"Sometimes
the wrong train will get you to the right station."
Cinta tidak
hanya dapat menjadi rumit, cinta juga dapat pula menjadi sesuatu yang
sederhana, bersemi ataupun hancur karena sesuatu yang sederhana, ia dapat
datang dan pergi juga dari hal yang sederhana. Hal tersebut yang menjadi
pondasi film asal India ini, menceritakan gejolak cinta bersama kehidupan
dengan cara yang unik menggunakan sebuah delivery
system makanan bernama Dabbawala. The
Lunchbox, a tender and funny love story.
Setelah membantu
anak perempuannya bersiap untuk pergi sekolah, Ila (Nimrat Kaur) langsung bergegas menuju dapur untuk
mempersiapkan makan siang bagi suaminya, Rajiv
(Nakul Vaid), sebelum seorang pria tua datang dengan sepedanya untuk
menjemput makanan tersebut, dan mengantarkannya. Pada hari itu Ila mencoba
resep baru atas saran seorang wanita tua (Bharati
Achrekar) yang tinggal di lantai atas, upaya untuk mendapatkan perhatian
dari suaminya dengan berharap mendapatkan respon yang lebih hangat kelak ketika
Rajiv telah pulang bekerja, hal yang selama ini sudah jarang Ila dapatkan.
Pernikahan Ila
memang sedang goyah, Ila terus dirundung kondisi bingung pada rasa cinta yang
ada diantara ia dan suaminya, dan itu semakin bergejolak ketika suatu saat ia
mengetahui bahwa masakan yang selama ini ia buat dengan penuh semangat itu
dikirim ke orang yang salah. Pria itu adalah Saajan Fernandez (Irrfan Khan), seorang duda yang bekerja sebagai
akuntan, sosok yang sempat menjadikan Ila tersenyum ketika melihat lunchbox miliknya kembali dalam keadaan
kosong. Pertarungan antara rasa ragu dan perhatian yang ia peroleh menciptakan
percakapan penuh suka dan duka yang intim antara Ila dan Fernandez, lewat surat
didalam lunchbox.
Hal menarik yang
paling utama adalah sikap berani dari penulis sekaligus sutradara, Ritesh Batra, untuk merubah haluan dari
proyek yang pada awalnya akan dibentuk sebagai sebuah dokumenter ini. Berawal
dari daya tarik terhadap jasa pengiriman makanan berbiaya murah bernama Dabbawalla yang kinerjanya telah
mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga dan media dunia, salah satunya Harvard, kemudian muncul berbagai kisah
personal yang menarik dan pada akhirnya melahirkan ide bagi Ritesh Batra untuk
membentuknya kedalam sebuah naskah. Tapi perspektif Ritesh Batra sepertinya masih dipengaruhi oleh misi utamanya tadi,
yang menyebabkan kesan sederhana terus berada di garis terdepan, hal positif
terbesar dari The Lunchbox.
Ya, sederhana,
ini mengajak penontonnya untuk masuk kedalam sebuah dramatisasi berisikan
penggambaran terkait berbagai isu hanya berawal dari sebuah pepatah yang sudah
sangat terkenal, "memuaskan pria dengan memuaskan perutnya." Ada
budaya yang mungkin menjadi fokus utama ketika ini masih berada di jalur
menjadi sebuah dokumenter, dari
aksi eksplorasi terhadap budaya di Mumbai
India, tanpa malu-malu dilengkapi dengan lingkungan penuh sesak dari kereta
hingga angkutan penjemput anak sekolah, hal yang terus menemani fokus utama
cerita pada sebuah polemik kehidupan yang dibentuk dalam sebuah dilema
percintaan. Tidak ada yang baru pada romansa yang ia punya, standard, predictable,
tapi ada nyawa yang hangat dan lembut didalamnya.
