"Some infinites are bigger than other infinites."
I’m in love with you, and I’m not in the business of denying
myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I
know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable,
and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has
been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll
ever have, and I am in love with you. Okay? Okay. Bring your tissues!
Sebagai upaya untuk membangkitkan kembali semangat
sang ibu, Frannie Lancaster (Laura Dern)
yang perlahan hilang akibat penyakit yang ia miliki, seorang remaja putri
bernama Hazel (Shailene Woodley)
memutuskan untuk bergabung dalam kelompok pendukung penderita kanker yang ia
hadiri lengkap dengan tangki oksigen yang setia menemaninya. Disana ia bertemu
dengan atlet basket yang memiliki masalah di kakinya, Augustus Waters (Ansel Elgort), pria tampan dan karismatik yang
dengan gigih berhasil memberikan kebahagiaan yang tidak ingin ia tukar dengan
apapun yang eksis didunia ini.
Meminjam sebuah kata dari rekan saya, The Fault in Our Stars adalah film yang
segmented. Ini bukan sebuah komedi drama dengan roman di antara dua remaja yang
mudah untuk diterima seperti The Perks of
Being a Wallflower. Memang sih dengan latar cerita yang sudah gelap itu
gampang buat Josh Boone untuk
menyentuh lalu kemudian mengaduk-aduk emosi para penontonnya dengan hasil akhir
linangan air mata, apalagi ia juga punya naskah yang setia banget dengan novel
milik John Green itu. Tapi ini
masalahnya, bagaimana dengan mereka yang belum membaca novelnya? Sayangnya
cerita yang ditulis ulang oleh Scott
Neustadter dan Michael H. Weber
ini terlalu khusus, tidak umum.
The Fault in Our Stars seperti service bagi para penggemarnya yang tentu
saja sudah membaca novelnya, line-line yang mampu membuat hati terenyuh sampai
tertawa kecil itu hadir meskipun beberapa bagian penting ada yang sedikit
terlupakan, seperti Isaac. Tapi
kayaknya film ini punya beban yang besar, jadi kelihatan hati-hati dalam
bercerita, berhasil sih karena ada kesan bijak dan hormat pada cerita tapi
jadinya terasa tidak lepas. Ada kesan dipaksa, beberapa saat ia terasa jujur,
tapi juga sering banget terasa manipulatif dan canggung, seperti mengajak ayo
dong tersentuh, ayo dong nangis dengan melihat penyakit bertarung dengan cinta.
Seolah di tuntun, karena Hazel dan Augustus tidak
dijadikan objek untuk diamati yang sebenarnya dapat menambah kekuatan kisah
mereka. Alur ceritanya biasa saja meskipun humornya beberapa menarik,
pengembangan karakter juga sama, tapi ada satu masalah disini, The Fault in Our Stars punya emosi yang
keren, sekali saja klik akan sulit untuk lepas. Nyawa dari karakter memang
tidak begitu kuat, tapi sebaliknya justru hadir di permasalahan yang mereka
alami, ketika cinta yang mekar hanya punya waktu singkat untuk menjadi indah,
semua karena cara mereka yang dengan terang-terangan memberikan manipulasi
untuk mengemis atensi bekerja dengan baik, apalagi dengan kumpulan kata-kata
yang terasa tajam dan sesekali tampak cerdas didalam dialog antar karakter.
The Fault in Our Stars memang mengandalkan banget gimana penonton menaruh
simpati mereka pada masalah dan juga karakter. Meskipun dengan segala melodrama
itu mereka tidak jatuh menjadi kisah yang super murahan, tetap saja The Fault in Our Stars akan menghasilkan
dua sisi berlawanan, seperti pengalaman saya pada suatu adegan yang dapat
mendengar isak tangis di kursi depan penonton, tapi dibelakang ada penonton
yang berusaha menahan tawa mereka. Tidak heran sih mungkin karena pengaruh dari
beberapa bagian yang memang terasa kosong dan hambar, meskipun dari chemistry
antara dua karakter utama cukup meyakinkan dan berimbang, Woodley berhasil membuat kita luluh bersama masalahnya, tapi Elgort terasa terlalu
manis.
Dibalik segala plus dan minus yang ia miliki The Fault in Our Stars berhasil
menjalankan tugas utamanya sebagai sebuah tearjerker
yang efektif. Intensitas yang ia punya memang sih sedikit jauh dari harapan,
tapi ada pesona yang lembut dengan perpaduan rasa sakit dan juga gairah pada
inti cerita, cinta sejati. Tidak ada yang special dari cara ia diarahkan, tapi
dengan akting yang baik serta script yang “bagus” dan “setia” The Fault in Our Stars berhasil berubah
dari kumpulan kalimat kedalam bentuk gambar dengan permainan emosi manipulatif
yang menyenangkan. Film yang mampu menyentuh dan mempermainkan emosi adalah
film yang bagus buat saya. It'll easily
touch womens heart.
Tapi The Perks of Being A Wallflower juga kurang tepat kalo disebut "komedi drama dengan roman di antara dua remaja yang mudah untuk diterima", latar ceritanya gelap dan twisted *halah*
ReplyDeleteYang bikin top film The Fault In Our Stars itu quotes-nya hehe. "I'm a rollercoaster that only goes up." :) Nice reviews!