"Did your phone barf?"
Sulit memang untuk mengatakan bahwa sebuah film
menawarkan sesuatu yang benar-benar secara total terasa segar kepada
penontonnya, bukan sesuatu yang mustahil tentu saja tapi jika anda mundur ke
tahun-tahun sebelumnya pasti ada saja sebuah film yang telah menggunakan dan
menerapkan kisah, cara, hingga tema yang sama. Tricky and risky, hit or miss, this movie pay that price, Earth to
Echo, ET (nearly) grade E.
Sebuah proyek yang dikatakan hendak membangun highway
menjadikan satu kawasan pemukiman di Las
Vegas harus ditinggalkan oleh para penduduknya, peristiwa yang juga secara
paksa ikut pula memecah atau memisahkan persahabatan dari tiga remaja laki-laki
bernama Alex (Teo Halm), Tuck (Brian
Bradley), dan Munch (Reese C.
Hartwig). Sebelum berpisah Alex dan dua sahabatnya itu memutuskan untuk
mengisi malam terakhir mereka bersama, tapi sebuah hal aneh justru memberikan
sebuah petualangan yang berbeda dari ekspektasi awal mereka.
Sebuah sinyal aneh secara berkala muncul di smartphone
mereka bertiga, namun tidak seperti kebanyakan orang disekitar yang menganggap
itu sebagai efek dari proyek tadi, Alex, Tuck, dan Munch justru merasakan
sesuatu yang aneh dari hal tersebut. Mereka memutuskan untuk mengikuti petunjuk
dari sinyal itu yang kemudian mempertemukan mereka dengan alien dalam wujud
sebuah robot kecil yang kemudian mereka beri nama Echo. Tapi sayangnya bersama
dengan seorang anak perempuan lain bernama Emma
(Ella Wahlestedt) mereka justru harus terlibat dalam aksi kejar dengan agen
federal.
Dari clue yang disebutkan di paragraf pembuka tadi
anda tentu saja dapat menebak seperti apa film yang berada di bawah kendali Dave Green sebagai sutradara ini. Ya,
ini adalah perpaduan (sebut saja seperti itu) dari berbagai film dengan tema
petualangan dan remaja yang sebelumnya telah eksis di dunia perfilman. E.T. karya Steven Spielberg tentu menjadi pondasi utama yang dapat terlihat
dengan sangat jelas dari poster yang mereka gunakan, kemudian ada sedikit nafas
The Goonies yang dicampur dengan nada
gelap yang juga pernah diberikan oleh Super
8, dan terakhir ditutup dengan penggunaan format found footage yang pernah menjadikan Chronicle terasa unik dan segar.
So, jika menilik daftar film-film yang ia gunakan
sebagai dasar tadi tentu saja akan mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa Earth to Echo sebagai sebuah kue kecil
yang berpotensi untuk memberikan rasa berbeda dibalik berbagai blockbuster di summertime ini. Celakanya
hasilnya justru berbeda, cerita yang ditulis oleh Henry Gayden itu akan memberikan petualangan yang secara kasat mata
memang akan tampak berhasil untuk mengalir dengan sangat lembut, tapi dibalik
itu ada kesan stuck yang annoying, kesan bingung dari film itu sendiri, what are they trying to be, campur aduk
sana sini yang pada akhirnya tidak menjadikan kita sebagai penonton memandang
mereka sebagai Earth to Echo, lebih
kepada parodi dari berbagai film yang disebutkan sebelumnya.
Ini yang menjadi masalah utama, Dave Green tidak mampu menjadikan Earth to Echo tampil sebagai Earth to Echo, sebuah petualangan remaja
yang segar dibalik berbagai kemiripan materi yang ia gunakan. Feel sangat
penting dari film dengan tema hubungan antar personal seperti ini, persahabatan
dari tiga pemeran utama yang seharusnya dapat menjadi penggambaran arti
sesungguhnya dari persahabatan tidak mampu mewujudkan potensi tersebut, tidak
ada intimitas yang menarik di antara mereka, dan celakanya ketika jualan
utamanya itu tidak bekerja dengan baik Dave
Green tidak punya hal lain yang dapat menutup nilai minus tersebut, Echo
bahkan terabaikan dan tampak seperti boneka dengan peran dan daya tarik kurang
penting karena sejak awal tidak berhasil ditempatkan sebagai bagian utama.
Earth to Echo dapat tampil memuaskan andai saja ia dibentuk dengan
fokus yang kuat dan sama sederhananya dengan eksekusi yang ia dapatkan. Tidak
perlu menjadikan hal-hal janggal sebagai alasan, dari cerita aneh dimana orang
tua yang dapat dibohongi dengan mudahnya, tiga remaja bersepeda puluhan
kilometer bersama udara malam hari, hingga sisi teknis seperti penggunaan
kamera yang tidak pernah memberikan kelembutan dalam gerak liar yang ia
pertunjukkan, Earth to Echo perlahan
kehilangan daya tarik karena mencoba terlalu kuat untuk menjadi sebuah
petualangan yang kompleks tanpa kemampuan untuk mengontrol alur yang membuat
penonton terlibat didalamnya.
Di divisi akting sendiri sebenarnya tidak begitu
mengecewakan. Teo Halm, Brian Bradley,
dan Reese C. Hartwig dapat dikatakan
menjadi penyelamat Earth to Echo dengan penampilan pure yang mereka tunjukkan,
bahkan ada chemistry yang tidak begitu buruk disini, dari hal-hal konyol hingga aksi
ping-pong satu sama lain hadir dalam komposisi yang cukup baik. Sayangnya nilai
positif itu tidak digali lebih dalam oleh Dave
Green, tidak ada momen dimana mereka diberi kesempatan untuk memperdalam
arti persahabatan, semua ditampilkan secara tersirat sehingga tidak kuat,
akhirnya tema persahabatan itu pudar dan tergantikan oleh petualangan yang semata-mata
hanya berisikan misi memecahkan masalah dan mencari jawaban.
Overall, Earth
to Echo adalah film yang kurang memuaskan. Semua filmmaker tentu saja
memberikan 100% ide dan energi yang ia miliki untuk menjadikan materi yang ia
miliki tampil memuaskan, tapi tidak semua keputusan yang ia ambil akan sejalan
dengan interpretasi para penontonnya, dan seperti yang disebutkan di review
sebelumnya Earth to Echo adalah film
yang pemalas. Tampil sederhana bukan sebuah dosa, tapi tampil sederhana dengan
menimbulkan kesan seadanya dibalik penggunaan berbagai pengulangan dalam narasi adalah sesuatu yang menjengkelkan. Earth to Echo seperti itu, kurang mampu memberikan sesuatu yang berbeda dan berarti didalamnya.
0 komentar :
Post a Comment