Mengejutkan
memang, karena dibalik aksi mondar-mandir itu ada sebuah kegiatan merenung
tentang opsi dan pilihan dari dua karakter utama yang bahkan hingga akhir
selalu membangun dan menyampaikan masalah yang mereka punya hanya dengan
interaksi menggunakan surat. Ya, aneh, sudah ada email, tapi disini terlihat
bagaimana aksi sengaja yang dilakukan oleh Ritesh
Batra untuk mengunci percakapan hanya melalui aksi surat menyurat bekerja
dengan sangat efektif, ia berhasil mempertahankan fokus dan menciptakan banyak
ruang cerita lainnya untuk bermain-main bersama polemik klasik tentang cinta,
membahas isu-isu dewasa yang mampu berputar-putar dengan rapi pada hal-hal
kecil tanpa melepas begitu saja daya tarik pada fokus utama.
Ada alur cerita
yang memang tidak menciptakan pergerakan besar namun tetap mampu menciptakan
rasa dinamis. Komunikasi yang tercipta terasa tulus, ada harapan dan ketakutan
yang diekspresikan dengan baik dalam dialog yang terasa natural disini,
bagaimana dua sosok kesepian saling bercerita tanpa rasa ragu tentang kehidupan
mereka karena bukan hanya telah merasa nyaman satu sama lain, namun disisi lain
ada respon positif yang mendukung dan juga sikap saling percaya, hal paling
penting dalam sebuah percintaan. Ini yang menjadikan The Lunchbox menarik, ia hanya memutar berbagai materi klasik dalam
penggambaran efektif tanpa mecoba tampil megah, terkesan bermain aman dan
merasa puas hanya dengan menampilkan hal-hal kecil yang hangat tanpa mencoba
berjalan terlalu jauh.
Tentu tercipta
positif dan negatif dan keputusan tersebut, terlebih dengan potensi besar yang
ia miliki, namun ketika kita telah terjebak dalam tahapan yang sengaja
dibiarkan sedikit demi sedikit terbakar menjadi sebuah ledakan kecil itu akan
sulit untuk lepas dari hipnotis yang The
Lunchbox berikan lewat pesona yang ia punya. Hadir sebuah kegelisahan yang
bertumpu pada rasa ragu dari premis yang sangat tipis itu, dengan editing yang
manis Ritesh Batra mampu meninggalkan
kedalaman yang menarik pada hal-hal kecil terkait manusia dan cinta, mengadu
perasaan dan logika dalam bentuk realistis yang mudah diakses tanpa menjadikan
ia terlalu berat dan kaku dengan ditemani humor yang menyenangkan dari suara
bibi dan juga pria baru bernama Shaikh
(Nawazuddin Siddiqui). Komposisi yang pas.
Dialog-dialog
manis yang mewarnai cerita juga dapat terus mencuri atensi berkat kinerja para
aktor. Chemistry yang manis berhasil terbangun diantara Irrfan Khan dan Nimrat Kaur,
dan itu dapat dikatakan impresif karena mereka mampu mengundang simpati
mayoritas dengan mengandalkan ekspresi wajah dalam diam ketika membaca. Hal-hal
kecil itu berhasil mereka jadikan menarik dengan koneksi halus yang mampu
menciptakan dilema yang tetap hangat tanpa memakan kesempatan bagi point yang
ingin mereka sampaikan untuk masuk kedalam pikiran penontonnya. Keputusan untuk
menjaga "si bibi" tidak hadir di layar juga menjadi sebuah keputusan
yang tepat, sama tepatnya dengan penggunaan Nawazuddin
Siddiqui yang sering merubah suasana tenang menjadi sedikit cerah.
Overall, The Lunchbox adalah film yang memuaskan.
Dalam sebuah kalimat sederhana, ini adalah hypnotize movie, hal yang terakhir
kali saya alami pada Silver LiningsPlaybook. Ada kesan dangkal dan membuang potensi yang ia punya, namun
keputusan untuk tampil sederhana sejak awal menjadikan Ritesh Batra leluasa untuk mempermainkan materi-materi standard dan
klasik tentang kehidupan dan cinta kedalam sebuah studi karakter menggunakan dilema yang terus menebar
pesona. Ya, pesona itu yang menjadikan nilai minus skala kecil menjadi tidak
berarti berkat sebuah penceritaan yang terus menerus mencuri atensi dalam
kehangatan, dan berhasil membuat penontonnya tersenyum kecil ketika credit
muncul sembari bergumam, "kebahagiaan dapat hadir dari hal-hal kecil dan
random." Segmented.
0 komentar :
Post a Comment