"Humans are born, not programmed."
Anda pasti pernah mendengar prediksi yang mengatakan
beberapa puluh tahun dari sekarang manusia tidak hanya akan bersaing dengan
sesama manusia, melainkan juga teknologi yang mereka ciptakan. Positif dan
negatif hadir pada obsesi manusia untuk terus bergerak maju, eksplorasi ilmu
pengetahuan yang dapat menciptakan mahakarya namun dapat pula menghadirkan
bencana. Isu tersebut yang dibawa oleh film ini, mempermainkan simbiosis antara
manusia dan teknologi, seolah mengajak penonton untuk berseru “let’s set the
limit.” Transcendence, clever ideas in tangled structure. It should be a love
story.
Ambisius mungkin merupakan kata yang tepat untuk
menggambarkan Dr. Will Caster (Johnny Depp), sosok ilmuwan yang sudah sangat
terkenal dalam bidang teknologi komputer. Will bahkan belum berhenti, ia
berencana untuk membangun sebuah sistem komputer terbaru yang lebih kompleks,
menjadikan komputer memiliki kemampuan setara bahkan lebih hebat dari yang
manusia miliki, analitis dan kolektif, tingkat kecerdasan hingga emosi. Namun
ketika menjadi pembicara di acara yang di prakarsai oleh istrinya, Evelyn
(Rebecca Hall), hadir sebuah pertanyaan yang mewakili segala kontroversi yang
telah eksis.
Apakah Will mencoba bermain-main dengan Tuhan? Isu
tersebut ternyata telah menjadi kontroversi besar dan terbukti dengan
perlawanan dari kelompok RIFT yang dipimpin oleh Bree (Kate Mara), melancarkan
sebuah aksi yang sukses menghentikan rencana milik Will tadi. Celakanya Evelyn
bersama rekannya, Max Waters (Paul Bettany), mengambil sebuah langkah berani
untuk menyelamatkan suaminya, keputusan yang memberikan dampak positif dan juga
negatif, salah satunya rasa cemas dari berbagai pihak termasuk pemerintahan
yang diwakili Donald Buchanan (Cillian Murphy) dan Joseph Tagger (Morgan
Freeman).
Sebenarnya sinopsis atau premis yang dimiliki oleh
Transcendence jauh lebih menarik dari apa yang dijabarkan tadi, namun ada
alasan mengapa itu sengaja dibuat agar tampak luas karena nilai
positif terbesar dari kisah yang ditulis oleh Jack Paglen ini hanya berada pada
sinopsis yang ia punya. Sangat potensial untuk menghadirkan provokasi yang
dapat berkembang menjadi berbagai hipotesis tanpa interpretasi liar di pikiran penontonnya, namun
berbagai aksi ceroboh yang dilakukan oleh sang sutradara, Wally Pfister, yang
kemudian menutup jalan bagi Transcendence untuk meraih kemungkinan terbaik yang
ia miliki. Ditangan sinematografer langganan Christopher Nolan ini
Transcendence tampil seperti kekurangan nyawa, ibarat sebuah thriller tanpa thrill.
Yap, datar, permasalahan utama terletak pada cara
Wally Pfister membangun struktur penceritaan. Menaruhnya dalam kalimat
sederhana: tidak ada alur penceritaan yang cekatan. Ambisi besar dapat terlihat
disini, ketika cerita yang mengangkat teori singularitas itu seperti di set
untuk menjadi arena dalam menyampaikan berbagai pesan yang ia bawa dengan cara
yang elegan, memilih untuk menekan tempo menjadi sedikit perlahan dan kemudian
menemani berbagai plotline yang seolah tersesat dalam gerak tanpa motivasi yang
kuat. Terus menerus kisah ini seolah dibuat agar tampak rumit, tampak kompleks,
padahal dari tema besarnya saja pesan terkait bahaya yang ditimbulkan oleh
perkembangan teknologi itu sudah dapat tergambarkan dengan jelas.
Hasilnya, minim unsur "fun", hanya berbagai
potongan kecil yang terkadang berisikan kritik, terkadang juga menjadi arena
show-off, bersatu dalam gerak lesu ditemani dengan visual yang secara
mengejutkan juga tampil cukup lesu. Hal tadi tidak salah jika sejak awal ini dicanangkan sebatas hanya
ingin menjadi sebuah drama reflektif, tapi Transcendence punya salah satu
perpaduan combo terbaik, sci-fi, misteri, drama, bahkan ia juga menyebut
dirinya sebagai thriller, tapi cara ia berjalan merupakan sebuah kesalahan.
