Siapa sih yang tidak tertarik pada sebuah film dengan Woody Allen didalamnya? Belum lagi jika
hal itu ditambah dengan penggunaan judul yang cukup licik lewat ikut sertanya kata
“Gigolo” sebagai cover dibalik aktor-aktor yang sudah cukup dikenal lainnya
seperti Sharon Stone, Liev Schreiber,
dan juga SofĂa Vergara. Sayang sekali
potensi yang ada itu terbuang sia-sia ditangan John Turturro, Fading Gigolo
menjadi sebuah rom-com klasik yang mencoba tampil manis namun berakhir statis.
Fioravante (John Turturro) sedang berada dalam krisis keuangan, hal yang sama
juga dialami oleh sahabatnya Murray
(Woody Allen) setelah toko buku yang ia punya mulai kehilangan nafasnya.
Melihat kondisi tersebut Murray mendapatkan ide bagi mereka untuk dapat
menghasilkan uang dengan cara lain. Bersumber dari seorang dermatologi bernama Dr Parker (Sharon Stone) yang mengatakan
pada Murray bahwa ia dan Selima (Sofia
Vergara) merasa tertarik untuk melakukan threesome, Murray langsung
menyodorkan Fioravante yang kemudian setuju meskipun dihantui rasa ragu, hal
yang kemudian membuatnya goyah ketika wanita bernama Avigal (Vanessa Paradis) datang padanya untuk tujuannya yang
berbeda.
Sangat jelas disini John Turturro, yang juga menjadi penulis dan sutradara, ingin
menceritakan sebuah konflik sosial dari kehidupan New York yang jujur saja sudah begitu klasik dan umum, dari
keuangan yang masuk kedalam sebuah drama percintaan. Ya, tidak peduli seberapa
dangkal dan murahan cerita yang ia punya hal-hal semacam itu tadi harus diakui
punya sebuah senjata yang mematikan untuk menjadikan penonton menyukainya,
membuat mereka mendapatkan gairah atau gelora dari cinta sebagai jualan utama. Fading Gigolo tidak punya itu.
Jika ditanya apa hal menarik dari film ini, jawabannya
mungkin adalah performa dari Woody Allen.
Allen seolah diberikan ruang khusus oleh John Turturro untuk beraksi dengan
liar bersama tingkah-tingkah yang berupaya untuk tampak konyol dengan beberapa
punchline yang kurang menarik. Aksi Allen menyenangkan, at least cukup berhasil
sedikit memberikan nafas pada segala konflik sederhana yang bergerak tanpa
energi disampingnya. Fading Gigolo
tampaknya memang di set untuk mengedepankan sisi melankolis, tapi sayangnya
ceritanya mentah, beberapa konflik yang terlantar tanpa pengembangan, tidak
hanya membuat mereka tampak off-beat
tapi ikut menjadikannya seperti tumpukan ide yang tidak punya kesempatan untuk
diurai menjadi lebih kuat dan menarik.
Salah John
Turturro sendiri memang karena dia memasukkan beberapa permasalahan yang
ternyata tujuannya hanya untuk mewarnai narasi. Kalau ini mampu menjadikan satu
konflik sebagai fokus yang kuat, hal-hal lainnya akan dengan mudah tampak
sebagai pendukung yang tidak mengganggu. Yang terjadi tidak seperti itu, cerita
berputar pada plot dengan tampilan bingung, hampir random, tambal dan sulam.
Turturro menghabiskan energi miliknya untuk mengurus cerita yang mencuri
kesempatannya untuk membentuk jiwa dari film itu sendiri, karakter wanita
seperti boneka untuk mendampingi dua karakter pria yang sibuk dengan urusan mereka yang tidak semuanya terasa penting.
Fading Gigolo ini bisa saja menjadi sebuah rom-com yang sederhana
dan efektif andai saja John Turturro
bersedia sedikit membuang ambisinya untuk menciptakan narasi dengan cerita yang
rumit, hal yang menjadi titik lemah film ini karena tidak di urus dengan baik,
terasa kurang bersemangat. Fading Gigolo seperti kumpulan kepingan puzzle dari beberapa gambar yang berbeda yang dipaksa untuk bersatu.
0 komentar :
Post a Comment