"So, they want the same shit, here we go."
Ketimbang menyebutnya sebagai penerus kesuksesan film pertama yang rilis dua tahun lalu, 22
Jump Street mungkin terasa lebih layak menyandang status sebagai silliness recycle yang berhasil
menjalankan tugas beratnya tanpa harus mengorbankan “image” yang ia punya. Dengan
budget hampir dua kali lebih besar tidak ada hal baru yang menonjol disini,
tapi apakah itu sebuah keharusan dari sebuah sekuel? Tidak, karena hal tadi
mampu ia tutup dengan sebuah hiburan identik yang masih sama menyenangkannya. 22 Jump Street, real-world version of The Lego Movie, random fun.
Setelah gagal menangkap drug dealers yang dipimpin Ghost (Peter Stormare), Deputy Chief Hardy (Nick Offerman)
menempatkan kembali duo mispaired police, Morton
Schmidt (Jonah Hill) dan Greg Jenko
(Channing Tatum) untuk melakukan misi yang lebih mudah dan pernah mereka
berhasil laksanakan dengan baik, melakukan aksi penyamaran untuk memecahkan sebuah misteri.
Mereka kembali berada di bawah komando Captain
Dickson (Ice Cube), yang kini sudah memindahkan tempat kerjanya ke 22 Jump Street, bahkan telah melakukan
update pada Korean Jesus.
Schmidt dan Jenko naik level, masuk ke sebuah college
bernama MC State dan menyamar sebagai saudara, bertugas untuk mencari WhyPhy,
distributor dari narkoba mematikan yang diduga menjadi penyebab kematian seorang
mahasiswi. Tapi ternyata aksi membaur mereka dengan para mahasiswa, Jenko yang
langsung menjadi BFF pria bernama Zook
(Wyatt Russell) karena keahliannya di football, dan Schmidt dengan wanita
muda, Maya (Amber Stevens) lengkap
dengan roommate yang selalu cemberut bernama Mercedes (Jillian Bell), ternyata menjadi penghalang bagi misi
utama mereka.
Dibuka dengan kilas balik singkat film pertamanya, ada
sebuah adegan menarik di bagian pembuka yang berasal dari percakapan antara
Hardy, Schmidt,dan Jenko, sebuah kalimat dengan inti bahwa usaha mempertahankan
lebih sulit dibandingkan dengan usaha ketika hendak meraih. Ya, terasa implisit
memang tapi bagian tersebut menjadi menarik kerena disamping sedikit ucapan
syukur atas keberhasilan film pertamanya ia juga mengatakan bahwa percobaan
kedua selalu lebih sulit dibandingkan dengan percobaan pertama terlebih jika ia
sebelumnya mampu meraih kesuksesan. Itu seperti sebuah alarm yang akan membuat
penontonnya secara spontan menarik mundur ekspektasi yang telah mereka pasang
di level manapun.
Cerdik, mereka seperti memberikan kejutan berupa
sedikit rasa pesimis di bagian awal untuk menjadikan penontonnya “siap” dengan
hal negatif dari sebuah sekuel sebelum masuk kedalam pesta sesungguhnya,
seperti sedikit mencuci otak kita untuk tidak berharap terlalu banyak namun
kemudian memberikan kejutan lainnya yang akhirnya membuat kita keluar dari
pesta tersebut dengan rasa puas yang sama dengan pendahulunya. Yap, strategi
diawal itu ternyata berhasil karena pengulangan plot pada film pertama yang muncul
pada naskah yang disusun oleh Michael
Bacall, Oren Uziel, dan Rodney
Rothman, begitupula pada cara Phil
Lord dan Christopher Miller
memadukan mereka yang juga masih bermain pada formula default film pertamanya
berhasil bersatu menjadi sebuah komedi bodoh yang menyenangkan.
Tidak banyak yang berubah disini, Phil Lord dan Christopher
Miller masih menggunakan rumus yang sama: plot yang ringan, dangkal, dan
standard, alur yang dominan berisikan hal-hal gimmick disengaja, hal-hal konyol, bodoh, apapun itu sebutannya
yang silih berganti hadir dengan liar dalam gerak cepat yang terkendali, hingga
sedikit drama pada dua karakter utamanya dengan tema persahabatan. Yang
menjadikan tumpukan materi tadi bekerja dengan baik adalah kemampuan dari Phil Lord dan Christopher Miller memberikan mereka waktu untuk beraksi dan
mencuri atensi tanpa harus saling merusak satu sama lain, meskipun banyak
diantaranya tampil dengan membawa kesan klise bahkan beberapa terasa hambar.
Ini yang aneh, kita tahu ini klise, kita tahu ini
bodoh, kita juga tahu ini dangkal, tapi mereka tidak mengganggu kenikmatan
petualangan yang mencoba tampil sedikit satir dan kini sedikit menggeser
fokusnya itu. 22 Jump Street bukan
sekedar berisikan aksi prosedurial polisi namun kini mencoba untuk
menggambarkan persahabatan diantara dua senjata utamanya yang kini diputar
posisinya itu, selalu diwarnai dengan aksi ejek baik menggunakan fisik maupun
verbal dengan mengandalkan perbedaan diantara mereka dilengkapi dengan
penggunaan split-screen yang kreatif, hadir dengan komposisi yang pas sehingga
tidak terlalu lembek serta tidak menguras energi sektor fun lainnya, seperti
adegan aksi.
Keseimbangan mungkin kata sederhana yang dapat
mewakili alasan mengapa 22 Jump Street masih
mampu menjadi sebuah komedi menyenangkan dibalik segala hal standard yang ia
tawarkan. Tidak tampak rasa ragu pada eksekusi yang dilakukan oleh Phil Lord dan Christopher Miller pada materi yang mereka punya, sama halnya
seperti The Lego Movie dimana mereka
berhasil mencampur elemen kekanak-kanakan dengan lelucon cerewet, elemen yang
bertugas sedikit memompa adrenalin, dan kemudian membungkusnya dengan sedikit
unsur drama, saling bantu dalam struktur yang tertata dengan baik sehingga
fokus penonton tidak pernah menghadap kembali kearah belakang untuk mencari
hal-hal minus yang ia punya, terus menatap kedepan hingga kredit penutup yang
ambisius itu hadir di layar.
Duet antara Channing
Tatum dan Jonah Hill juga menjadi
kunci lainnya. Chemistry mereka terasa kuat, seperti telah paham untuk saling
mengisi dan membantu untuk menciptakan hubungan bromance yang lucu, gila, tapi
juga hangat. Jonah Hill kembali
tampil dengan standard yang ia punya, tapi yang menarik justru adalah Channing Tatum, aksi komik yang ia
berikan tidak lagi kasar dan tampak mulai nyaman dengan peran yang ia miliki.
Phil Lord dan Christopher Miller juga cerdik dalam memanfaatkan karakter
pendukung, melekat di memori tanpa mengganggu karakter utama. Jawara nya adalah
Ice Cube yang selalu mampu mencuri
panggung utama ketika ia hadir, hal yang juga berhasil dilakukan oleh Jillian Bell dan Amber Stevens, begitupula dengan cameo dari Patton Oswalt dan Seth Rogen.
Overall, 22 Jump
Street adalah film yang memuaskan. Apakah ini jauh lebih besar dari film
pertamanya? Tidak. Ketimbang menyebut 22
Jump Street sebagai sebuah penerus yang mampu memberikan banyak pergerakan
positif dari pendahulunya, lebih menarik untuk mengapresiasi kemampuan Phil Lord dan Christopher Miller beserta tim miliknya untuk menjauhkan film ini
dari jeratan buruk sebuah sekuel jika menilik sikap yang mereka tunjukkan sejak
awal, dari rumus yang sama, plot yang sama, hingga pengulangan dan materi yang mayoritas sama. Identik, dan masih sama menyenangkannya.
0 komentar :
Post a Comment