"But if I know you, I
know what you’ll do."
Lupakan sejenak
keberadaan Angelina Jolie di posisi
terdepan, pertanyaan pertama yang hadir dari Maleficent adalah apa yang ia ingin gambarkan mengingat statusnya
sendiri yang merupakan seorang villain?
Kejahatan? Ternyata tidak, ini bukan film dimana penjahat murni hanya
menjalankan tugasnya sebagai penjahat di panggung utama, karena secara
mengejutkan ia punya kehangatan sederhana sebuah cinta pada dongeng yang telah
mendapat sedikit perputaran kecil itu. Maleficent,
a good enough brave and modern fairytale reimagining.
Ketika ia masih muda Maleficent (Isobelle Molloy) memiliki
sebuah mimpi untuk menyatukan kesenjangan antara dua kerajaan besar yang
terpisahkan oleh sebuah lembah, kerajaan berisikan para manusia dan kerajaan
tempat ia tinggal, The Moors, alam
para peri. Tekad tersebut semakin besar ketika Maleficent bertemu dengan manusia yang tersesat di hutan mereka, Stefan (Michael Higgins), anak Raja
Henry yang langsung menghadirkan rasa cinta di hati Maleficent, bahkan telah
bergerak serius dengan memberikan sebuah ciuman yang ia sebut “ciuman cinta
sejati.” Namun kisah mereka kandas setelah Stefan menghilang dalam jangka waktu
yang sangat lama.
Stefan
(Sharlto Copley) kembali datang ke The Moors ketika ia telah dewasa, namun sayangnya dengan membawa
niat berbeda, yang kemudian membuat Maleficent
(Angelina Jolie) murka. Rasa patah hati itu berujung niat balas dendam,
bersama dengan orang kepercayaannya, Diaval
(Sam Riley), Maleficent mendatangi kerajaan para manusia dan kemudian
memberikan kutukan pada sasaran utamanya, putri Stefan. Maleficent menyihir Princess Aurora (Elle Fanning) akan
jatuh kedalam sebuah tidur panjang menjelang ulang tahunnya yang ke 16, dan
hanya dapat bangun setelah mendapatkan sebuah ciuman cinta sejati, hal yang
dipercaya oleh Maleficent tidak
pernah eksis dan turut menciptakan rasa ragu didalam dirinya.
Naskah merupakan sumber
utama yang menyebabkan daur ulang dengan sedikit sentuhan berbeda dari kisah Sleeping Beauty yang terkenal itu gagal
mencapai potensi yang ia punya. Ya, sesungguhnya jika berbicara potensi Maleficent berada pada level yang cukup
besar terlepas dari hadirnya Angelina
Jolie sebagai “power” di sisi lain, bagaimana ketika semua alur yang
mungkin telah menjadi hafalan bagi mayoritas penontonnya dari kutukan hingga
ciuman sejati itu coba untuk sedikit dilukai dengan memutar posisi dari para
karakter, menempatkan si baik yang kini harus puas hanya memegang peran
pendukung dengan segala keterbatasan gerak dan kontribusi, dan kemudian menaruh
si jahat dengan peran fokus utama sebagai pusat dan juga subjek yang
menggerakkan cerita.
Menarik, terlebih
dengan kehadiran narator lewat suara Janet
McTeer, Robert Stromberg berhasil
menciptakan impresi awal yang memikat. Pergantian point of view itu tidak mengganggu, Mistress of All Evil itu langsung klik pada posisinya dan dari sana
sosok yang pernah terlibat pada Avatar,
Alice in Wonderland, dan Oz the Great
and Powerful ini mulai merajut cerita yang ditulis ulang oleh Linda Woolverton kedalam sebuah dunia
yang bukan hanya mampu membawa kembali fantasi itu namun juga memberikan posisi
yang sangat nyaman bagi penontonnya. Yang terakhir itu saya suka, ini seperti
mendengarkan sebuah dongeng tradisional yang dibalut bersama petualangan
fantasi dengan urgensi cerita yang liar.
