"The beginning of the end of the end of the beginning has begun."
Jika cara anda berekspresi masih belum memberikan rasa
bosan bagi anda, maka belum ada alasan bagi anda untuk berubah demi memuaskan
pendapat orang lain. Terdengar egois memang, namun yang mengerti cara agar anda
dapat merasa bahagia adalah anda sendiri, itu yang masih diterapkan oleh Wes Anderson, namun uniknya ia kembali
tidak hanya bergembira seorang diri bersama ide-ide miliknya, ia juga mampu
mengajak penonton untuk bersenang-senang dalam fantasi penuh warna. The Grand Budapest Hotel, 2014 yummy
orchestra.
Berawal dari sebuah buku berjudul “The Author" (Tom Wilkinson), seorang gadis muda bercerita
tentang petualangan The Author muda (Jude
Law) ke Grand Budapest Hotel pada tahun 1968, di kala ia bertemu dengan Zero Moustafa (F. Murray Abraham) yang
kemudian bercerita kepadanya tentang sebuah sejarah yang pernah terjadi di
Grand Budapest Hotel. Kisah itu bermula di tahun 1932, disaat Zero (Tony Revolori) masih menjadi
seorang lobby boy di hotel paling terkenal di Republic of Zubrowka itu, dan harus terlibat didalam sebuah masalah
yang melibatkan pria bernama Monsieur
Gustave H (Ralph Fiennes).
Gustave merupakan pengelola Grand Budapest Hotel, tapi kebiasaan yang ia lakukan dengan
menjalin hubungan lebih intim bersama tiap pelanggan wanitanya justru membawa
masalah besar. Sumbernya adalah Madame D.
(Tilda Swinton), wanita tua yang ternyata punya cinta sangat besar pada
Gustave, hingga ketika telah tiada ia mewariskan salah satu lukisan langka
miliknya kepada Gustave. Keputusan tersebut tidak diterima oleh Dmitri Desgoffe (Adrien Brody), anak
Madame D., yang bersama J.G. Jopling
(Willem Dafoe) berupaya untuk menangkap Gustave. Celakanya hal itu juga
menciptakan masalah bagi Zero, karena Gustave mempercayakan Grand Budapest
Hotel dibawah pengawasannya.
The Grand Budapest Hotel adalah sebuah petualangan fantasi yang akan
memberikan apa yang penonton harapkan dari seorang Wes Anderson, fun movie. Sedikit bingung harus memulai dari mana,
tapi inti dari semua kalimat yang akan anda baca berikutnya akan berisikan rasa
kagum saya pada kualitas kreatifitas yang dimiliki pria kelahiran Houston ini.
Sangat sederhana, berasal dari bagaimana ketika teori don't judge the book by its cover itu disatukan dengan tema “trust”, di olah kedalam pembagian waktu
present and past untuk kemudian melebar menjadi sebuah kekacauan dengan unsur
caper yang tetap menonjolkan ciri khas dari film-film karya Wes Anderson, sebuah kisah kehidupan
manusia yang diterjemahkan kedalam sebuah opera atau mungkin panggung boneka
dengan sensasi dan nyawa yang memikat.
Nah, itu yang mengagumkan, ketika banyak filmmaker
berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah film rumit yang menguras energi
penonton namun pada akhirnya harus jatuh menjadi menjengkelkan, Wes Anderson tetap berpegang pada teori
“simple but still fun”. Tapi disamping keputusan tadi ia juga seperti mengerti
bagaimana cara untuk menjadikan penonton dapat memaafkan dengan begitu mudahnya
materi yang ia punya lewat elemen-elemen lain, warna-warna eye-candy sudah pasti ada, dari kostum, set, hingga gambar-gambar
manis yang mampu mengabungkan dengan sangat baik kesan canggung bersama pola
simetris untuk kemudian bukan hanya mengaduk-aduk mata para penontonnya, namun
terus masuk kedalam pikiran dan menciptakan fantasi liar yang menyenangkan.
Yap, fantasi liar, seperti sebuah dongeng kita
dituntun untuk masuk kedalam satu bagian dan berpindah kebagian lainnya,
bermain-main dengan atmosfir menyenangkan bersama dengan dinamika bercerita yang
juga tidak kalah menyenangkan. Hal ini yang setelah ia berakhir kemudian
menghadirkan rasa aneh, bagaimana bisa kekacauan yang berlandaskan konflik
crime yang penuh sesak dengan karakter (masih ada Bill Murray, Bob Balaban, Léa Seydoux, Jason Schwartzman, Owen Wilson,
Tom Wilkinson, dan Mathieu Amalric)
dan terus bergerak cepat itu dapat terasa intensitas miliknya dan punya
intimitas yang tidak buruk tanpa harus memaksa penonton melupakan kenikmatan
yang juga secara bersamaan mereka tangkap dengan mata mereka?
Penonton seperti dibuat sibuk, sibuk menikmati visual,
sibuk pula menikmati cerita, tapi dua hal tadi hadir tanpa berada dalam konteks
“dipaksa”, karena kisah yang sedikit lebih dewasa jika dibandingkan dengan Moonrise Kingdom ini tersusun di dalam
narasi yang seolah tahu cara bermain dengan ritme, seperti seorang penyanyi ia
tahu nada tapi juga paham dengan irama. Hasilnya yang sederhana, atensi dan
sensasi, menjadikan penonton setelah terjebak kedalam fantasi ini dapat lupa
dengan beberapa minus super minor, sebut saja seperti karakterisasi dari tokoh
yang hanya kuat di Gustave dan Zero. Seperti sebuah trik dari Wes Anderson memang, pakai banyak
karakter, terus serang penonton dengan kisah drama, romance, dan komedi
seadanya, tapi satukan mereka dalam komposisi yang pas, semua berakhir indah.
Semudah itukah melupakan minus yang ia tampilkan? Ya,
semudah itu, mereka mungkin berhasil mencuri ruang namun mereka tidak mampu
mencuri waktu penonton untuk mempersoalkan mereka. Itu belum menghitung bagaimana
ketika kita terus disajikan berbagai aktor dan aktris papan atas yang secara
bergiliran mengisi peran kecil lainnya, dan tentu saja bersama permainan ratio,
dan score Alexandre Desplat menikmati
penampilan manis dari dua tokoh utamanya. Tony
Revolori adalah kejutan disini, sikap kaku yang ia tampilkan terasa
menyenangkan untuk di ikuti, tapi perannya sebagai Monsieur Gustave H semakin memperbesar rasa kagum saya pada Lord Voldemort. Long live Mister, Harry
Potter might come back.
Overall, The
Grand Budapest Hotel adalah film yang memuaskan. Terbaik tahun ini? Sangat
mungkin, karena sangat sulit untuk tidak mengagumi karya terbaru Wes Anderson ini, dunia fantasi pribadi
miliknya yang mampu mengajak penonton untuk ikut serta didalam petualangan
campur aduk yang imajinatif, bergerak liar, cekatan, tapi tetap disertai dengan
kontrol bersama visual yang lagi-lagi tampil impresif serta elemen-elemen lain
seperti narasi bercerita dan akting yang bersatu padu dalam kuantitas dan
kualitas yang sangat pas. Woody Allen is
a great screenplay driven filmmaker, and Wes Anderson is is a good screenplay
driven filmmaker with more colorful and unique style.
0 komentar :
Post a Comment