"I'm in love with you, and I'm not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things."
Ada sebuah rasa takjub ketika saya menutup lembaran
terakhir novel karya John Green kala
itu, bagaimana ketika sebuah hal sempit dan sederhana yang dimanipulasi
sedemikian rupa membawa pembacanya hanyut kedalam sebuah kisah cinta serta
perjuangan penyakit kronis yang mampu bermain-main dengan manis bersama
realitas antara kehidupan serta kematian. Film ini berhasil mentransfer
kenikmatan tadi ke dunia nyata, The Fault
in Our Stars, a sweet and sour story
about some infinities are bigger than other infinities. Pain demands to be
felt. Always.
Tidak ada rasa jengkel dari wanita bernama Frannie Lancaster (Laura Dern) dari
tingkah sarkastik anak perempuannya, Hazel
Grace Lancaster (Shailene Woodley), karena dapat melihatnya tersenyum saja
sudah menjadi sebuah kebahagiaan yang ingin Frannie nikmati sekecil apapun itu
bersama suaminya Michael (Sam Trammell).
Paru-paru Hazel telah berisikan sebuah kanker thyroid, aktivitas berat menjadi hal tabu, sebuah tangki oksigen
menjadi benda wajib yang harus selalu ada disampingnya, dan rasa waspada akan
datangnya kematian telah menjadi bagian dari keluarga Lancaster.
Namun dibalik keterbatasan tadi Frannie ingin agar
putrinya itu dapat menikmati kehidupan normal dan keluar dari depresi miliknya,
tertawa bahagia layaknya remaja 16 tahun, yang kemudian menjadikan Hazel dengan
berat hati bergabung kedalam sebuah support group para penderita kanker. Disana
ia bertemu dengan Patrick (Mike
Birbiglia), Isaac (Nat Wolff), dan
teman baru lainnya, namun pria muda bernama Augustus
Waters (Ansel Elgort) memberikan impresi yang berbeda bagi Hazel, berawal
dari oblivion, An Imperial Affliction, hingga Peter
van Houten (Willem Dafoe), keduanya menemukan kebahagiaan yang selama ini
absen dari kehidupan mereka.
Seperti yang telah disebutkan di versi pertama sulit
untuk menampik bahwa The Fault in Our
Stars memang tampak seperti service bagi penonton yang sebelumnya telah
membaca novel karya John Green itu.
Dari sinopsis hingga alur, ini terasa luas, terasa familiar, dari konflik dasar
hingga menyentuh elemen detail lainnya tidak menyajikan sesuatu yang terasa
baru dan segar lagi di dunia young adult, sebuah roman berisikan anak muda yang
seolah terus mengemis simpati dari perjuangan mereka bertarung dengan penyakit
kronis. Akan terasa biasa, tidak ada yang special dari kisah yang mereka bawa,
mungkin terasa kosong, hambar, dan murahan bagi beberapa penonton, tapi hasil
yang berbeda muncul jika berbicara tentang sisi lain dari sebuah drama
tearjerker seperti ini: emosi.
Sebenarnya ada sedikit rasa jengkel ketika banyak
kalimat-kalimat indah coba dimasukkan kedalam dialog hingga beberapa terkesan
dipaksakan, tapi memang itu cara termudah untuk membangun set dari karakter
hingga konflik, alasan utama mengapa TFIOS mampu mencengkeram atensi dengan
cepat di awal dan mempertahankannya hingga akhir. Josh Boone ternyata tidak kalah cerdik dalam memutar-mutar naskah
yang ditulis ulang oleh Scott Neustadter dan
Michael H. Weber, ia tidak melepaskan
cerita untuk menjadi objek liar yang menuntut penonton untuk berusaha sendiri
ketika mengamati, dan memilih menggunakan cara mendongeng dimana membawa kita
secara bertahap menelusuri kompleksitas perasaan dan jiwa manusia dengan fokus
kuat pada the power of love.