Mengejutkan, Maleficent mampu menghadirkan alur
cerita yang terus mengalir dengan baik meskipun di lain sisi tampak sangat
jelas ia menunggu datangnya babak akhir dengan berjalan mondar-mandir seolah
tanpa tujuan yang kuat. Hal tadi setidaknya mampu membuang kesempatan bagi
hal-hal minus minor lain seperti dinamika cerita yang liar dan sering
terputus-putus serta pengembangan karakter yang gelap itu untuk menghancurkan
perhatian penontonnya pada point utama yang ia usung, hati nurani. Ya, ini
bukan sebatas pertarungan antara si jahat dan si baik yang ditempatkan hanya
sebagai cover, Robert Stromberg
merubahnya menjadi sedikit lebih dewasa dengan sentuhan feminism yang kuat,
menempatkan kompleksitas emosi terhadap masalah yang dimiliki oleh karakter Maleficent untuk menarik simpati
penontonnya.
Maleficent
seperti gabungan antara Despicable Me
dengan Frozen, punya unsur hitam pada
karakter lengkap dengan misteri dangkal, berupaya untuk memanusiakan karakter
jahat sembari mencoba menggambarkan makna cinta dari sudut yang berbeda. Sangat
mudah untuk masuk dan terlibat dalam cerita, penyebabnya adalah Robert Stromberg paham bagaimana
menjadikan kisah ini terus tampil mengkilap, terus membuat penontonnya terjaga
saat mengikuti plot cerewet yang terlalu sibuk untuk mengemis atensi, dari
tingkah komikal konyol tiga peri (Imelda
Staunton, Juno Temple, Lesley Manville) yang menjadi versi imut dari Three Stooges dengan kontribusi tidak
kuat, hingga aksi bermain-main yang sebenarnya disengaja untuk mempertebal
gejolak emosi Maleficent tapi
sayangnya tidak semua terasa penting.
Ya, mixed memang, ia
punya inti yang kuat meskipun predictable, tapi cara Linda Woolverton memanjangkan cerita untuk memperdalam senjata
utamanya itu yang terasa lemah, memasukkan nafas modern kedalam cerita asli
terasa kurang klik di beberapa bagian. Ada pula kesan ambigu yang kuat disini,
pergeseran pada motif utama yang seperti dibiarkan bergerak bebas oleh Robert Stromberg, berubah secara berkala
yang sayangnya tidak dibantu dengan kontrol yang baik pada kombinasi kecepatan
gerak dan juga naskah, penceritaan sering kali terasa kurang intens yang
menyebabkan resolusi terasa canggung. Hal yang sama juga terjadi pada adegan
aksi yang tidak semua mampu menjadi bumbu yang mengesankan bagi cerita.
So,
what makes it work? Angelina Jolie. Terlepas dari naik
dan turunnya performa dari karakter miliknya sepanjang cerita, dengan tulang
pipi prosthetics yang terinspirasi
dari cover album Lady Gaga, mata
tajam, dan tanduk di atas kepala Angelina
Jolie mampu menjalankan tugasnya sebagai tumpuan utama untuk terus membawa
maju cerita, ia mampu menghadirkan kompleksitas dari perasaan seorang wanita
yang ditemani dengan kedalaman emosi yang mumpuni, hal yang mampu menarik
simpati penonton pada konflik internal yang ia punya. Kinerja yang baik
mengingat Jolie hanya sedikit dibantu oleh Elle
Fanning dan Sam Riley, dan harus
kehilangan Sharlto Copley yang tidak
punya kesempatan lebih untuk menjalankan tugasnya sebagai “real enemy.”
Overall, Maleficent adalah film yang cukup
memuaskan. Punya keseimbangan dalam plus dan minus, Maleficent sangat
bergantung pada interpretasi penonton terhadap cerita yang telah sedikit
diputar ini. Ini bukan tentang penjahat melakukan tugasnya sebagai penjahat, Maleficent mencoba membawa dongeng
klasik itu menjadi sebuah pertarungan internal yang sedikit dewasa dan sedikit
kompleks dengan bertumpu sepenuhnya pada sisi emosional, ia kemas dengan
sedikit bersenang-senang bersama elemen teknis yang cukup terampil dan gerak
mondar-mandir yang canggung. Petualangan cukup menyenangkan yang gagal meraih
potensi penuh pesona yang ia punya.
0 komentar :
Post a Comment