"It's not programming, it taught itself."
Film dengan tema human versus technology sepertinya
berpotensi besar untuk mulai menjadi wabah baru beberapa tahun kedepan, formula
dan isu yang familiar, hal utama yang membedakan mereka satu sama lain adalah
seberapa mampu eksekusi itu meninggalkan kesan yang kuat, salah satunya mungkin
dengan kemampuan mereka meningkatkan rasa waspada dan menjadi alarm bagi
kreatifitas manusia yang semakin merajalela. Ini mungkin tidak akan terlihat megah
namun ia mampu melakukan hal penting tadi. The
Machine, a satisfying contemporary sci-fi.
Di masa depan pertempuran akan semakin sengit, dari
ranah ekonomi hingga angkatan bersenjata, tidak hanya melibatkan Amerika Serikat dan negara pencipta
nuklir lainnya, namun juga telah menyelipkan negara-negara potensial untuk
menjadi seperti China dan Rusia. Hal tersebut yang kemudian
meningkatkan rasa waspada salah satu negara di belahan bumi lainnya, Inggris, dengan sebuah keputusan
controversial dari Departemen Pertahanan untuk menciptakan robot yang bukan
hanya menjadi daily assistant, melainkan juga sebagai prajurit pembunuh.
Seorang ilmuwan computer bernama Vincent
(Toby Stephens) ditunjuk sebagai pemimpin proyek yang berencana untuk
menyempurnakan kembali sistem implant otak yang mereka punya. Pemimpin mereka, Thomson (Denis Lawson), juga semakin
tersenyum lebar ketika keputusan untuk merekrut Ava (Caity Lotz) juga semakin memperkokoh rencana yang telah ia
susun. Namun Ava pula yang menjadi sumber terganggunya rencana tersebut,
bermula dari ketika ia mempertanyakan tujuan utama program penelitian tersebut
hingga membuka fakta lain yang terkait hubungan keluarga serta kontak batin.
Memang akan menjadi sesuatu yang basi jika hanya
menilik premis yang ditawarkan sci-fi thriller asal Inggris ini, The Machine punya inti yang sama dimana
isu yang coba dilemparkan oleh Caradog W.
James juga bermain pada power technology atas manusia sebagai pencipta
mereka, namun dibalik kesan sederhana yang telah ia pegang sejak awal The Machine secara mengejutkan justru
mampu menggambarkan berbagai gejolak yang mungkin akan terjadi pada dunia
technology. Tidak hanya itu, tapi ada nyawa disini, sebuah kehidupan dalam
cerita yang menjadikan penontonnya seolah merasa mereka menjadi bagian dalam
permasalahan.
Hal ini memang tidak bisa dibuang terlebih dengan
menilik tanggal rilis mereka yang berdekatan, secara kualitas The Machine
berada diatas film sci-fi dengan tema serupa yang punya budget besar bernama Transcendence, semua berkat hal kecil
yang dijelaskan diatas tadi. Ada sikap berani yang ditonjolkan oleh Caradog W. James disini, ia tidak takut
untuk menggunakan berbagai hal yang mungkin sudah terlalu akrab bagi
penontonnya, namun kemudian ia olah dengan pendekatan yang cerdik sehingga
memberikan penceritaan yang terasa segar meskipun tetap tidak mampu menghapus
kesan manipulatif. Ya, selamat dari kehancuran karena ide-ide yang umum itu
dikemas dengan tajam dan fokus dalam dinamika cerita yang mengalir dengan baik.
Dari proses penciptaan, kemudian bermain-main dengan
elemen pembantu seperti rasa ingin tahu bersama kegelisahan yang mumpuni,
hingga akhirnya masuk ke babak akhir dengan template dan materi klasik seperti
melodrama menggunakan cinta dan keluarga, mereka di urai atau dibangun dengan
tepat sehingga menciptakan kesan padat yang selalu mampu mempertahankan tensi
dari permasalahan yang predictable itu. The
Machine juga punya level yang memikat pada rasa intim yang ia hadirkan,
yang kemudian banyak membantu karakter untuk secara konsisten terus menjadi
fokus utama dan dapat bergerak bebas dan lepas dalam mempertunjukkan skenario simple yang seolah terus berupaya
menjauhkan dirinya dari kesan eksploitatif itu.
Yap, ada sebuah potensi yang menyeramkan tapi tidak
coba untuk digali lebih dalam. Namun tampaknya memang Caradog W. James sejak awal tidak mau untuk masuk ke area tersebut,
menjaga ini hanya bermain-main dalam isu luas dan menendang jauh-jauh hal-hal
seperti dialog berlebihan yang dapat menjadikan cerita terasa rumit dan
kompleks. Hasilnya, bersama sinematografi yang cukup baik serta score bernada
berat yang penuh misteri itu tercipta gerak cepat yang tampil baik dan juga
terasa dinamis, momentum yang terjaga dengan baik sehingga menciptakan ruang
bagi para aktor untuk menampilkan akting mereka juga faktanya juga banyak
menjadi penopang film ini pada sisi visual.
Toby Stephens adalah pemeran utama, dan kemampuannya dalam
mendorong maju cerita menggunakan berbagai dilema yang satu persatu hadir dapat
dikatakan cukup baik. Denis Lawson
mampu menghadirkan tekanan, serta Pooneh
Hajimohammadi bersama karakternya Suri berhasil menjadi sisi lain misteri
pada cerita dengan suara aneh yang ia dan kawanannya miliki. Tapi bintang
utamanya adalah Caity Lotz. Tidak
fantastis, tapi impresif. Ada kecerdasan dan juga kehangatan yang secara cepat
membangun jembatan koneksi karakternya dengan penonton. Transisi yang ia bangun
juga baik, dari sosok cerdas menjadi robot kaku dengan kinerja fisik yang
mumpuni.
Overall, The
Machine adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah sci-fi yang berani,
mengusung konsep sederhana yang terus dijaga agar tampil sederhana tanpa mau
berupaya untuk tampil rumit dan kompleks. Kurang ambisius? Justru tidak, karena
dengan membuang hal-hal tadi Caradog W.
James mampu menghadirkan isu utama terkait bahaya teknologi secara kompeten
dengan ketajaman yang memikat. Surprisingly
good.
jelek ini film mas... :(
ReplyDelete