"Mutants, we now find ourselves on the edge of extinction."
Tidak perlu mundur sampai dua hingga tiga dekade
kebelakang, jika anda sama dengan saya menghabiskan masa kecil di era 90-an
setidaknya anda akan kenal dengan salah satu tim superhero beranggotakan para
mutan yang kemunculannya tahun 2000 lalu dapat dikatakan menjadi pioneer
kemunculan superhero lainnya ke layar lebar. Tapi jika berbicara cerita pada
franchise atau film series X-Men
lebih sering meninggalkan luka ketimbang terus maju, sebut saja seperti Marvel Cinematic Universe. Fox sadar akan kesalahan itu dan mulai mencoba
menyusun ulang jagoan mereka ini, dan well, itu berhasil. X-Men: Days of Future Past, style, substance, sensation.
Pada tahun 2023 X-Men menghadapi masalah dari
teknologi bernama The Sentinel,
bermula dari pertarungan yang melibatkan Blink
(Fan Bingbing) dan juga Bishop (Omar
Sy), tekanan muncul dan memaksa Professor
X (Patrick Stewart), Magneto (Ian
McKellen), bersama Storm (Halle
Berry) dan anggota lainnnya untuk mengambil sebuah keputusan darurat.
Memanfaatkan kemampuan Kitty
Pryde/Shadowcat (Ellen Page) mereka ingin mengirim Logan/Wolverine (Hugh Jackman) untuk kembali ke tahun 1973 pada
sebuah peristiwa penting yang melibatkan Raven/Mystique
(Jennifer Lawrence) dan scientist bernama Bolivar Trask (Peter Dinklage).
Tampak mudah, namun faktanya tidak demikian, karena
kondisi saat itu bertolak belakang, baik dari sifat dan juga hubungan mereka
satu sama lain. Misi yang diemban oleh Logan adalah untuk menemukan keberadaan Professor X muda (James McAvoy) yang
kala itu tinggal bersama Beast (Nicholas
Hoult), menemukan pria muda bernama Peter
Maximoff (Evan Peters) yang dapat berubah menjadi manusia dengan gerak
cepat, Quicksilver, bergabung untuk
menyelamatkan Magneto (Michael
Fassbender) serta menjalankan misi utamanya, menggagalkan sebuah tindakan
yang dilakukan oleh Mystique.
Dapat dikatakan keputusan berani untuk mundur
kebelakang pada X-Men: First Class
merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi tim ini karena kecerdikan tersebut
secara tidak langsung membuka banyak ruang baru untuk di eksplorasi, memberikan
mereka kesempatan untuk menyajikan sesuatu yang segar dan mungkin saja lebih
menjual tanpa harus meninggalkan sosok-sosok ikonik yang telah mereka punya.
Tapi tahan dulu ekspektasi anda pada film ini terlebih jika telah menyaksikan
film yang disebutkan sebelumya tadi, karena Bryan
Singer yang kembali ke bangku sutradara punya misi lain pada film ini,
memanfaatkan konsep time travel itu untuk memperbaiki luka lama dan mulai
menyusun kembali struktur atau linkage bagi X-Men.
Penonton mungkin akan merasa sedikit kecewa jika
mereka mengharapkan akan mendapatkan hadirnya banyak momen-momen epik, besar,
dan megah dari petualangan ini. Ya adegan aksi dan pertempuran itu memang ada
dengan style dan eksekusi yang pas dan renyah, sebut saja aksi slow motion dari
Quicksilver hingga momen yang
melibatkan stadion Robert F. Kennedy,
momen-momen kecil juga terasa nikmat yang bersama beberapa plot dan point
bersama-sama terus dibuat agar bergerak dalam kecepatan yang mudah dinikmati.
Tapi kembali menilik apa yang disebutkan pada paragraph sebelumnya, sejak awal Bryan Singer seolah berupaya untuk tidak
hanya menuntun fokus penontonnya semata-mata hanya pada formula standard film
superhero, adegan aksi bersama cerita super sederhana yang kemudian ditemani
dengan musuh yang begitu-begitu saja.
