Tentu saja ada sebuah rasa senang ketika selesai
menonton sebuah film ada point menarik yang dapat kita bawa pulang. Namun hal
tersebut faktanya bukan menjadi sebuah hal yang wajib, harus, dan mesti hadir
dalam komposisi yang kuat pada sebuah film, karena memperjuangkan hal tersebut
dapat membunuh potensi yang dimiliki untuk dapat menjadi sebuah hiburan bodoh
yang menyenangkan. Hal tersebut dialami oleh film ini, Brick Mansions. To make a “good” movie you need a “good” story.
Setelah mengalami kebangkrutan dan kekacauan massal,
lima tahun kemudian pada tahun 2018 kota Detroit
digambarkan telah menderita lebih parah akibat bencana tersebut. Bangunan
pencakar langit dan kehidupan mewah memang masih eksis, namun disisi lain telah
berdiri sebuah kota kecil didalamnya, sebuah kawasan penuh kriminal yang
dibatasi dengan dinding pembatas berukuran raksasa bernama Brick Mansions. Kaum ghetto
itu berada di bawah pimpinan pria bernama Tremaine
Alexander (RZA), yang bersama pasukannya suatu ketika berhasil menciptakan
masalah baru bagi walikota dan staff pemerintahan.
Tremaine berhasil memperoleh sebuah bom yang hendak ia
gunakan sebagai bentuk perlawanan dari upaya pemerintah kota Detroit untuk
membongkar dan membersihkan Brick Mansions. Untuk mengatasi hal tersebut
pemerintah menunjuk seorang detektif bernama Damien (Paul Walker), ditugaskan masuk kedalam Brick Mansions
untuk menjinakkan bom dengan timer yang terus menghitung mundur, bersama
seorang kriminal lokal yang dianggap mengerti seluk beluk lokasi tersebut, Lino Dupree (David Belle), pria yang
juga berupaya menyelamatkan mantan kekasihnya, Lola (Catalina Denis).
Ada yang mengatakan kau tidak bisa menaruh ekspetasi
yang begitu tinggi dari film dengan “tipe” seperti ini, namun faktanya hal
tersebut sedikit sulit untuk dijauhkan dari terlebih jika menilik nama-nama
yang ambil bagian didalamnya. Tunggu dulu, bukan RZA tentu saja, tapi kehadiran
kembali Luc Besson untuk menangani
kisah yang pernah ia bentuk pada District
13 dan District 13: Ultimatum,
ikut sertanya Robert Mark Kamen yang
menjadi sosok dibalik stupid fun bernama Transporter
dan Taken sekuel dan film series,
kemudian juga munculnya nama ahli parkour David Belle untuk bertransformasi
menjadi versi Amerika dari Leïto, well,
ini tampak cukup menjanjikan pada awalnya terlebih dengan bantuan dari trailer
yang dipenuhi gerak cepat dan tangkas itu.
Tapi setelah berjalan sedikit jauh dari garis start, Brick Mansions berubah dari potensial
menjadi impotent. Tidak hidup, daya tarik yang ia miliki bukannya terus
bertarung untuk mendaki mendekati angka sepuluh namun terus menerus berusaha
untuk menjauh dari angka nol. Tentu saja ini style over substance, tapi bukankah dua hal tersebut tetap
membutuhkan dukungan satu sama lain? To make a good movie you need a good
story, dan Brick Mansions tidak
punya itu. Berantakan, canggung, mempertahankan nafas cerita hanya dengan
bermain-main bersama aksi melompat antar dinding yang celakanya kurang mampu
tampil sama menariknya dengan pendahulunya satu dekade yang lalu itu.
Menarik, aksi parkour itu memang menarik, tapi dengan
cerita yang tidak punya tujuan dan motivasi yang kuat, ditemani dengan karakter
stereotype yang rapuh, perjuangan yang kini dipersempit menjadi hitungan jam
yang dimaksudkan untuk menjadi penggambaran kaum bawah terhadap para penguasa
ini lebih tampak seperti sebuah rangkaian yang terputus-putus, kumpulan
berbagai scene sebagai arena show-off memanjakan mata. Adegan perkelahian
dibumbui slow-motion, penggunaan ledakan dan aksi tembak, dan juga hal wajib
seperti aksi kejar-kejaran menggunakan mobil, mereka disatukan bersama efek
murahan dan juga lelucon standard yang di eksekusi setengah hati. Luc Besson dan rekan-rekannya seperti
mencemooh penonton seraya berseru “ini yang kalian cari, bukan?”
Benar, itu yang penonton cari, namun dengan tampilan
yang hidup bersama ketegangan yang mumpuni serta sisi lucu yang menyenangkan.
Tapi yang diberikan Camille Delamarre
justru sebaliknya, sebuah penggambaran dari isu terkait kesenjangan sosial yang
dipenuhi perputaran monoton dan membosankan, bergerak karena bantuan adegan
aksi bersama karakter yang tampak terus bingung dengan tujuan utama mereka,
permainan plot tipis dalam narasi pemalas yang tidak berkembang tanpa pressure
yang mumpuni dari salah satu arah yang mampu menghadirkan rasa bahaya dalam
cerita, sudahlah gagal ketika mencoba tampil inspiratif dengan komentar sosial,
ia juga gagal untuk memberikan kesan badass yang sering kali lebih terasa
menjengkelkan.
Dari divisi akting tidak dapat dipungkiri Paul Walker menjadi fokus utama atensi,
tapi sudah menjadi sebuah informasi yang umum bahwa aksi Paul di luar Fast and
the Furious lebih sering tampil kurang standout jika tidak ingin disebut
unimpressive. Hal tersebut kembali hadir disini, karakter Paul Walker seperti
sebuah boneka yang dilempar kesana kemari dengan sebuah bekal memori masa lalu
yang tidak pernah dimanfaatkan dengan baik. Ia bahkan terkesan sebagai
pendamping bagi David Belle yang
setidaknya mampu sedikit tampil menarik dengan adegan parkour itu. RZA sendiri menjengkelkan, bukannya
memakai cara standard namun justru mencoba terlalu keras untuk menjadi penjahat
yang tenang dan elegan, dan itu gagal.
Overall, Brick Mansions adalah film yang tidak memuaskan. jika anda bertanya potensi film
ini masih memiliki hal tersebut, ini dapat saja menjadi petualangan dangkal
yang lucu dan menyenangkan, namun tanpa bekal cerita yang kuat penonton seperti
tidak punya ruang untuk ikut berjalan dalam cerita, hanya sebatas menikmati hiburan
visual yang sayangnya juga cukup seimbang ketika berbicara berhasil dan gagal,
sehingga sulit untuk klik dalam cerita tanpa pressure itu, menjadikan kisah
yang mencoba sangat keras untuk tampak badass ini seperti sebuah tamasya
karakter rapuh dalam sebuah labirin untuk mencari jalan keluar.
0 komentar :
Post a Comment