"At what point does a father truly become a father?"
Banyak orang tua yang pasti punya penafsiran berbeda
terkait pertarungan antara uang dan kasih sayang, melihat anaknya terus tumbuh
dari melintasi empat, lima, dan enam tahun menciptakan semangat yang membara
untuk bekerja lebih giat demi masa depan mereka, tapi celakanya justru perlahan
menjauhkan mereka dari “another real job” mereka sebagai orang tua, memberikan perhatian
seperti bermain bersama dengan kegiatan sederhana. Ladies and gentlemen, Mansion dan Ferrari belum menjadi keinginan dari anak berusia enam tahun,
mereka dapat merasa bahagia hanya dengan mandi bersama orangtua mereka di dalam sebuah bak mandi ukuran kecil
yang sempit. Money can get you closer
into happiness, but they still can’t buy that thing directly. Like Father, Like
Son (Soshite Chichi ni Naru), captivating, affecting, charming.
Dalam sebuah wawancara dalam rangka tes masuk sekolah
dasar, Ryota Nonomiya (Masaharu Fukuyama)
diajukan sebuah pertanyaan oleh dua sosok yang duduk dihadapannya, diantara ia
dan istrinya, Midori Nonomiya (Machiko
Ono), siapa menurut Ryota yang paling mirip dengan karakteristik yang
dimiliki anak laki-laki mereka yang berumur enam tahun, Keita Nonomiya (Keita Ninomiya). Ryota menjawab Keita mirip dengan
istrinya, karena ia merasa Keita tidak memiliki sikap agresif dengan semangat
berkobar yang ia miliki, alasan dari kesuksesannya sebagai arsitek yang
kemudian membatasi interaksi sosial antara ayah dan anak seperti waktu bermain
yang ia punya dengan Keita, meskipun disisi lain Ryota terus berupaya untuk
mendidik Keita menjadi disiplin dengan kegiatan tambahan seperti les piano.
Rasa ragu memang telah lama menghantui Ryota, terlebih
dengan penilaian orang-orang disekitarnya yang merasa Keita tidak punya
kemiripan dengan dia dan istrinya. Hal tersebut sering kali membatasi rasa
bahagia Ryota, hingga suatu ketika masalah yang lebih besar hadir. Ryota dan
Midori diminta hadir oleh rumah sakit tempat Keita dilahirkan, dan disana
mereka menemukan fakta bahwa Keita bukan anak kandung mereka. Keita tertukar
dengan bayi lain yang lahir dihari yang sama, Ryusei Saiki (Shogen Hwang), yang tumbuh besar dibawah didikan Yudai Saiki (Lily Franky) dan Yukari Saiki (Yoko Maki). Dua keluarga
itu diberikan pertanyaan sederhana, sebelum tahun ajaran baru dimulai apakah
mereka mau untuk menukar "anak orang lain" yang sudah sangat mereka
cintai tersebut?
Bagi saya terkadang sebuah film yang dapat masuk
kedalam kategori “memuaskan” itu hanya perlu sebuah syarat yang sangat
sederhana, ia dapat menyentuh dan kemudian bermain-main dengan emosi
penontonnya. Ya, simple, sesederhana itu, alasan mengapa sangat mudah
karya-karya dari sosok asal Jepang
bernama Hirokazu Koreeda untuk klik
dengan saya, dari Nobody Knows, Still
Walking, I Wish, hingga yang paling konyol dengan mempertanyakan eksistensi
pada Air Doll. Sedikit kurang yakin
apakah kata “Master” layak diberikan padanya, namun jika berbicara tentang
mengubah cerita dengan konflik super sederhana menjadi sebuah drama yang
natural, hangat, dan kuat, sosok satu ini adalah jagoannya. Itu kembali hadir
pada Like Father, Like Son.
Sangat sederhana, pada Like Father, Like Son Koreeda mengajak penontonnya untuk mengamati
proses atau tahapan dari aksi mencari solusi dari sebuah permasalahan yang
bukanlah sesuatu yang baru apalagi menyegarkan. Bersama komposisi yang cermat
dalam gerak santai premis sederhana itu akan membawa masuk sebuah drama
keluarga yang melakukan kombinasi antara perjuangan terhadap trauma
menghancurkan dengan aksi memeriksa jiwa, keduanya dilakukan oleh Ryota yang
menjadi fokus utama dengan berlandaskan sebuah pertanyaan umum: bagaimana
sebenarnya menjadi sosok ayah yang “benar” bagi anaknya? Yap, hanya itu, bukan
pertanyaan terbaik antara si kaya dan si miskin, hanya sebuah konflik sederhana
yang membantu memperkuat aksi memeriksa yang tidak berupaya membuka jalan
menggunakan masalah tadi untuk menemukan jawaban diakhir cerita.
