"I'm like Pinocchio. I'm a wooden boy."
Keberhasilan itu datang dari usaha kita sendiri, bukan
dari pemberian orang lain. Terkadang rasa ragu dan takut yang sering kali menjadi
penghalang terwujud kalimat tadi, sikap tidak berani mengambil aksi yang justru
menciptakan ruang dan kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain, dan
memberikan dampak buruk bagi kita. Isu tersebut yang coba dibawa oleh film ini
dengan mengandalkan mitologi doppelganger
yang konon menjadi pertanda sebuah bad
luck, dikemas dengan serius dan santai bersama komedi dan drama percintaan.
The Double, a creepy and funny
psychological (and maybe love) story.
Teropong mungkin adalah teman terbaik bagi pria
introvert bernama Simon James (Jesse
Eisenberg), mengamati dengan tekun sebuah ruangan di gedung seberang tempat
ia tinggal, kamar tempat tinggal seorang wanita bernama Hannah (Mia Wasikowska). Simon telah lama secara diam-diam menyukai
Hannah, wanita yang bisa disebut menjadi satu-satunya alasan bagi Simon untuk
tetap bertahan di perusahaan statistik tempat ia bekerja, tempat dimana ia
setiap hari bertarung dengan petugas keamanan yang tidak pernah mengakui eksistensinya
meskipun faktanya ia telah bekerja selama tujuh tahun disana.
Tidak sampai disitu saja, ada pula Mr Papadopoulos (Wallace Shawn), manager
yang selalu menganggap rendah hasil kerja dan menjadikan Simon terus merasa
putus asa. Hal tersebut awalnya sempat berubah dengan kemunculan James Simon (Jesse Eisenberg), pegawai
baru yang celakanya punya kepribadian yang berlawanan dengan Simon meskipun
bentuk fisik mereka sangat identik. Simbiosis mutualisme mereka bangun tentu
saja dengan Simon yang berambisi meraih cinta Hannah. Celakanya semua tidak
berjalan mulus, dari sikap saling percaya yang memudar hingga melibatkan
seorang wanita bernama Melanie (Yasmin
Page).
Terinspirasi dari novel berjudul The Double karya Fyodor
Dostoyevsky, sulit untuk tidak membandingkan The Double dengan kompatriotnya yang juga mengusung konsep
doppelganger, Enemy yang ditangani
oleh Denis Villeneuve. Namun
kemiripan mereka pada faktanya hanya sampai sebuah cakupan luas, hanya pada
konsep utama, karena cara mereka bercerita dalam menggambarkan konsep tersebut
ternyata jauh berbeda. Jika menilik soal cerita dapat dikatakan kedua film
berada di level yang sama, tie, seri, namun pada bagian presentasi The Double berhasil mengalahkan rekannya
tersebut, sebuah studi tentang sisi gelap jiwa manusia yang dikemas sama
tajamnya namun dengan dinamika cerita yang lebih hidup.
Ya, ini lebih hidup, dan ini lebih menyenangkan. Richard Ayoade berhasil menggabungkan
atau merangkai berbagai materi yang dihasilkan isu doppelganger itu kedalam
sebuah narasi yang dinamis bersama Avi
Korine. Setting visual yang sejak awal terus berteman dengan suasana gelap
dan temaram untuk mendorong kesan moody, menjaga semua materi tetap sederhana
sehingga mudah untuk diakses dan dinikmati, namun disisi lain juga cerdik
mewarnai cerita dengan hal-hal asyik tanpa harus menghancurkan power dari
paranoia yang ia tempatkan di posisi terdepan. Bersama fisik dan mental yang
telah terisolasi pada sosok Simon kita akan diajak untuk ikut curiga, ikut
cemas, terus merasa tegang sejak awal hingga akhir meskipun sering ditemani
dengan tawa.
The Double berpeluang memperoleh label sebagai sebuah presentasi
dangkal dari isu potensial, namun Richard
Ayoade berhasil memetik buah positif dari keputusannya untuk tidak menjadikan
The Double tampak rumit. Ini seperti
melihat Maurice Moss sedang menjadi
sutradara, tidak mau bermain-main dengan hal rumit yang berpotensi
menjadikannya tampak palsu, dan memilih untuk membentuk dunia masa depan fantasi
miliknya itu dengan mengandalkan kebebasan dalam style. Ada fokus yang tajam
pada pesan utama yang ingin ia bawa, namun disisi lain dibalut bersama black
comedy dalam irama off-beat yang
renyah dan lucu membentuk kekacauan canggung yang terus mampu menebar pesona
dan rasa penasaran yang misterius sekalipun sejak awal ia tidak pernah
menjadikan konflik utama tampak seperti sebuah misteri.
The Double tidak membawa penontonnya menuju jawaban atas
pertanyaan. Memberinya status sebagai sebuah studi karakter juga sulit, mungkin
sebuah observasi dari psikologi manusia yang perlahan menuju jurang kehancuran
karena keputusan buruk yang ia lakukan, masih dilengkapi dengan penggunaan isu
idealisme dan rasa percaya seperti yang pernah ia bawa di Submarine. Ya, ini mungkin bukan sebuah lompatan yang besar dari Richard Ayoade tapi ada sebuah rasa
puas ketika sosok yang saya kenal dari IT Crowds ini secara perlahan mulai
mampu membangun image yang ia miliki. Membentuk rasa putus asa dan kebingungan
pada cerita dan karakter secara mumpuni, namun tetap tampil bebas bahkan liar
di bagian lain, tampil eksperimental menggunakan hal-hal standard dalam gerak
dan timing yang cekatan dan juga tepat.
Kinerja aktor juga berperan penting dalam menjaga daya
tarik. Aktor pendukung seperti Wallace
Shawn, Yasmin Paige, Noah Taylor, Kobna Holdbrook-Smith, Jeanie Gold,
hingga Sally Hawkins memang mampu
membentuk tekanan disekitar karakter utama, namun kinerja Jesse Eisenberg yang punya peran paling besar dalam menjaga aliran
skenario. I’m not Jesse Eisenberg super
big fan, namun berikan dia dialog panjang maka ia akan menghadirkan pesona
yang mengesankan. Richard Ayoade paham akan hal itu, dan Simon serta James
sukses menampilkan potret perjuangan internal lewat gejolak jiwa penuh
kegelisahan yang memikat. Bahkan dengan tampilan serupa penonton dapat
membedakan Simon dan James, semua berkat karakterisasi yang kuat dari Jesse. Mia Wasikowska sendiri mampu menampilkan
kehangatan yang dingin, namun kurang dimanfaatkan lebih jauh.
Overall, The
Double adalah film yang memuaskan. Ini bukan 93 menit yang berisikan proses
pengungkapan jawaban atas sebuah misteri, The
Double hanyalah sebuah observasi pada gejolak emosi atau psikologi manusia pada krisis identitas yang ia bangun secara perlahan dengan menggunakan malapetaka yang dihasilkan
lewat konsep doppelganger. Sejak awal hingga akhir terus dijaga untuk serius
tapi santai oleh Richard Ayoade, The
Double sukses menjadi sebuah kombinasi hiburan yang menyenangkan, hal teknis seperti visual dan
suara yang terus mencuri atensi, kinerja aktor yang efektif, mempermainkan
pikiran dengan cara yang ringan bersama black comedy yang kuat, dan dengan
sikap menjaga api ketegangan terus kecil dalam narasi cekatan diakhir ia mampu
menghadirkan pesan yang ia usung dalam bentuk yang tajam. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment