"Come find me when you wake up!"
Sebenarnya Edge
of Tomorrow punya dua faktor yang dapat membuat calon penonton merasa
skeptis padanya, pertama adalah ia hadir pada rentang waktu pertengahan tahun
atau lebih dikenal sebagai summertime yang identik dengan status blockbuster pengeruk keuntungan, dan
kedua ia punya Tom Cruise, bankable star yang mulai menjauh dari
status most powerful actor yang
pernah ia sandang. Tapi ini yang menarik ketika anda menaruh ekspektasi pada
level normal, peluang hadirnya rasa puas itu akan semakin besar. Edge of Tomorrow, a smart and efficient
puzzle between Halo and Groundhog Day with Monaco Grand Prix speed.
Invasi yang dilakukan oleh sekawanan alien bertentakel
yang dikenal dengan sebutan mimic
terus bergerak dengan cepat dan semakin mengancam keberadaan umat manusia, hal
yang kemudian menyebabkan USA memutuskan untuk mengirim seorang utusan mereka
menuju sebuah operasi militer raksasa yang berada di bawah kendali Inggris. Pria yang bernama Major
William Cage (Tom Cruise) itu mengemban tugas untuk berperan serta dalam
menyusun strategi perang dalam upaya membendung serangan para alien yang mereka
bagi menjadi dua kelas itu, Alpha dan
Omega.
Namun alih-alih berada di belakang layar Cage
mendapati fakta bahwa dirinya harus terjun langsung ke medan perang, berada
pada garis terdepan di pantai Normandia
dan melakukan aksi combat, sesuatu yang sama sekali belum pernah ia lakukan.
Tapi satu hal aneh terjadi, ketika ia diserang dan mati Cage justru mendapati
dirinya kembali ke hari sebelumnya, bertemu kembali dengan Sergeant Farrell (Bill Paxton), rekan-rekan barunya, dengan
kegiatan yang sama persis, dan Cage mulai belajar untuk perlahan merubah hasil
yang ia peroleh setelah bertemu dengan Rita
Vratasky (Emily Blunt), The Angel Of Verdun.
Jika harus dijabarkan secara simple Edge of Tomorrow adalah pure summer
blockbuster yang berhasil menjalankan misinya. Film yang mengambil basis dari
sebuah novel Jepang karya Hiroshi Sakurazaka yang berjudul All You Need Is Kill ini punya semua hal
yang penonton harapkan dari sebuah blockbuster,
cerita ringan namun punya pesona menarik, tebaran humor yang mampu menjadi
penyeimbang, visual memikat dengan adegan aksi yang terus mampu memberikan
adrenaline pumping, semua disatukan dalam sebuah alur yang bergerak dengan
kecepatan tepat dan rapi. Kita sudah mendapatkan itu minggu lalu, X-Men: Days of Future Past, dan secara
mengejutkan Doug Liman berhasil
memberikan hal yang sama hanya dengan mencampur aduk peperangan bersama dengan
sebuah permainan time travel.
Nah, hal terakhir itu yang pada awalnya sedikit
menggerus rasa yakin pada film ini. Imo time travel merupakan sebuah konsep
yang easy but risky, identik dengan hal-hal rumit yang jika tidak dibentuk
dengan teliti ia bukan hanya akan menghasilkan tumpukan cerita dengan berbagai
lubang pertanyaan namun juga memberikan pengalaman membosankan pada penonton
dengan pengulangan-pengulangan yang monoton. Hal tersebut sempat hadir di fase
awal film, kira-kira setengah jam kita masih dibawa untuk mengulangi situasi yang
sama bersama dengan Cage, tapi sejak awal Doug Liman seolah telah sepakat
dengan tim penulis yang beranggotakan Christopher
McQuarrie, Jez Butterworth, dan John-Henry
Butterworth, jangan jadikan cerita menjadi sebuah beban, let’s make
imagination as a main weapon.
