"Is a man worth more than his words, a woman worth more than her pictures?"
Kalimat “If you
can't make it good, make it 3D” sebenarnya bukan satu-satunya “sarkasme” di
dunia film, ada solusi lain yaitu dengan menggunakan aktor dan aktris yang
punya sejarah baik dan telah mendapatkan pengakuan di bidang akting untuk
menjadikan kemasan standard tampak menjanjikan. Saya adalah salah satu korban
dari solusi terakhir itu, murni tertarik pada Words and Pictures karena ada nama Juliette Binoche dan Clive
Owen didalamnya. Dan, well, well.
Dina Delsanto (Juliette
Binoche), seorang guru
kesenian yang dihormati namun kini mulai menemukan kesulitan untuk berekspresi
di atas kanvas akibat penyakit yang ia derita, sesungguhnya punya ketertarikan
dua arah dengan Jack Marcus (Clive Owen),
mantan penulis yang kini menjadi guru bahasa dengan ketertarikan yang begitu
besar pada kata-kata. Yang memisahkan mereka ada idealism masing-masing, masih
percaya bahwa salah satu gambar dan kata pasti berada di level yang lebih baik,
yang akhirnya menciptakan kompetisi diantara mereka dengan melibatkan para
siswa didalamnya.
Ini klise banget sebenarnya, premis tadi itu seperti
menjadi sebuah pengalih perhatian penonton pada kemasan yang pada dasarnya
hanyalah sebuah rom-com standard, tapi yang sedikit membedakan adalah ada
potensi yang menarik disini terlebih ketika kita mulai diajak untuk melihat
perdebatan cerdas dan menyenangkan yang melibatkan permainan kata dari dua
tokoh utama yang juga tidak bisa dipungkiri jadi salah satu alasan lain
penonton untuk menyisihkan waktu mereka. Bagi mereka yang punya alasan dengan
saya seperti diatas tadi mungkin akan mendapatkan sedikit rasa puas.
Chemistry Clive
Owen dan Juliette Binoche terasa
cukup manis disini, bagaimana frustasi dan perjuangan bisa mereka tampilkan dengan
baik dan menjadikan masing-masing karakter mereka punya sisi menarik.
Pertempuran diantara mereka juga meskipun tidak kuat tapi tidak jatuh
menjengkelkan dan kosong, ada tarik dan ulur lucu untuk perlahan-lahan membuat
satu sama lain yang awalnya sama-sama keras mencair dan menyatu dalam hubungan
asmara (klise sih ya, predictable
lagi, jadi spoiler tidak masalah). Yang jadi masalah itu elemen lain disekitar
mereka, tidak mampu membantu menyelamatkan tujuan tidak penting film ini dari
kesan menjengkelkan.
Masalah awalnya ada di naskah yang ditulis oleh Gerald Di Pego, dari karakterisasi yang
lemah terutama pada para siswa yang kelihatan kayak boneka, terus subplot
kurang begitu penting dan juga tanpa tujuan itu yang sering dibentuk Fred Schepisi juga dengan fokus dan
konsistensi yang lemah. Jadinya Words and
Pictures seperti berputar-putar sambil menunggu hasil akhir, dari gesekan
antara dua tokoh utama sampai pada makna dan semangat yang dibawa dari
perjuangan dua karakter itu juga akhirnya terasa biasa, tidak ada alur yang
mampu membuat kita terus tertarik, beberapa bahkan dangkal.
Words and Pictures mungkin bisa jadi contoh terbaru bagaimana dua
pemeran dengan kualitas baik dan telah memberikan kinerja yang maksimal dengan
dialog cerdas dan aksi saling ejek yang menarik tetap saja tidak mampu
menjadikan sebuah film tampil sangat memuaskan. Words and Pictures terasa biasa
karena script yang kurang kuat, dan tidak mampunya ia menciptakan eksekusi di
beberapa bagian untuk menjauhkan status predictable dan klise agar tidak
mengganggu melalui sebuah penceritaan yang menarik.
0 komentar :
Post a Comment