"You screw me, I screw you back."
Man is the
cruelest animal? No, wanita juga dapat
menjadi sama kejamnya, menciptakan sebuah ledakan dari amarah terlebih
mengingat mereka lebih dominan menggunakan perasaan ketimbang logika. Isu tadi
pada awalnya hendak dibungkus oleh film ini dengan menyatukannya bersama
penggambaran terkait kekuatan yang dimiliki wanita dalam sebuah rom-com yang
sayangnya justru berakhir menyedihkan ini meskipun diawali dengan menjanjikan. The Other Woman, stupid fun yang palsu
dan canggung. It’s not about girl power,
it’s mocking woman integrity.
Wajahnya memang tidak setampan Leonardo DiCaprio ataupun Brad
Pitt serta Tom Cruise, namun Mark King (Nikolaj Coster-Waldau)
merupakan salah satu bagian dari kelompok pria yang punya daya tarik sangat
besar sehingga mampu menjadikan para wanita dengan mudah jatuh kedalam
pelukannya. Salah satunya adalah Carly
Whitten (Cameron Diaz), seorang pengacara sukses yang terperanjat dalam
tangkapan pesona Mark yang seolah selalu memancarkan sinarnya. Namun ada satu
hal yang selalu sulit untuk Carly wujudkan, mempertemukan Mark dengan ayahnya
yang juga masih berjiwa muda, Frank (Don
Johnson).
Hal tersebut pula yang kemudian menjadikan Frank
memaksa Carly untuk bergerak, tidak hanya sebatas menerima penolakan dari Mark,
dan cara pertama yang ia lakukan adalah dengan mendatangi kediaman Mark serta
memberikan kejutan berupa role playing.
Celakanya justru Carly yang menerima kejutan, sumbernya adalah Kate King (Leslie Mann), wanita
berstatus istri dari Mark. Perundingan coba mereka bangun untuk mencari solusi,
namun sayangnya sebuah fakta lain dengan hadirnya wanita lainnya pada diri
wanita seksi bernama Amber (Kate Upton)
memaksa mereka untuk bergerak lebih jauh, aksi balas dendam.
Ekspektasi tentu saja telah dipasang cukup rendah,
namun The Other Woman secara mengejutkan
berhasil memberikan sebuah pembuka yang impresif dan kemudian memaksa ekpektasi
tersebut untuk berubah menjadi lebih tinggi. Sayangnya hal tersebut hanya hadir
di bagian awal, dan jika di rangkum secara sederhana kisah yang ditulis oleh Melissa Stack ini dibawa berjalan dalam
sebuah rollercoaster yang
mengasyikkan dibagian awal oleh Nick
Cassavetes, namun setelah itu selesai kemudian menjadi pusing dan
kehilangan arah. Klise, klasik, lupakan itu karena ada sebuah pertikaian yang
menarik di layar ketika masih berisikan Mark, Carly, Kate, dan mungkin juga Lydia (Nicki Minaj), tapi setelah Kate
Upton hadir semua berubah.
Don’t say “are you a perv?” to me, karena faktanya
payudara ukuran besar dengan bikini yang juga ketat itu memang sengaja dihadirkan
oleh Nick Cassavetes, dan sudah
menjadi tugas para pria untuk menikmati itu, yang sayangnya menjadi
satu-satunya nilai plus dari Kate Upton,
dan juga menjadi awal dari sebuah keruntuhan kisah tradisional yang
potensial. Cara tradisional diawal itu
secara gamblang berubah menjadi sebuah petualangan liar yang kerap terasa
stuck. Disini dapat terlihat jelas bahwa bahan yang dimiliki oleh Nick Cassavetes sangat minim, hanya
sebuah pondasi dasar sehingga menjadikan ia seperti bingung ketika hendak
mewarnai The Other Woman. Akibatnya
mayoritas yang ia berikan terasa tidak klik, seolah dipaksakan dan sering
terasa canggung.
Ini akan menjadi cukup menyenangkan jika hanya sebatas
menilik kinerja komedi, sayangnya dibalik itu Nick Cassavetes ternyata juga punya tumpukan misi lainnya. Hal
tersebut yang melukai The Other Woman,
kisah yang predictable itu seolah dipaksa untuk dapat pula menyampaikan pesan
yang celakanya cukup gemuk. Hasilnya dengan kesan hanya sebatas numpang lewat
mereka kerap mengganggu irama cerita, stuck, kehilangan energi, bahkan
kehilangan fokus. Tidak ada sebuah narasi yang terencana, semua hal menarik
dihabiskan di paruh pertama dan akibatnya setelah itu hanya berisikan proses
menunggu berisikan aksi panik, teriakan, serta tampilan putus asa bersama
alcohol. Ini yang menjadi kekecewaan, karena pada awalnya ada sebuah harapan
ini dapat menunjukkan bagaimana kekuatan para wanita atas pria.
“What, bukannya memang seperti itu, aksi balas dendam
dari wanita kepada pria.” Ya, secara garis besar, namun akibat dramatisasi yang
terkesan dipaksakan itu pula yang mengungkapkan nilai minus lain dari The Other Woman, sebuah penggambaran
dari sisi lemah wanita. Tentu saja ini happy ending dengan pemenang yang sudah
dapat ditebak, namun visualisasi yang sebelumnya hadir justru terasa jauh lebih
menarik, ketika cerita masih memiliki isi. Sering kali hadir tawa bukan karena
komedi yang ia berikan terasa lucu, namun karena menyaksikan empat orang wanita
yang duduk dibarisan depan dapat tertawa ketika menyaksikan karakter wanita
tersiksa dalam kondisi menyedihkan. “Ah, ini komedi, jangan terlalu
serius.” Yeah, I know, tapi sayangnya setelah si big boobs itu hadir yang
menarik hanya isu tersebut.
Sesungguhnya berbagai nilai minus tadi dapat
terhapuskan hanya dengan satu hal sederhana, karakter yang mampu menarik
simpati dan empati penontonnya. The Other
Woman tidak punya itu, karakter hampa menemani penceritaan berisikan kisah
persahabatan dan persaudaraan yang berkembang bersama tujuan yang menemukan
hambatan, tampil manipulatif yang menyebabkan hadirnya kesan palsu, setengah
hati pada dua elemen utama, melodrama untuk menunjukkan kerapuhan emosi tanpa
mengikutsertakan sebuah sensitifitas yang mumpuni, kemudian menggunakan komedi slapstick
dalam upaya mengundang tawa yang sayangnya hanya bekerja pada Leslie Mann.
Yeah, Leslie
Mann steal the show, dan jujur saja menjadi faktor utama yang menyelamatkan
The Other Woman untuk menjauh dari
status sebuah komedi membosankan. Ada tingkah lucu yang mengasyikkan dari
Leslie Mann, ada tingkah riang hyper dalam kemuraman dan kekacauan yang kuat
darinya, rasa kesal dan juga rasa cinta juga mampu tergambarkan dengan baik,
jauh lebih liar dibandingkan ketika berada dibawah kendali suaminya, Judd Apatow, di This is 40. Kate King
beat Debbie. Sayangnya ia tidak klik
dengan dua rekan lainnya, Cameron Diaz
terasa statis, tipis dan minim pesona, Nikolaj
Coster-Waldau minim kesempatan, sedangkan Kate Upton seperti terlupakan setelah adegan slow-motion layaknya Baywatch itu. Don Johnson yang justru sering mencuri perhatian dengan gaya
eksentriknya. And do we need to talk about
Nicki Minaj?
Overall, The
Other Woman adalah film yang kurang memuaskan. Ini seharusnya menjadi arena
show-off bagi isu utama ketika para wanita menunjukkan daya yang ia miliki atas
kaum pria. Tapi bahan yang tipis menciptakan sebuah batasan yang tipis pula,
sehingga ketika Nick Cassavetes menghadirkan
berbagai hal yang tidak bekerja dengan baik dalam momentum berantakan nilai
minus itu hadir lewat berbagai hal seperti karakter yang lemah, punchlines
yang mati, fokus yang kehilangan arah, hingga usaha yang terlalu dipaksakan
pada unsur drama yang melelahkan, meskipun aksi Leslie Mann telah memberikan nilai plus yang cukup besar. Isu utama
itu berputar arah, bukan menjadi sebuah petualangan girl power melainkan
menjadi sebuah tamparan bagi sisi lemah para wanita.
0 komentar :
Post a Comment