Imajinasi, ketika dunia itu telah terbangun dengan
efisien isi kepala penonton hanya diminta untuk bergerak bebas bersama
imajinasi mereka. Tidak ada hal-hal rumit tentang gesekan antara masa lalu dan
masa depan yang mencoba meraih atensi utama, kita seolah telah dipaku untuk
hanya sebatas ikut dalam misi utama, mengikuti karakter mencoba bergerak
maju. Sepintas akan terkesan dangkal, namun bagaimana cara Doug Liman dalam
mewarnai konsep yang ia tempatkan di baris terdepan itu yang terus menerus
secara berkala memberikan sensasi menyegarkan pada Edge of Tomorrow. Penonton seperti di tuntun oleh Doug Liman dalam gerak cepat yang kerap
kali terasa liar namun mampu memberikan momen menyenangkan, mulai variatif
dengan menghadirkan spin-spin pintar yang terus dibangun dengan cekatan namun
bersama dinamika naik turun yang mengasyikkan.
Itu mengapa diawal saya menyebutkan Monaco Grand Prix, ini seperti bermain
game balapan di Monaco yang punya
trek lurus kecepatan tinggi namun disertai dengan tikungan super sempit yang
bukan hanya akan menggerus kecepatan tapi juga menghasilkan hantaman
menghancurkan sehingga terus membakar rasa waspada. Seperti itu Doug Liman membentuk Edge of Tomorrow, memang masih ada
beberapa ruang yang menjadi kesempatan bagi karakter untuk berkembang namun
dengan cekatan ia terus menjaga agar alur playful yang ia punya tetap tampil
padat, tidak ada momen yang mampu merusak intensitas dari tensi cerita sehingga
penonton akan terus terjebak bersama karakter dan lingkungan yang menemaninya,
perlahan merasakan seolah ikut berada didalam medan peperangan.
Disini sisi easy dari konsep time travel itu hadir,
buat penonton merasakan feel dari cerita, dan jebak mereka untuk terlibat semakin jauh dan lebih dalam. Dengan bantuan editing memikat dari James Herbert akan hadir pengulangan yang terus mampu memberikan
rasa segar dan tidak melelahkan, momentum terus terbangun sama halnya dengan
rasa simpati serta emosi pada karakter dalam batas yang wajar bahkan juga rasa
cemas pada para monster. Dan kecerdikan Doug
Liman ini memberikan hasil ketika ia menggabungkan hal tadi dengan visual
hasil cinematography mumpuni yang terus mengemis atensi serta elemen humor yang
sering memberikan tusukan mengejutkan kedalam cerita, sehingga Edge of Tomorrow mampu membentuk image
sendiri ketimbang murni menjadi sebuah mashup belaka dari berbagai film lawas
seperti Starship Troopers dan juga Groundhog Day.
Kinerja para aktor juga memiliki peran penting,
terutama pada kemampuan mereka menarik masuk penonton kedalam cerita. Dimulai
dari Bill Paxton yang mampu tampil
menjengkelkan, Tom Cruise berhasil
membawa karakternya untuk memanfaatkan dua sisi yang ia miliki. Disini perannya
adalah from zero to hero, ketika zero tekanan dan sikap pengecutnya berhasil
menarik simpati, namun ketika perlahan menuju hero kita seperti ingin ikut
merayakan keberhasilannya bahkan ketika ia mulai bersikap sombong. Tapi yang
mengejutkan disini adalah Emily Blunt,
kehadiran Rita selalu terasa mencolok, ada kekuatan dalam ketenangan yang ia
pancarkan. Chemistry diantara keduanya juga terasa pas, sering menjadi sumber
dari beberapa aksi komikal yang lucu dan menyenangkan.
Overall, Edge of
Tomorrow adalah film yang memuaskan. Konsep sederhana hidup, mati, dan
ulangi itu secara mengejutkan berhasil menyatukan tema perang dan time travel
menjadi sebuah pengalaman menonton yang mengasyikkan. Kuncinya terletak pada Doug Liman yang tahu bagaimana
menyeimbangkan berbagai elemen pembentuk seperti cerita, visual (3D yang baik),
action sequences, soul pada karakter, hingga sisi humor menjadi sebuah puzzle yang padat. Dalam gerak cekatan Edge of Tomorrow secara konsisten mampu
merubah berbagai pengulangan yang ia punya menjadi sebuah arena
bermain penuh sensasi menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment