Matanya terus melirik
kearah lampu lalulintas ditengah himpitan kerumunan orang yang berbaris dengan
rapi di tepi jalan, dan disaat lampu hijau bagi pejalan kaki itu menyala dengan
langkah sigap tubuh mungil yang seolah tenggelam dalam jaket musim dingin berwarna
biru muda itu berlari kecil menuju seberang jalan yang telah berwarna merah
muda akibat sekumpulan cherry blossom yang kembali beraksi. Dikeluarkannya
smartphone dengan case berwarna hijau dari dalam sakunya, dan sosok manis itu
mulai mengetik bersama senyuman yang tidak pernah hilang sejak ia meninggalkan
kantornya. “I’m on my way hun,” ketik-nya dengan jari yang bergerak dengan
lincah, namun ketika opsi send itu telah ditekan kalimat tadi ternyata telah
berubah menjadi “Aku menuju kesana sekarang.” “Hmm,” isi balasan yang ia
terima. Prediksinya benar.
--------*--------
Ia melambai dengan
tingkah riang ketika telah melewati pintu masuk, dan melihat bahwa sosok yang
ia ingin temui telah berada di spot favorit mereka.
“Mengapa kau begitu lama?” tanya pria
berkacamata yang tampaknya telah gerah, terlihat dari jaket hingga vest yang
telah terbaring berantakan diatas kursi disampingnya.
“Maaf, “ jawab wanita
itu dengan senyuman. “Kau mau minum apa?” tanyanya lagi dengan nada sopan.
“Aku sudah pesan
kopi. Dan asal kau tahu saja itu order ku yang kedua,” jawab pria itu dengan
nada ketus dan pandangan terus menatap tablet yang berada ditangan kanannya.
“Oke, aku mau order
dulu ya.” Wanita itu berlalu menjauh dari kursi yang berada di pojok ruangan
dengan kaca besar yang memberikan akses untuk melihat kondisi di luar ruangan.
“Bagaimana rencanamu
hari ini? Berjalan lancar?” tanya wanita itu setelah kembali sambil membuka
jaketnya.
“Kau kenal dengan
Mr.Andrew, Sof? Bapaknya Nathan teman kita. Ternyata dia pemimpin perusahaan
yang mau berinvestasi di proyek terbaru kami. Serius banget dia Sof, sampai
nanyain hal detail yang awalnya tidak kami prediksi sama sekali. Udah gitu…”
kalimat demi kalimat terus keluar dari mulut Jerry yang dengan bersemangat menceritakan
pengalamannya tadi pagi pada Sofie yang mendengarkan dengan antusias
dihadapannya, terus tersenyum dengan tekun, memberikan pendapat ketika
diperlukan, dan tertawa ketika ada hal lucu yang muncul dalam pembicaraan
mereka.
“Berarti kamu malam
ini tidak kerja lembur kan? tanya Sofie dengan gerakan tubuh setengah menggoda.
“Aku kabari lagi
nanti” jawab Jerry.
“Aku juga lagi senang
banget hari ini,” ujar Sofie. “Kamu mau tahu kenapa?” tanyanya lagi.
“Hmmm,” jawab Jerry
dengan mata terpaku pada layar dan tangan kirinya meraih cangkir kopi.
“Ah, rahasia. Nanti
surprise-nya bisa jadi tidak menarik,” jawab Sofie dengan senyuman licik.
“Oh, oke, kalau
begitu aku pergi dulu, jam istirahat udah habis,” jawab Jerry dengan cepat
sembari memakai jaketnya, memberikan kecupan kecil di kening Sofie, dan berlalu
begitu saja tanpa banyak basa-basi setelah mengatakan kata bye.
Sofie tidak
bergeming, hanya ada senyuman dengan pipi yang merekah serta mata penuh
kelembutan yang memenuhi wajahnya, terus fokus memperhatikan pria miliknya
berjalan menjauh dari pandangannya. Namun ketika Jerry hendak membuka pintu,
Sofie meneriakkan sesuatu.
“Jangan lupa rencana
dinner kita,” katanya dengan suara sedikit kencang, dan kembali tertawa kecil
meskipun hanya mendapatkan respon berupa senyuman kecil dari Jerry yang
melintas di sebelah kaca tempat mereka duduk tadi.
Setelah seorang diri
dan memilih untuk menikmati teh miliknya, seorang wanita datang kearah Sofie,
“maaf, temannya pria tadi ya?” tanya wanita itu.
“Iya benar, ada apa?”
tanya Sofie.
“Maaf, pria tadi
belum bayar,” jawabnya.
Hadir senyum kecil di
wajah Sofie karena merasa lucu hal itu. “Oh, iya, nanti saya
ke kasir ya,” jawab Sofie.
“Oke,” jawab wanita
itu sembari menundukkan tubuhnya dan meraih sebuah pakaian dari bawah lantai.
“Ini mungkin punya pacar mbak tadi,” katanya seraya menyerahkan vest milik
Jerry kepada Sofie.
“Oh my, thanks ya
mbak,” sahut Sofie.
“Dari wajah serasi
banget mbak, pacarnya juga ganteng,” sahut wanita itu sambil tertawa kecil.
“Hush, he’s mine,
pergi sana,” jawab Sofie sambil melambaikan tangannya dengan wajah dipenuhi
senyuman.
--------*--------
Jika ia dapat
berbicara mungkin saja cincin berwarna silver yang melingkar di jari manis itu
akan melontarkan rasa kesalnya. Sudah sejam terakhir ia bersama smartphone
menjadi mainan Sofie, berputar-putar di jari hingga diatas permukaan meja,
menjadi objek bagi Sofie untuk mengalihkan rasa cemasnya apakah Jerry akan
pulang malam ini. Tidak jauh dari posisi ia duduk telah tersusun rapi dalam
posisi yang sangat tenteram dan romantis kumpulan makanan yang sangat lezat,
menciptakan pemandangan yang indah pada meja makan yang terletak tepat
disamping pintu kamar tidur itu. Sofie memang sengaja meminta ijin pada
pimpinan di kantor tempat ia bekerja untuk dapat pulang lebih awal. Tujuan
utamanya adalah untuk bekerja keras mempersiapkan hidangan makan malam di
apartemen milik Jerry.
Dua puluh menit
berselang terdengar bunyi klik dari arah pintu depan, dan secara perlahan
muncul Jerry dengan pakaian kantornya yang telah lusuh serta tas jinjing yang
tampak gemuk. Sebuah senyuman gelap dilemparkan Jerry kepada Sofie yang telah
duduk manis dengan tangan terlipat diatas meja, dan berlalu menuju kamar
tidurnya. Hal sederhana itu terasa lucu bagi Sofie, yang masih dengan kondisi
tersenyum berkata menggunakan suara sedikit keras, “pilih baju yang bagus ya
hun.”
Lima menit berlalu,
sepuluh menit berlalu, Sofie yang memutuskan untuk terus sabar karena ingin
merasakan momen kemunculan Jerry dari dalam kamar tidur akhirnya menyerah
dengan sikap sabarnya. Secara perlahan ia membuka pintu kamar tidur, tapi
bukannya mendapati Jerry sedang memilih baju yang akan ia pakai justru sebuah hal
mengecewakan telah memberikan kejutan bagi Sofie. Jerry telah tertidur pulas,
masih dengan menggunakan pakaian kerjanya yang mencerminkan kepribadian Jerry
yang sedikit freestyle, jas berwarna nila, celana berwarna hijau tua, dan kaus
kaki berwarna kuning SpongeBob.
Melihat situasi
tersebut Sofie terdiam cukup lama, rambut panjang berwarna hitam yang ia miliki
itu memang tergerai dengan indahnya menutupi wajah oval dan mungilnya, namun
telah hadir noda baru di bagian dada bajunya, noda akibat zat cair yang
berasal dari mata indah berwarna kecokelatan yang setengah jam sebelumnya masih
bersenang-senang bersama lesung pipit manis di pipinya.
“Jerry!!!!!” teriak
Sofie sangat kencang, suara yang tidak perlu waktu lama langsung membangunkan
Jerry dari tidurnya.
“What? Ada apa?”
tanya Jerry dengan nada kalut seolah telah lahir perang disekitarnya.
--------*--------
Tidak ada kalimat
yang terucap dari mulut Sofie, dengan langkah meyakinkan ia keluar dari dalam
kamar dan dengan balutan emosi tingkat tinggi mulai mencari jaket dan tas
miliknya. Melihat situasi tersebut Jerry bergegas bangkit dari tempat tidurnya,
dan dengan perasaan bingung mulai berupaya menghampiri Sofie yang masih terus
mencari dengan tangan yang juga coba mengikat tali di sepatu high heels
miliknya.
Hanya selangkah dari
pintu kamar tidur Jerry akhirnya sadar bahwa ia telah menciptakan kondisi buruk
lainnya, hal yang selama ini terus mewarnai hubungan asmaranya dengan Sofie. Ia
sadar ketika melihat ayam kaldu hingga steak sapi terletak diposisi tengah meja
makan, makanan favoritnya yang telah susah payah dibuat oleh Sofie.
“Hun, maafkan aku.
Maaf, aku kelelahan,” ucap Jerry sambil bergerak mendekati Sofie yang masih
bergelut dengan tali dan sepatu high heels yang sejak awal memang sengaja ia
gunakan untuk menemani dress warna merah yang sangat menggoda itu.
“Kau keterlaluan,
Jer,” sahut Sofie dengan suara yang terisak-isak. “Kau tidak pernah mau peduli
dengan beban yang aku dapatkan dari hubungan ini. Kau tidak tahu betapa
tersiksanya batin ku untuk terus berjuang bertahan dalam hubungan kita,”
sambung Sofie.
“Ya ya, aku tahu, aku
tahu, aku minta maaf. Ayolah, mengapa kau belum juga berubah, kau selalu
begini, suka membesar-besarkan masalah kecil seperti ini,” sahut jerry dengan
cepat.
“Membesar-besarkan
masalah kau bilang? Justru selama ini aku terus berusaha untuk menjaga agar
semua masalah besar yang kita punya tetap kecil. Tapi kau? Kau tidak melakukan
hal yang sama."
“Ayolah kita duduk
dulu, kita minum, kemudian makan,” jawab Jerry dengan tangannya yang belum
melepaskan cengkeramannya dari lengan Sofie.
“Kau pria bajingan
yang egois, Jer,” jawab Sofie lagi dengan sedikit gerakan memberontak berusaha
melepaskan tangan Jerry dari lengannya.
“Hey hey, jaga
ucapanmu, kenapa kau malah menyalahkan diriku? Apa salahku hun?” sahut Jerry
dengan cepat.
“Salahmu? Banyak!!
Kita sudah pacaran selama delapan tahun, apakah ini caramu untuk merayakan hari
anniversary kita? Apakah ini caramu mengucap syukur atas kesempatan yang masih
kau peroleh untuk dapat bersama orang yang kau cintai?” jawab Sofie sembari
bertanya.
“Tentu saja aku bersyukur,
kau tahu sendiri bagaimana sulitnya perjuanganku untuk mendapatkan cintamu.
Tapi kita sudah bersama selama delapan tahun, harusnya kau punya sikap
toleransi Sof. Aku punya pekerjaan yang menumpuk, aku berjuang bersama rasa
lelah bekerja untuk masa depan kita nantinya. Semua kulakukan karena aku
mencintaimu,” jawab Jerry dengan suara yang sangat tenang.
“Oke, kalau begitu
nikahi aku minggu depan,” balas Sofie dengan cepat dalam suara bernada tinggi.