Ya, ketika anda dengan mudah memaafkan cara bermain
standard dan klise yang ia terapkan anda akan dengan mudah pula terjebak
kedalam sebuah petualangan singkat terkait kekuatan cinta yang bekerja pada
jiwa-jiwa yang terisolasi itu. Ada percintaan remaja yang dibentuk dengan
menggunakan formula standard namun mampu memperlakukan materinya dengan
bijaksana, selalu mampu untuk menghindar dari kemungkinan jatuh terlalu mellow
dan murahan, dari penggunaan kata cantik, kemudian tatapan mata dan senyum yang
sederhana, hingga tangga curam di Anne
Frank House yang mampu membuat perasaan terenyuh, ada mix yang manis dimana
ia dengan berani untuk tampil klise tapi turut pula memberikan isi yang kuat
didalamnya sehingga menyeimbangkan kesan palsu bersama kejujuran dan juga
ketulusan.
The Fault in Our Stars bukan film yang hanya akan memberikan kesenangan bagi
remaja tapi disisi lain akan terasa menjengkelkan bagi orang dewasa, karena ada
jembatan yang menghubungkan keduanya untuk berkombinasi. Point of view adalah alasannya, ada jiwa cukup dewasa didalam
karakter remaja, menjadikan mereka bukan hanya terlihat sebatas seperti boneka
yang hanyut terombang-ambing dalam masalah dan cinta super klise, tapi seorang
manusia berharga dengan masalah yang tanpa kesan membebani mampu membuat
penonton merasa terlibat didalamnya. Hal yang paling dicemaskan pada kemungkinan
minimnya unsur keluarga didalam cerita bahkan tidak terjadi, dengan gairah yang
sama kuatnya turut sukses menghantarkan makna cinta dan kehidupan dengan baik.
Tidak ada hal yang mengganggu? Diluar rasa kesal pada
salah satu bagian terbaik di Oranjee
yang nyatanya di shoot indoor tanpa pohon elm, The Fault in Our Stars punya satu kekurangan lainnya: tidak megah.
Keindahan asam dan manis yang mengandalkan sensitifitas terkait perjuangan pada
hidup itu memang menciptakan rasa puas dengan paduan warna-warni materi yang
menarik, namun mereka hanya mencapai kaki bukit, bukan titik puncaknya. Alur
cerita hingga humor yang terbentuk dengan baik serta dialog cerdas yang
terbentuk dengan tajam, mereka tidak mampu mendongkrak nilai sisi drama untuk
menjadi kesatuan yang dapat membuat penontonnya memikirkan kembali kisah mereka
lagi dan lagi setelah selesai.
Bukan berarti buruk, takdir yang menyakitkan itu juga
tetap berhasil digambarkan dengan baik serta mudah diikuti dan dipahami, tapi
rasa takjub seperti yang disinggung di awal tadi tidak ada disini. Dan ini yang
terasa aneh karena TFIOS bergabung dengan TheSpectacular Now & Divergent, film dimana Shailene Woodley tampil memikat namun tidak punya power yang sangat
kuat untuk mencapai potensinya sebagai kemasan yang memorable seperti The Descendants. Ansel Elgort juga mampu menjadi penyeimbang suka
dan duka yang dibawakan oleh Shailene
Woodley dengan lembut, ada chemistry yang baik meskipun kerap terasa
dipaksakan. Tapi anehnya dibalik aksi saling goda dua karakter kehadiran scene
stealer tidak dapat terelakkan, dan dia adalah Laura Dern dengan senyum penuh
kepedihan itu.
Overall, The
Fault in Our Stars adalah film yang memuaskan. Dengan cara klasik dan klise
Josh Boone berhasil membawa kisah
percintaan itu menjadi sebuah petualangan singkat yang dipenuhi dengan gairah
cinta yang manis dan menyenangkan serta melodrama yang dibentuk dengan berani
seolah tidak tahu malu namun dalam komposisi yang sangat pas. Tidak ada super
special dari akting, cerita, hingga cara ia dibangun, dan akan sedikit
mengecewakan bagi mereka yang menaruh ekspektasi tinggi, tapi ketika bersatu
mereka punya apa yang kita harapkan dari drama tearjerker seperti ini: emosi
yang mempesona. Manis. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment