"Mommy, look, Dinosaurs."
Selalu ada sebuah
kesulitan umum dari film dengan status summer blockbuster, harus mampu
menghadirkan cerita yang tidak murahan namun disisi lain juga menjauhkan mereka
agar tidak mengganggu jualan utamanya pada hiburan visual. My #1 most anticipated summer movie 2013: Pacific Rim, dan
hasilnya berada dibawah ekspektasi, keseimbangan diantara elemen utama yang ia miliki terasa kurang mumpuni.
Nah, hal terakhir itu yang secara mengejutkan dimiliki oleh film ini, cerita
oke dalam visualisasi kekacauan yang juga oke. Godzilla, a good disaster movie, manipulative orchestra with foreplay
narration.
Drs. Ichiro Serizawa (Ken Watanabe) bersama assistennya, Vivienne Graham (Sally Hawkins),
bergerak menuju Filipina untuk
meneliti sebuah kawah yang terletak pada lokasi tambang uranium. Mereka
menemukan sebuah fosil radioaktif didalam bumi yang mengalir menuju lautan.
Rasa ragu muncul pada makhluk tersebut, hingga pada akhirnya sebuah bencana
hadir dan meninggalkan sebuah luka mendalam bagi seorang fisikawan bernama Joe Brody (Bryan Cranston), yang harus
rela menyaksikan istrinya, Sandra
(Juliette Binoche), menjadi korban dari runtuhnya powerplant tempat mereka
bekerja di Janjira, Jepang ketika
sedang menyelidiki aktivitas seismik yang mengganggu.
Luka itu masih belum
hilang lima belas tahun kemudian. Tahun 2014 Joe kembali berupaya menuntaskan
obsesinya pada peristiwa tersebut, dan bersama anaknya yang kini bekerja
sebagai perwira angkatan laut, Ford Brody
(Aaron Taylor-Johnson), ia berhasil menemukan sebuah jawaban yang celakanya
juga sekaligus menjadi alarm bagi hadirnya sebuah bencana yang lebih besar.
Monster yang telah lama menjadi objek penelitian itu telah siap untuk bangun,
dari Hawaii, Las Vegas, hingga San Francisco berupaya untuk menemukan
pasangannya, aksi yang turut mengundang kehadiran monster lain yang lebih
besar, Godzilla.
Kalimat terakhir pada
paragraf pembuka diatas tadi sebenarnya telah cukup mampu untuk menggambarkan
secara umum apa saja yang akan diberikan oleh aksi dari monster daikaiju yang
memulai kiprahnya dari series tokusatsu ini. Bencana, ya itu tentu saja menjadi
fokus utama yang disampaikan masih dengan mengandalkan hancur dan runtuhnya
gedung hanya dengan sekali kibasan ringan dari ekor dan juga langkah para
monster itu. Kemudian ada kepanikan manusia, kekacauan skala besar dan dahsyat
dipenuhi ketakutan yang menariknya mampu dibentuk dengan efektif oleh Gareth Edwards, bukan hanya pada
presentasi di layar namun juga ikut mengajak penonton seolah berada didalam
kekacauan tersebut, kegelisahan diselimuti semangat yang terus berjalan dengan
hati-hati sembari menebar godaan yang menyenangkan.
Yap, kekuatan utama Godzilla versi Gareth Edwards adalah kemampuan ia untuk menggerakkan cerita hasil
perpaduan Max Borenstein dan David Callaham secara perlahan dalam
tahapan yang rapi, terkadang memang terasa sedikit menjengkelkan dengan
perpindahan cepat dalam durasi tiap scene yang cukup singkat, namun disisi lain
tidak pernah gagal untuk terus memupuk rasa penasaran penontonnya. Ini seperti
menyaksikan sebuah orchestra yang manipulatif, mempermainkan penontonnya
sedikit demi sedikit dengan menggunakan unsur drama yang beberapa diantaranya
bisa saja dibuang dengan mudah, menciptakan sebuah proses membangun cerita yang
sangat menuntut rasa sabar karena berpotensi terasa terlalu panjang, dan
bersama elemen teknik visual yang memukau saling bahu membahu menyusun set
untuk ledakan diakhir cerita.
Boom!!! Itu rasa yang
akan hadir untuk membayar sikap sabar penontonnya yang ikut dalam aksi foreplay menggoda milik Gareth Edwards. Ada sebuah rasa puas
ketika monster yang hampir di separuh durasi itu seperti disengaja untuk
mondar-mandir bermain petak umpet dengan penontonnya, dari penggunaan pintu
yang tertutup, berenang di lautan melintasi jembatan, hingga aksi terjun payung
di gelapnya malam, meskipun kualitas 3D yang ia berikan kurang megah namun
tetap tercipta sensasi demi sensasi yang terus mempertahankan nafas cerita
untuk terus menggebu. Ada momentum yang terus terjaga dengan baik, naik dan
turun, kondisi tenang yang kemudian dihantam oleh lengkingan ikonik Gojira yang kini tampil sedikit serak,
sebuah kinerja yang terhitung solid jika menilik bantuan yang ia peroleh dari
cerita yang masih tampil dengan ciri khas lamanya.
Sulit memang untuk
mengharapkan sebuah drama yang kuat dari sebuah film yang menaruh fokusnya pada
“kekacauan” sebagai jualan utama. Cara dari Gareth
Edwards untuk membangun materi yang ia punya pada unsur drama sebenarnya
dapat dikatakan sudah cukup bagus, terkesan lambat seolah memberi kesempatan
pada penontonnya untuk dekat dengan karakter manusia dan monster itu sendiri
sebagai upaya untuk menekankan isu sosial, namun sayangnya mereka hanya mampu
mencapai batas setengah masak, bahkan beberapa terasa mentah. Ada keterlibatan
emosi contohnya dengan mengandalkan karakter Elle Brody (Elizabeth Olsen) dan juga Joe Brody, tapi standard dan
tidak kuat, tidak ada ledakan yang mumpuni semua dikarenakan fokus pada
karakter manusia yang terpecah belah.
Tapi bukankah kita datang
menyaksikan Godzilla untuk menikmati
aksi Gojira itu sendiri? Mungkin itu
pula yang ada dibenak Edwards, ia lebih banyak mengandalkan CGI untuk menciptakan gambar-gambar
indah yang membentuk ketegangan dan keintiman penonton dengan cerita, kemudian
membatasi ruang bagi drama hingga humor untuk sebatas berperan sebagai pembuka
jalan bagi pengungkapan cerita sehingga tidak bergerak terlalu jauh dan tidak
mengganggu fokus utama, serta terus melindungi jagoannya itu bahkan dari
kekuatan militer tidak seperti yang pernah dilakukan oleh Roland Emmerich. Kombinasi dari hal-hal tadi meningkatkan daya
tarik dari Godzilla itu sendiri, membuat
statusnya bukan hanya sebuah boneka kurang kerjaan yang bergerak random, hal
yang menyebabkan konklusi dibagian akhir mampu membungkus dengan manis misi
yang diemban sejak awal.
Hal lain yang sedikit
menyedihkan pada film ini adalah peran pada karakter manusia. Disini mereka
justru seolah menjadi kumpulan pegawai yang bekerja keras untuk kemudian
menyaksikan boss (Godzilla) mereka
yang menuai hasilnya. Kesalahan utamanya adalah terbatasnya peran Bryan Cranston dan sedikitnya waktu bagi
Juliette Binoche, koneksi mereka kuat
dan ketika berganti menjadi Taylor-Johnson
dan Elizabeth Olsen semua perlahan
berubah menjadi kurang menarik. Keberhasilan Edwards pada bagian ini adalah
bagiamana ia sukses membatasi porsi tiap karakter tanpa menjadikan masing-masing
dari mereka tampak sebagai karakter klasik yang menjengkelkan. Ya, dengan
porsi yang sedikit lebih besar mungkin unsur manusia yang menjadi fokus lain
itu akan mampu bertahan hingga akhir, tidak tenggelam begitu saja ketika Godzilla hadir.
Overall, Godzilla adalah film yang cukup
memuaskan. Nilai minus pada unsur drama yang tampil kurang kuat berhasil
menjauh dari kesan mengganggu berkat kemampuan Gareth Edwards yang sepertinya paham bagaimana cara
mempresentasikan sebuah kekacauan. Ada kombinasi dalam komposisi yang pas,
bersama score yang mumpuni momentum terus terjaga dan mampu menutupi cerita
yang terasa mentah dibeberapa bagian, mempertahankan dengan teliti tujuan utama
yang ia bawa dalam alur dengan koneksi yang simple dan efektif, dan yang
terpenting ia paham bagaimana memanipulasi dan bermain-main dengan sumber daya
yang ia punya untuk melakukan update pada sosok ikonik ini. A good orchestra.
x-men mas x-men rameeee
ReplyDelete