“Apa?” jawab Jerry
dengan suara seolah bertanya di iringi senyum dan tawa kecil. “Bagaimana kalau
sekarang duduk dulu, kita lepaskan emosi, dan kita bicarakan lagi hal ini
nanti.”
“See, kau bilang aku
tidak berubah, sementara kau tidak sadar kau juga tidak pernah berubah sejak
delapan tahun yang lalu,” jawab Sofie dengan tangan yang masih berupaya
membebaskan lengannya.
“Beri aku jawaban
sekarang. Aku ingin besok orang tua kita bertemu dan minggu depan kita menikah.
Ya atau tidak?”, desak Sofie.
“Hahahahaha,” tawa
keluar dari mulut Jerry yang dalam sekejap merubah suasana hening didalam
ruangan yang telah tercipta sedari tadi.
“Tidak semudah itu
Sofie sayang, segala sesuatu itu perlu perencanaan yang matang sayang,” ujar
Jerry lagi dengan suara yang coba meyakinkan Sofie.
“Bullshit. Delapan
tahun kau belum juga merasa yakin, huh? Simple, kau cinta padaku atau tidak?”
tanya Sofie.
Jerry hendak
mengatakan ya, namun kata itu baru mampu hadir mendekati mulutnya lima detik setelah Sofie
menyelesaikan pertanyaannya tadi. Jerry terdiam sejenak, ada sebuah pertarungan
didalam wajahnya seperti sedang berpikir bagaimana cara terbaik dan paling aman
dalam situasi tegang itu untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang sayangnya
menciptakan respon lain bagi Sofie.
“Hahahaha, kau masih
ragu Jerry,” kata Sofie dengan tawa getir, “kau selalu ragu Jerry, kau selalu
ragu. Apa tujuanmu selama delapan tahun ini? Apa status yang kupunya selama
ini? Wanitamu atau bonekamu?” tanya Sofie yang masih terjerat dalam tawa kesal karena
tidak percaya melihat respon yang diberikan oleh Jerry.
“No no, bukan begitu
maksudku. Aku tidak ragu, tapi kau tahu pikiranku lagi padat, jadi,” “Banyak
alasan kau,” sahut Sofie memotong kalimat Jerry yang belum selesai itu.
“Lepaskan tanganku sekarang,” perintahnya lagi dengan tangan kanan yang mulai
berusaha melepaskan genggaman Jerry.
“Ah, sakit Jer. Apa
maumu? Lepaskan aku! Sakit bodoh!” teriakan yang mendadak hadir ketika Jerry
mulai memperkuat genggamannya.
“Oke. Oke. Kau boleh
pergi sekarang. Aku harap kau tenangkan pikiranmu, pakai logika yang kau punya
dan pikirkan apa manfaat yang kulakukan selama ini, dan kembali padaku ketika
kau telah sadar bahwa selama ini kau yang sebetulnya merasa ragu akan hubungan
kita, karena faktanya aku merasa kisah cinta ini masih berada di jalur yang
indah,” jawab Jerry dengan suara yang sedikit mengancam.
Sofie mengelus
lengannya yang telah berubah warna menjadi sedikit kemerahan itu, kemudian
langsung memakai jaketnya dan bergerak menuju pintu keluar. Tapi belum tiba ia
di depan pintu Sofie mendadak memutar arahnya dan kembali menuju Jerry
yang sedang melihatnya dengan senyuman
sombong. Dengan susah payah Sofie berusaha memutar cincin di jari manisnya,
meraih tangan Jerry dan kemudian menaruh cincin tersebut diatas telapak tangan
pria yang masih sangat ia cintai sepuluh menit yang lalu itu.
“Bukan aku yang harus
berpikir, tapi kau, gunakan otakmu yang cerdas itu, coba renungkan semua
tindakanmu padaku dan juga sebaliknya, apa yang telah terjadi selama delapan
tahun itu, dan yang paling utama, coba kau cari tahu sebenarnya apa yang kau inginkan dari
cinta?”
Copyright © 2014 by Rory Pinem
All rights reserved
0 komentar :
Post a Comment