Nah, apa yang menjadikan hal sederhana itu mampu klik
dan terus tampil menarik atensi adalah cara ia digambarkan yang dibalik kesan
natural dan sempit itu mampu mewakili kondisi umum yang mayoritas terjadi pada
zaman sekarang. Apakah menjadi seorang ayah lantas hanya memberikan seorang pria
tugas untuk mati-matian mencari uang hingga hanya menyisakan satu hari dalam
seminggu untuk anaknya, bahkan hanya punya dua hingga tiga jam dimalam hari
untuk berinteraksi kecil. Apakah itu yang anak-anak inginkan dari ayahnya?
Apakah hal tersebut akan membuat pria menjadi Superman bagi anak mereka? Hal-hal tersebut yang dibentuk kedalam
sebuah potret menakutkan yang terasa lembut oleh Hirokazu Koreeda, menghujamkan isu-isu tajam dalam keseimbangan
antara sisi serius dan juga sisi fun.
Yap, seimbang, ada drama yang tidak pernah berhenti
menyajikan sisi sensitif yang berpotensi menciptakan ledakan besar dalam
seketika, namun dalam aksi mondar-mandir yang dibumbui gambar-gambar mumpuni
itu hadir pula humor-humor hangat yang mampu mengundang tawa. Ini perpaduan
aneh dan unik, a bit disturbingly fun,
penonton di isolasi dalam emosi rumit dan kompleks yang tidak pernah berhenti
untuk menarik dan mengulur kemungkinan hadirnya harapan dalam kecemasan tiada
henti yang menciptakan ketegangan intens yang kondisi tenang (I hate and love that situation), tapi
disisi lain juga mendapatkan senyum lewat kasih dalam keluarga yang tidak
pernah mendekati level terlalu sentimental dan hanya mengandalkan kedalaman
emosi, dan juga kegembiraan lewat funny moment skala kecil yang mayoritas hadir
berkat hal-hal polos.
Jujur saja jika menilik materi tidak ada yang special
dari Like Father, Like Son, ia bisa
jatuh menjadi monoton dan terasa predictable,
namun dengan kontrol yang tenang Hirokazu
Koreeda berhasil membangun materi standard tadi menjadi sebuah narasi yang
berbobot, memadukan pertanyaan tentang manusia bersama akumulasi emosi dalam
bentuk yang hangat. Kemampuannya dalam membentuk ruang agar penonton ikut
terlibat pada cerita bersama simpati dan empati tidak hanya akan menghasilkan
rasa takut dan juga sindiran tajam pada kaum dewasa yang telah menikah, ini
bahkan cukup kuat untuk memberikan rasa takut pada mereka yang masih single,
membuat mereka melihat kembali power dari mental yang mereka punya karena
menjadi orang tua bukanlah sebuah lelucon dengan mengandalkan ego dan
mengesampingkan “another real responsibility” sebagai orang tua.
Keberhasilan Like
Father, Like Son menyajikan kekacauan yang tenang dan indah itu juga berkat
kinerja divisi akting yang tampil mumpuni. Seperti kebiasaan yang ia punya,
Koreeda kembali tidak menjadikan aktor cilik hanya sebagai boneka belaka,
menjadikan mereka sisi lain kekuatan film, dan Shogen Hwang serta Keita
Ninomiya mampu menyampaikan sudut pandang anak terhadap orang tua mereka
dengan baik. Masahara Fukuyama yang
menjadi fokus utama berhasil menghadirkan gejolak jiwa dengan perpaduan ego
yang tajam dan kasih yang hangat. Machiko
Ono bertugas sebagai pion yang membantu dan memperkuat polemik Ryota, dan
ia berhasil. Lily Franky menampilkan
sisi lain cerita juga dengan performa lucu yang baik, dan juga memperkaya
pertanyaa utama terkait “being a real father.” Sedangkan Yoko Maki menjalankan tugasnya dengan baik dalam menjaga potensi
ledakan dalam cerita.
Overall, Like
Father, Like Son (Soshite Chichi ni Naru) adalah film yang memuaskan.
Sebuah aksi mempertanyakan tindakan manusia dalam struktur kaku yang terus
bergerak lugas dan terkontrol dengan baik dalam kehangatan menyenangkan dan
tampilan natural yang memikat, Hirokazu
Koreeda sekali lagi berhasil
menghadirkan sebuah drama keluarga yang kuat dibalik kesederhanaan pada hal
biasa yang ia miliki. Berawal dari sebuah isu “money can’t buy you a happiness” hadir aksi mengamati yang tenang
dan intens, eksplorasi lembut mengandalkan kompleksitas emosi dalam sebuah
potret bagaimana perputaran cinta antara ayah dan anak bahkan keluarga yang
seharusnya terjadi. Just like What MaisieKnew did, on their early age the most important thing child needed from they parents is not a money, they just want an attention, thoughtfulness, they just want to be "respected" as a child. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment