorypnm,
seperti disebutkan diawal tadi bagaimana ketika kita diajak untuk tersesat,
terjebak mungkin bahasa lebih halusnya, dalam sebuah petualangan yang tidak
pernah berhenti menawarkan pertanyaan dengan hasil sebuah rasa bingung di otak
penontonnya. Ini tenang, dan rasa tenang yang secara stabil tersaji itu pula
yang menjadikan cerita yang Jonathan
Glazer tulis bersama Walter Campbell
ini seperti tersenyum licik kepada penontonnya sembari melemparkan satu
pertanyaan besar di balik kesan multi tafsir lain yang menemani, “apa pendapat
kamu tentang ini?”
Yap, Under the
Skin bukan sebuah film yang akan menuntun penontonnya melainkan sebuah
hiburan dimana kita sebagai penonton diberikan tema luas untuk kemudian dilepas
secara bebas, bergerak liar bersama interpretasi masing-masing dalam memberikan
respon kepada masalah yang dilemparkan cerita. Eksperimental, penuh kesan
random, anda akan merasa seolah menjadi pada korban, bersedia dibawa
terombang-ambing dan berkeliaran bersama seorang alien cantik yang bahkan tidak
memiliki nama itu, dipaksa untuk bersabar tapi secara konsisten tetap di jejali
dengan berbagai misteri yang ambigu. Apakah buruk? Tidak, karena pada awalnya
misi Jonathan Glazer untuk mengajak
penonton mengamati dunia para manusia masih tampil dengan sangat kuat.
Bukan hanya terkejut, tapi dengan rasa yang ternyata
cukup jauh dari kesan mainstream penonton yang ekspektasi awalnya tidak klik
mungkin akan mulai merasakan kegelisahan dibalik aksi berlama-lama yang
diterapkan Under the Skin. Sedikit
annoying memang, meskipun misteri itu berhasil di jaga tertutup dengan rapat
dan terus mengundang rasa penasaran, ditemani visual dengan eksekusi yang
berani, score yang imo menjadi daya tarik terbesar, ketika anda telah dapat
makna utama yang ia coba bawa ketidakjelasan dipenuhi setting samar itu mulai
kehilangan sengatan miliknya, kesepian yang menemani rasa bingung perlahan
mulai menggerus kuantitas dan kualitas dari sensasi yang dimiliki cerita.
Ibarat sebuah film horror, anda diberikan jump scare
berkualitas di bagian awal, membuat anda siaga dan kemudian menunggu apa yang
akan hadir selanjutnya, namun pada akhirnya setelah itu anda hanya mendapatkan
hiburan dengan alur yang tenang tanpa kejutan. Ini yang menjadi masalah pada Under the Skin, bukan sebuah degradasi
skala besar tentu saja tapi perkembangan karakter yang telah di set sebagai
fokus utama itu tidak lagi memperoleh sokongan dari materi yang menarik. Sama,
berputar, berkelok-kelok, mondar-mandir dengan rasa yang sama, yang tercipta
akhirnya hanya aksi menunggu pada jawaban dari pertanyaan yang telah ia
ciptakan diawal dengan tingkat kenikmatan yang sedikit lebih rendah.
Sama seperti sikap ambigu yang ia tawarkan saya juga
sedikit bingung dalam menggambarkan apakah ini memuaskan atau tidak. Ada
hal-hal yang memberikan impresi sangat besar, dari cara topik utama dibentuk
dengan berani dengan sedikit kesan mengulur waktu namun tetap berada dalam
koridor yang tepat, hingga kesan abstrak dan random yang juga tampil sama
beraninya dan mampu memberikan sensasi yang menarik diawal. Tapi disisi lain
tidak boleh dipungkiri pula bahwa dibalik ambisi besar dalam bentuk sederhana
itu misi yang Jonathan Glazer bawa
tidak menciptakan sebuah hasil yang berada dalam skala masif, tidak ada kalimat
“wah, gila,” dibagian akhir, hanya “oh, begitu.”
Overall, Under
the Skin adalah film yang cukup memuaskan. Di buka dengan sangat impresif,
studi karakter yang menawarkan pertanyaan terkait humanisme ini mulai terasa
kurang berkembang sehingga sebuah hasil besar di bagian akhir tidak mampu
dicapai. Ada keindahan visual dengan cita rasa stylish yang menemani ketenangan
dan kesunyian cerita, ada score yang tidak pernah gagal membuat penontonnya
tersenyum puas, ada pula Scarlett
Johansson dengan mata, wajah, dan tubuh yang dipenuhi misteri, namun aksi
pengulangan menjadikan ini perlahan berubah menjadi sebuah serial killer biasa dan tidak meninggalkan kesan yang kuat sebagai film eksperimental yang konsisten
“menyenangkan.”
0 komentar :
Post a Comment