"We are the voice of peace, and bit by bit we
will change this world."
Dapat dengan mudah menemukan jawaban “ingin melakukan
yang lebih baik lagi dari pencapaian sekarang” pada pertanyaan “apa yang ingin
kamu lakukan selanjutnya?” dari orang-orang yang berhasil menuai kesuksesan. DreamWorks juga ingin melakukan hal yang
sama dan sukses melindungi andalan terbaru mereka empat tahun lalu ini untuk
tidak jatuh seperti penerus Madagascar
dan menyulapnya menjadi serupa dengan Sherk
2, sekuel yang lebih baik dari pendahulunya. How to Train Your Dragon 2, when The Empire Strikes Back, Avatar, and
Game of Thrones blended in enchanting and engaging beautiful young adults
animation world. Summer 2014 real deal so far.
Disaat sahabatnya Fishlegs
(Christopher Mintz-Plasse), Snotlout
(Jonah Hill), si kembar Tuffnut (T.J.
Miller) dan Ruffnut (Kristen Wiig),
serta kekasihnya Astrid (America Ferrera)
sedang sibuk dengan naga mereka dalam sebuah perlombaan, Hiccup (Jay Baruchel) justru asyik
berpetualang bersama sang soulmate Toothless,
berlatih terbang solo sembari mencoba menemukan tempat-tempat baru yang belum
ada di peta miliknya. Memang setelah lima tahun berselang hanya kedamaian yang
tercipta diantara bangsa Viking
dengan para naga, hal yang kemudian menjadikan Stoick (Gerard Butler) mulai berani berpikir lebih jauh.
Stoick menilai bahwa Hiccup tinggal sedikit lagi telah
siap untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin Berk, keinginan yang sayangnya tidak mendapat respon positif dari
Hiccup. Namun fokus mereka seketika berubah setelah Hiccup bertemu dengan
seorang pemburu naga, Eret (Kit
Harington), sosok yang membuka mata Hiccup bahwa ternyata banyak pengendara
naga lain diluar Berk, mengenalkannya kepada Drago Bludvist (Djimon Hounsou) sang pemimpin pemburu naga, dan juga Valka (Cate Blanchett) yang berada di
sisi berbeda dengan perlindungan Alpha
dragon bernama Bewilderbeast.
Sangat wajar memang merasa waspada pada How to Train Your Dragon 2 terlebih
dengan kesuksesan besar yang dihasilkan oleh penampilan perdana pendahulunya
empat tahun lalu, tapi jika memutar sikap realistis menjadi bernada optimis di
sisi lain How to Train Your Dragon 2
sebenarnya justru juga punya dua hal penting yang ingin di miliki oleh sebuah
sekuel, pondasi yang kuat dan potensi yang besar. Tugas yang di miliki oleh How to Train Your Dragon 2 sebenarnya
seimbang, sulit tapi mudah, mereka perlu dipoles pada beberapa bagian kecil
yang belum begitu bersinar di film pertama bersama dengan penambahan materi
baru namun harus disertai penempatan yang cermat. Hasilnya cahaya itu semakin
berkilau.
Apresiasi besar layak diberikan kepada Dean DeBlois, di langkah awal ia mampu
menjadikan kisah yang telah tertidur empat tahun itu membangunkan kembali
memori penontonnya dengan rasa yang segar seolah mereka baru menyaksikan film
pertama beberapa minggu atau bulan yang lalu, kemudian menarik kembali posisi
kita untuk merasa dekat bersama karakter lengkap dengan keterlibatan pada
permasalahan yang mereka hadapi. Dan dari sana ia mulai beraksi, memperluas
dunia Hiccup dan Berk, bukan hanya sebatas menambahkan naga-naga baru dengan bentuk
yang lucu dan imut, namun juga lewat sebuah langkah berani dengan menyuntikkan
sedikit materi berat seperti sebuah pertarungan besar untuk memperdalam dan
memperkuat semua elemen film.
Itu mengapa How
to Train Your Dragon 2 terasa mengasyikkan, ia tidak hanya sebatas sebuah
pengulangan yang berputar kembali dan terjebak dalam pop culture dunia animasi dengan murni menjual karakter-karakter
imut mereka, tapi mencampur budaya tadi dengan visi yang kuat dalam misi yang
jelas untuk membawa mereka bergerak kedepan. Sederhananya, ini adalah salah
satu contoh yang solid bagaimana sebuah sekuel dibuat, mampu mengembangkan
materi yang sudah ada dengan mengekplorasi bagian baru disertai dengan aksi
menebar konsentrasi yang terjaga dengan baik di elemen pembentuknya. Kombinasi
tadi menciptakan sebuah keseimbangan yang memberikan setiap bagian miliknya
kesempatan sama rata untuk sesaat mengambil panggung utama, dari cerita dan visual,
serta dramatisasi tanpa merusak kenikmatan adegan aksi.