Ya, itu mengapa di awal tadi saya menyebutkan style
dan substance secara bersamaan, karena sensasi yang hadir berkat kinerja
seimbang yang mereka ciptakan. X-Men:
Days of Future Past seperti di set untuk bergerak diantara dua franchise superhero yang terkenal belakangan ini,
humor dan karakterisasi yang ringan seperti Marvel
yang kemudian digabungkan bersama sedikit nada realisme yang gelap seperti yang
dilakukan oleh Christopher Nolan pada
Batman. Hasilnya, sebuah perjalanan
yang menyenangkan, porsi keduanya terus terjaga dengan baik berkat kepiawaian
Singer dalam mempermainkan dinamika cerita, ia cerdas dalam melemparkan
berbagai materi yang ia punya kedalam cerita dan kemudian menjahit dengan rapi,
tumpukan masalah eksternal dan internal yang membangun relevansi satu sama
lain.
Dan uniknya hal tadi hadir dalam keseimbangan antara
serius dan santai yang terasa pas. Dari segi cerita terlihat bagaimana Singer
paham dan menguasai materi serta karakter yang ia miliki, dan ia tahu bagaimana
cara mencampur aduk cerita tadi agar masing-masing dari mereka mayoritas tidak terasa
totally useless. Meskipun ringan karakter diberikan tugas yang serius, Magneto, Mystique, hingga Xavier bahkan masing-masing diberikan
masalah pribadi untuk mereka bawa yang secara tidak langsung juga membantu misi
utamanya tadi karena semakin mempertebal perputaran masalah pada karakter.
Bahkan ada bumbu cinta segitiga didalamnya jika anda telah menyaksikan X-Men: First Class sebelumnya. Dan apa
yang menjadikan film ini bekerja dengan baik adalah ketika ketegangan demi
ketegangan tadi kemudian dipotong dengan hal-hal santai dengan penempatan yang
proporsional.
Apa yang menarik dari elemen fun pada film ini adalah
mereka hadir memberikan sedikit nafas segar tapi tidak mengganggu bahkan
mencuri atensi penonton dari kisah yang rumit dan berbelit-belit di sisi
lainnya. Energi yang ia punya terus terjaga, bahkan kehadiran mereka kerap
menjadi penyeimbang pada pompa adrenalin cerita bersama humor-humor yang
bekerja dengan efektif, kombinasinya tidak kikuk. Porsinya minim tapi kehadiran
elemen fun yang selain humor juga berisikan visual efek yang tidak begitu megah
itu mampu menjadi penyeimbang yang kuat, sesuatu yang dapat hadir harus
disertai dengan eksekusi yang cermat, dan Singer berhasil dalam hal ini,
pertempuran para mutan yang disertai dengan studi karakter level rendah.
Divisi akting juga menjadi hal menarik lainnya dari X-Men: Days of Future Past, sebuah mix
penuh kejutan. Pertama tentu saja kehadiran Evan
Peters sebagai Quicksilver yang
dengan mudah langsung menjadikan penonton menyukai karakternya, kemudian James McAvoy, Michael Fassbender, dan Jennifer
Lawrence yang punya porsi sedikit lebih besar yang mampu mereka handle
dengan baik, Jennifer Lawrence yang lebih pada kejutan ketika ia berubah wujud
meskipun api gesekan antara Magneto dan Xavier kurang terasa feel-nya, hingga
peran minim pada Hugh Jackman yang seolah terpinggirkan dan hanya menjadi
boneka penghubung. Patrick Stewart
dan Ian McKellen juga tidak dapat
berkontribusi lebih besar karena ruang yang terbatas, sedangkan penampilan Peter Dinklage dapat dikatakan cukup
efektif, terlalu tenang tapi mampu menghadirkan misteri.
Overall, X-Men:
Days of Future Past adalah film yang memuaskan. Fox mengambil langkah yang
tepat, bukan hanya mampu membangun kembali para jagoan yang mereka punya namun
juga karena para jagoan itu berada di tangan yang tepat. Bryan Singer berhasil membawa kembali kenikmatan yang dimiliki oleh
dua film pertama X-Men, superhero yang menampilkan adegan aksi
dengan style yang tepat namun juga tidak melupakan peran dari cerita untuk
menghadirkan sensasi. Ini kuat karena seimbang, style + substance = sensation.
0 komentar :
Post a Comment