"You can't stop fighting for the ones you love."
Sometimes, what you call
good movies is the ones that can touch and playing with your emotions. Ya, sederhana, hal tadi sering kali mampu mencuri
fokus kita sebagai penonton yang kemudian akan tidak begitu mempermasalahkan
beberapa kekurangan atau ketidakseimbangan yang ia punya disisi lainnya. Film
ini secara mengejutkan punya hal tadi, kombinasi antara plague, love, dan humanity,
The Normal Heart, awfully good in terms
of frustration drama.
Seorang penulis yang secara terbuka menyandang status
gay, Alexander 'Ned' Weeks (Mark Ruffalo)
sedang dalam perjalanan menuju Long
Island untuk merayakan ulang tahun temannnya, Craig Donner (Jonathan Groff). Ajang yang mempertemukan Ned dengan
dua teman lainnya itu, Mickey Marcus (Joe
Mantello) dan Bruce Niles (Taylor
Kitsch), sebenarnya bukan hanya sebatas sebuah acara ulang tahun, lebih
besar lagi acara yang diadakan pada sebuah rumah di tepi pantai ibarat sebuah
pesta bagi kaum gay untuk menikmati kebebasan mereka, namun bagi Ned juga
menjadi alarm yang menuntunnya pada sebuah bahaya besar.
Berawal dari sebuah insiden yang terjadi pada Craig di
tepi pantai, ketika pulang ke New York
Ned secara tidak sengaja membaca sebuah artikel dengan dua kata kunci, kanker
dan homoseksual. Ia bergegas menemui Dr.
Emma Brookner (Julia Roberts), yang ternyata telah sering menyaksikan dan
menangani kasus tersebut. Dari sana Ned mulai bertekad membawa kasus HIV/AIDS ini menjadi lebih besar agar
dapat membuka mata masyarakat pada bahaya yang dapat menghampiri mereka dari
hubungan seks. Namun sayangnya usaha yang ia usung bersama Bruce, Mickey, dan Tommy Boatwright (Jim Parsons) dengan
membawa nama Gay Men's Health Crisis
itu menemukan rintangan yang tidak kecil.
Terlepas dari berbagai hype yang ia miliki sebut saja
seperti jajaran cast yang cukup berhasil menarik perhatian hingga keberadaan Brad Pitt di lini produksi, harus diakui
film yang ditulis ulang oleh Larry Kramer
dari novel dengan judul yang sama miliknya itu berhasil menyajikan sebuah
dramatisasi dari sebuah tragedi pada era 80-an dengan pesona yang kuat. Ya,
pesona yang kuat, The Normal Heart
punya sebuah inti yang sejak awal akan terus mencengkeram dan menghantui
pikiran penontonnya tidak peduli warna-warna lain yang akan menemaninya hingga
akhir, “bahaya dari AIDS/HIV”,
berhasil dikendalikan dengan baik oleh Ryan
Murphy untuk mampu tampil di momen sekecil apapun itu.
Ini yang menjadikan The Normal Heart terasa menarik, walaupun pengenalan karakter terasa kurang kuat ia dengan berani memutuskan untuk
mengandalkan permainan emosi dari cerita agar dapat mencapai meraih status
“baik” dari penontonnya. Kisah ini akan berhasil pada mereka yang sejak awal
tidak punya masalah dengan tema LGBT,
kemudian dengan cepat terjebak pada isu utama yang tidak pernah di tarik untuk
bergerak terlalu jauh, dan ketika telah klik momen dimana api yang tenang itu
berkobar menjadi besar akan ikut terjadi pada para penontonnya. Ya, sebuah
melodramatis yang menghipnotis, film yang terus bergerak halus dan juga bebas
bersama berbagai konflik lain seperti cinta, keadilan, dan kemanusiaan tanpa rasa takut.