Seperti sebuah rollercoaster, naik dan turun, cepat
dan lambat, tawa dan sedih, dan itu menyatu dengan pas tanpa terasa canggung. Dean DeBlois seperti sadar bahwa How to Train Your Dragon telah punya akar yang kuat
sehingga ia berani mengambil resiko dalam menerapkan ide kreatif yang ia punya,
dari permainan emosi dengan kualitas yang bahkan terasa jauh lebih baik jika
harus dibandingkan dengan beberapa drama rilisan terbaru, hingga hal klise
skala kecil seperti pengulangan sikap Ruffnut
yang terpesona pada Eret. Dalam
narasi yang cerdas dengan berani mereka ia push tapi dengan menempatkan limit
yang tepat, sehingga tidak ada rasa overdo yang menggerus kesan bijak dari isi
cerita yang tetap terasa ramah bagi keluarga dengan pesan seputar persahabatan,
kesetiaan, dan keluarga melalui sudut pandang remaja.
Apakah How to
Train Your Dragon 2 itu rumit? Tidak, fokusnya memang terletak pada
mengembangkan karakter dan hubungan diantara mereka sehingga sedikit tampil
lebih padat, namun warna-warni itu tetap hadir dilengkapi dengan sajian visual
yang bukan hanya memukau namun juga dengan tingkat keindahan dan kompleksitas
yang sama menariknya dengan cerita yang tematis itu. Tidak ada yang terasa
biasa pada sisi “kewajiban” sebuah film animasi ini, desain dan visual (yang
menggunakan Roger Deakins sebagai visual consultant) selalu memukau ketika
giliran mereka tampil tiba, aksi terbang dan jatuh bebas ditemani latar
pemandangan yang indah, ada sensasi yang maksimal dan memikat tanpa mencuri
atensi secara berlebihan berkat pergeseran kembali pada cerita dan humor yang
terasa presisi.
How to Train Your Dragon 2 membuat saya rindu dengan Toy Story series. Memang belum dapat menyandingkan mereka secara
sejajar, tapi HTTYD2 menjadi bukti bahwa DreamWorks Animation dapat menciptakan film yang mendekati kualitas Pixar,
menyampaikan pesan kuat dan berkualitas sembari tetap memegang teguh tugas
utamanya sebagai sebuah animasi, yang imo terasa kurang di Shrek franchise dan Kung Fu Panda,
charming tanpa menjadi berlebihan dan annoying. Hal itu juga terbantu kinerja
pengisi suara yang selain berhasil menjadikan karakter mereka terasa energik
juga mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang mereka miliki untuk menyuntikkan
nyawa pada setiap sequence, dari sukacita dan kebahagiaan hingga emosi dengan
nada kelam.
Overall, How to
Train Your Dragon 2 adalah film yang memuaskan. Sebuah presentasi yang
padat, kuat, seimbang, terkontrol, dan berani, ia tidak hanya ingin kembali
sebatas untuk memberikan hiburan dalam kuantitas dan kualitas yang sama besar,
namun ia juga ingin menjadi lebih besar dan kompleks tanpa harus kehilangan
kenikmatan yang diberikan pendahulunya. Seperti sebuah bandul, kita diajak oleh
Dean DeBlois untuk secara berkala
berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya dengan energi yang menyenangkan, dari
drama terkait persahabatan dan keluarga dengan bobot emosi yang lembut, sisi
ringan seperti adegan aksi yang memukau serta humor yang manis, mereka
disatukan dengan halus. Ah, cantik.
it deserve 9, IMO.
ReplyDeletekualitas animasi mantep, storyline kuat, plot yang maenin emosi penonton, well done.
nice review, btw.
Buat aku sih nilai 9 di animasi itu standardnya Toy Story series sama Spirited Away, dan 8,75 untuk animasi seperti Up, Wall-E, Finding Nemo, dan My Neighbor Totoro. Selevel kok, kualitas animasi keren dan storyline yang kuat, tapi belum sekelas. :)
Delete