Harus diakui Wally Pfister berhasil menciptakan sisi serius dari cerita yang
mungkin banyak ia peroleh dari Nolan, namun tidak ketika ia meleburnya kedalam
sebuah dinamika bercerita, kusut, terkadang seperti terputus, bahkan sering
kali inti permasalahan utama itu sendiri seolah hilang dibalik kehadiran berbagai konflik
pendukung.
Sulit untuk tidak mengikutsertakan ini, namun Wally
Pfister melakukan kebalikan dari apa yang Spike Jonze berikan di Her. Jonze
memegang tema besar dengan kuat, dan menjadikan hal-hal kecil sebagai pemanis
untuk memperkuat dan memperkaya cerita tanpa menghilangkan korelasi, sedangkan
Wally Pfister lupa mempertahankan kekuatan inti utama, sibuk mempertajam pesan
yang sederhana, dan sayangnya mayoritas dari mereka dikemas secara
terburu-buru. Bahkan uniknya perjuangan dengan tema cinta terkadang terasa
lebih menarik karena dikemas secara sederhana jika dibandingkan dengan tech
material yang padat itu, sebuah pernikahan lengkap dengan kegagalan dan
kehilangan serta perjuangan yang bertarung dengan rasa putus asa.
Satu hal krusial lain juga hadir, karakter hampa emosi
yang menemani cerita, kekurangan semangat dalam narasi yang lemah dan perlahan
mulai terpecah itu. Untung saja kinerja para aktor dapat meminimalisir nilai
minus Transcendence. Tidak ada jaminan kepuasan bagi mereka yang menonton hanya untuk menyaksikan Johnny Depp, walaupun chemistry tentang cinta yang ia bangun bersama
Rebecca Hall mampu menjadi hal paling menarik dari film ini. Nama terakhir
secara mengejutkan menjadi bintang utama, tidak megah namun Rebecca sanggup
menjaga unsur drama yang minim itu untuk hidup dan mencuri atensi ditengah
himpitan misteri disekelilingnya. Koneksinya dengan Paul Bettany juga cukup
baik, aktor yang bersama Morgan Freeman, Cillian Murphy, dan Kate Mara lebih
sering bergerak random tanpa motivasi.
Overall, Transcendence adalah film yang kurang
memuaskan. Dari sini kita akan semakin di ingatkan pada bahaya yang dihasilkan
teknologi, namun apakah ini meningkatkan rasa waspada? Tidak, karena penonton
tidak diajak ikut berjalan dan lebih diposisikan sebagai pendengar dari sebuah
dongeng. Ide yang cantik namun gagal tampil sama cantiknya akibat eksekusi yang
kurang solid, sering kehilangan momentum akibat terlalu berupaya untuk tampil
megah, untuk tampak rumit dan kompleks, sehingga power inti utama itu terasa
minim, bahkan lebih sering kehilangan posisi utama dari kisah cinta yang
sederhana itu.
Wah saya kira keren film ini...
ReplyDeletePadahal ada campur tangan si nolan y..?
For bang rory : keep posting review film2 keren ane penggemar ente bang....
Dicoba saja, siapa tahu sisi romance nya bisa memuaskan, karena saya bukan bagian kaum pecinta sci-fi yang “pintar”, jadi ketika dicampur terasa datar. :)
DeleteThanks. :)
ini film keren (kok)...
ReplyDeletemnurut saya,poin dr film ini,gimana kita tidak melulu me-nuhan-kan teknologi.kemana-mana dibersamai oleh sosial media.sampai-sampai sosial media lebih tau tentang kita.
kemana-mana slalu dibersamai suaminya yg sbenernya sudah meninggal.gagal move on.
"slalu dibersamai"--> yaaa kaya skarang,gejet jadi pegangan yg gak lepas dr genggaman.kita merasa slalu bersama org-org di dalam gejet tersebut.melalui media chat.ataupun aplud2 kejadian2.
thankz
Bagi saya point (atau saya lebih suka menyebutnya “pesan”) itu hanya merupakan salah satu bagian dari pembentuk nilai keseluruhan sebuah film, masih banyak faktor lain yang berpengaruh, contohnya seperti akting hingga teknik narasi. Imo Transcendence hanya kuat di premisnya, cantik, kalau dipanjangin seperti yang kamu sebutkan diatas, tapi cara ia disampaikan itu yang datar dan loyo. :)
Deletesetuju dah sama ente, padahal aktornya bagus-bagus, ide ceritanya juga menarik, soalnya isu tentang AI lagi ngehits2nya di zaman teknologi yang serba terhubung. Tapi eh malah gini ya... hahaha ikut kecewa ane gan.
Delete