"Human qualities can be expressed in one word: Hypocrisy."
Sebut saja film ini merupakan korban yang tercipta
dari hasrat luar biasa milik Lars von
Trier pada topik kecanduan seks yang ingin ia angkat, begitu banyaknya
materi yang ingin disampaikan hingga harus memecahnya menjadi dua bagian untuk
menghindar dari salah satu kemungkinan terburuk yang dihasilkan oleh durasinya
yang sangat gemuk. Yap, sebuah kisah berisikan tragedi pada seks ini masih
bermain di pattern yang sama dengan babak pertamanya, lebih eksplisit, namun
sayangnya tidak lebih baik. Nymphomaniac:
Volume II, a frustrating sexual frustration. (Warning: review contains (probably) strong image).
Babak kedua ini dimulai dengan Joe (Charlotte Gainsbourg) yang menceritakan kondisi dimana ketika
muda ia (Stacy Martin) pernah
merasakan frustasi karena tidak dapat memperoleh orgasme dari sosok yang ia
cintai, Jerome (Shia LaBeouf). Hal
tersebut semakin bertambah parah setelah ia melahirkan putra mereka, berupaya
untuk membangun kembali kehidupan seks mereka seperti dahulu namun sayangnya
ditolak oleh suaminya itu. Celakanya hasrat seks milik Joe jauh lebih besar
ketimbang rasa cintanya pada Jerome, hal yang menjadikan ia mulai bergerak
mencari solusi dari masalahnya tersebut.
Berbagai langkah berani diambil oleh Joe, dari seks
random dengan seorang pria kulit hitam di tepi jalan yang tidak ia kenal sama
sekali, kemudian mencoba terapi yang mengandalkan kekerasan milik pria bernama K (Jamie Bell), bergabung dengan sebuah
grup yang beranggotakan para sex addict untuk bertukar pikiran, menjadi
rentenir dibawah pimpinan L (Willem
Dafoe), hingga menjadi mentor bagi wanita muda bernama P (Mia Goth), sebuah kombinasi yang memberikan ia rasa frustasi
kumulatif, alasan dari bertemunya ia dengan Seligman (Stellan Skarsgård), pria
yang duduk mendengarkan cerita miliknya.
Apa yang menjadikan babak pertama terasa menarik
adalah bagaimana Lars von Trier mampu
menyatukan berbagai misi yang ia miliki dalam sebuah penceritaan yang cukup
mumpuni. Obsesi pada seks itu digambarkan dengan tepat, ada kekejaman yang
dibentuk dengan rasa manis dan pahit yang pas, sisi erotis yang bergairah
dengan sedikit bantuan emosi yang baik mampu mengajak penontonnya bermain-main
dalam proses observasi pada salah satu sisi kelam yang dimiliki oleh manusia.
Ya, pada babak pertamanya itu Lars von Trier berhasil menciptakan sebuah
eksplorasi pada cinta dan seks yang lucu namun juga ekpresif. Nah, segala nilai
plus itu tadi yang tidak memperoleh tempat di babak kedua ini.
Hasilnya, ini sedikit monoton. Berpindah dari karakter
muda untuk kemudian dikendalikan oleh karakter tua, celakanya Lars von Trier tidak membawa hal baru
kedalamnya, ia hanya mengulangi struktur pada babak pertama untuk membangun
karakter tua menuju garis akhir yang telah ia tetapkan sejak awal. Obsesi pada
seks itu memang ada, namun disamping itu tidak ada sebuah gerakan kompulsif
yang menarik disini, sebuah aksi yang menjadikan penontonnya tertarik dan terus
tertarik pada sebuah proses destruktif yang dialami karakter utama. Joe yang
diperankan oleh Charlotte Gainsbourg
disini tidak tampak seperti seorang wanita yang mendekat pada neraka yang
menawarkan ia sebuah kehancuran karena frustasi pada seks, ia lebih seperti
sebuah boneka kebingungan yang bergerak random.
Jika digabungkan menjadi satu kesatuan Nymphomaniac dapat dijabarkan sebagai
sebuah bangunan yang harus selesai dalam durasi empat jam, berdiri kuat dan
tampak manis dari luar ketika ia telah selesai setengah, namun kemudian mulai
goyah oleh angin topan, tetap selesai dibangun namun hasil di separuh atas
tidak sama manisnya dengan separuh dibawahnya. Di babak kedua ini Lars von Trier hilang dalam fantasinya,
memang masih ada beberapa aksi filosofis yang menarik contohnya seperti “The Silent Duck”, namun selain itu
tidak ada materi lain yang memberikan penjelasan menarik pada tema kecanduan
seks yang ia bawa. Mayoritas kosong, seperti melayang-layang tanpa sensasi yang
mampu membawa masuk provokasi kedalam cerita, manipulatif yang sayangnya
dilakukan dalam sebuah kekosongan.
Yap, fokus yang kuat pada babak pertama pecah begitu
saja di bagian kedua ini. Lars von Trier
kehilangan sihirnya, ia tidak lagi menjadikan kecanduan pada seks itu sebagai
sebuah misteri yang disetiap kemunculannya mampu mencuri atensi dan mulai
menggantinya dengan melanjutkan proses analisis, dalam gerak liar bermain-main
dengan cerita-cerita umum yang bergerak terlalu tenang tanpa kegelisahan yang
memikat. Ia seperti ingin penontonnya mulai lebih fokus untuk mengamati dampak
dan akibat pada moral terkait seksualitas yang telah dibangun dengan baik oleh
babak pertamanya. Sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan kekuatan empati dan
simpati yang mumpuni dari karakter kepada penontonnya sehingga sedikit sulit
untuk klik dengan proses suram dari penyimpangan erotisme ini.
Mungkin saja ini memang telah di set oleh Lars von Trier untuk menjadi sebuah
kesatuan utuh yang tidak terpecah, babak pertama sebagai build-up, dan babak
kedua sebagai arena mengurai menuju konklusi, tapi sekalipun tidak dipecah
menjadi dua tidak ada jembatan kokoh yang dapat menyatukan dua bagian itu,
sehingga ada yang tertinggal di babak pertama. Salah satunya adalah kinerja
divisi akting, Charlotte Gainsbourg
mengambil kendali namun satu-satunya yang patut diapresiasi disini adalah sikap
berani yang ia lakukan pada sisi “nudity”, dari emosi ia lemah. Bahkan ia kalah
jika dibandingkan dengan Jamie Bell
yang punya porsi lebih sedikit, sebuah kinerja yang mampu menggambarkan sosok
sadis dan menyuntikkan sedikit rasa ngeri kedalam cerita.
Overall, Nymphomaniac:
Volume II adalah film yang kurang memuaskan. Hal-hal yang menjadikan babak
pertamanya terasa menarik hadir dalam kapasitas yang jauh lebih kecil bahkan
beberapa diantaranya menghilang. Obsesi pada seks itu masih ada namun cara ia dibangun yang tidak mampu menyajikan sebuah hiburan yang
sama baiknya dengan apa yang diberikan babak pertama. Kurang menyenangkan, terlalu
tenang, minim emosi yang mampu membangun koneksi penonton dengan karakter lewat
ironi, terus bergerak liar tapi dalam sebuah struktur yang tidak berhasil
menciptakan sensasi yang kuat. Sedikit monoton.
Wanita pecandu seks "nymphomaniac" .. ngeri juga yaah.. Ada gak film yang membahas tentang cara mengobati ejakulasi dini atau yang semacamnya gitu.
ReplyDelete"Don Jon" mungkin
Delete