Tanpa rasa takut, karena sejak awal The Normal Heart sudah berpegang teguh
pada inti yang ingin ia sampaikan. Krisis AIDS
itu terus menghantui cerita yang perlahan mulai mondar-mandir dengan beberapa
pengulangan, bagaimana ketika kita diajak untuk ikut merasakan sebuah komunitas
minor yang terus berjuang dalam segala keterbatasan untuk menghancur dinding
besar yang menghalangi mereka, sedangkan disisi lain mereka juga harus
bertarung dengan masalah pribadi masing-masing. Banyak masalah yang tersebar di
sini, hal yang juga menyebabkan beberapa diantara mereka terasa tumpul dan
sempat melukai dinamika cerita, tapi Ryan
Murphy mampu menyatukan mereka agar secara umum terus tampak padat, terus
tampak bergairah.
Ya, memang sedikit manipulatif, namun tidak akan
menjadi sebuah masalah yang besar bagi mereka yang telah terisolasi bersama
materi provokatif yang tidak pernah berhenti mengeksplorasi rasa frustasi dalam
narasi miliknya. Dari ketidakpedulian pemerintah, muncul sikap berani yang ikut
diselimuti amarah dan rasa bingung sembari sesekali juga melemparkan perdebatan
yang sengit, mereka bergabung untuk menghasilkan intensitas cerita yang baik
dan menjadikan makna utama dari film ini terus mencuri atensi. Bayangkan saja
durasi dua jam lebih dan anda hanya akan menyaksikan sebuah kelompok yang
sedang sekarat terus berjuang mencari kehidupan dan keadilan bersama kehilangan
dan penolakan karena mereka juga punya hati yang sama dengan lingkungan mereka,
normal heart.
Yang menjadi masalah bagi The Normal Heart adalah ketika ia tidak mampu menyatukan
ledakan-ledakan kecil yang ia sebar di sepanjang cerita untuk berkumpul di
bagian akhir. Hal ini terjadi karena dibalik perjuangan para karakter itu Ryan Murphy dan Larry Kramer seperti sepakat untuk tidak ingin agar ini menjadi
kemasan yang terlalu “tajam”, beberapa masalah dari individu tadi dijadikan
alat untuk sesekali mengalihkan perhatian. Mereka memang menciptakan penceritaan yang terasa mengalir dan variatif, namun aksi tarik dan ulur ini yang kurang begitu
klik dengan saya, love, humanity, justice, dan plague itu juga seolah berdiri sendiri meskipun
bermain bersama dalam kemasan padat, pesona itu ada, inti cerita tetap kuat,
tapi urgensi yang perlahan tergerus sedikit menodai dan menghalangi film ini
meraih potensinya.
Sangat suka pada bagaimana para aktor mengekspresikan
berbagai amarah yang mereka punya, tapi secara intensitas emosi paruh kedua
terasa kurang powerfull. Mereka seperti merasa lelah dalam aksi menunggu tanpa
kepastian, dan itu tidak bisa dihapus meskipun dengan kinerja memukau dari para aktor (Emmy maybe?). Ruffalo berhasil menjadi pemimpin, dan ia mampu menghadirkan kombinasi
rasa sakit dalam ambisi yang Ned punya. Mantello dan Kitsch mampu menggunakan
momen penuh emosi mereka dengan baik, dan Julia
Roberts berhasil menjadi pusat amarah tersembunyi yang baik. Yang menarik
adalah Matt Bomer, berperan sebagai
reporter bernama Felix Turner yang
berhasil membayar 40 pound yang ia hilangkan dari tubuhnya dengan penampilan yang
baik, serta Jim Parsons yang mampu
menjadi scene stealer dalam komposisi sangat pas.
Overall, The
Normal Heart adalah film yang memuaskan. Tujuan utama film ini adalah untuk
membangkitkan kembali hubungan antara AIDS
dan manusia dengan penggambaran melodrama pada perang sebuah kelompok di awal era 80-an, dan well, itu berhasil. Bersama dengan keberanian, dan juga
rasa amarah, rasa takut dan juga cinta, The
Normal Heart punya power dalam menarik penontonnya ikut merasa simpati dan
kemudian mengisolasi mereka dalam permainan emosi yang terus menebar pesona.
Masalahnya ada sedikit isu kecil yang mengganggu disini, ada aksi tarik dan ulur yang menyebabkan
isu utama yang telah terjaga dengan baik sejak awal itu terasa kurang tajam di
akhir cerita, just normal. How to Survive a Plague, maybe?
0 komentar :
Post a Comment