"Love dies. Only
if you kill it."
Bukankah sesuatu
yang indah ketika melihat sepasang kakek dan nenek berjalan berdampingan
sembari bergandengan tangan dengan mesra. Indah karena mereka dapat
mempertahankan cinta yang mereka punya dalam jangka waktu lama, komitmen yang
pernah mereka buat ketika mengucapkan janji suci, saling berkorban untuk
menjadikan pernikahan itu terus bekerja dan tidak mati. Hal manis tadi
digambarkan film ini dengan menggunakan gesekan menyenangkan, Le Week-End, a sweet and mature marriage
dilemma. Before Midnight lite.
Ada ekspresi
berisikan keluh dari wanita tua bernama Meg
Burrows (Lindsay Duncan) ketika menanyakan pria yang duduk disampingnya
apakah telah mengambil uang euro. Pria tersebut bernama Nick Burrows (Jim Broadbent), yang ketika sadar bahwa ia memang
belum mengambil uang langsung bergerak, namun setelah itu tidak langsung
kembali ke tempat duduknya melainkan menyendiri di ruang lain di kereta api.
Pasangan yang keduanya berprofesi di bidang pendidikan itu telah menikah selama
30 tahun, sedang menuju Paris untuk
merayakan ulang tahun pernikahan mereka dengan mengenang kembali memori masa
muda mereka.
Yang menjadi
masalah adalah misi mereka tidak sepenuhnya sama. Nick sejak awal telah berniat
untuk membangkitkan kembali gairah cinta mereka yang kini telah terasa dingin,
namun disisi lain Meg justru masih ditemani dengan rasa bosan yang ternyata
telah eksis lama di pernikahan mereka, dan berupaya keluar dari situasi itu
dengan cara yang berbeda. Dari taksi, memilih hotel, memilih tempat makan,
hingga bertemu dengan pria bernama Morgan
(Jeff Goldblum), perjalanan yang diharapkan menjadi bulan madu terbaru itu
justru berubah menjadi petualangan penuh gesekan antara dua orang dewasa yang
saling memeriksa jiwa mereka.
Mengapa diawal
tadi ada kalimat Before Midnight lite, karena
memang tidak dapat dipungkiri kisah yang seolah bergerak tanpa tujuan dan
menampilkan kesan random ini akan langsung mengingatkan pada tema besar yang
serupa: marriage survival. Sangat
jelas disini tujuan utama yang dibawa oleh Roger
Michell dan Hanif Kureishi,
mengajak penonton untuk mengamati kekuatan cinta yang bekerja dalam sebuah
pernikahan yang telah berlangsung lama, dari rasa bosan yang telah berpadu
dengan sisi sensitif yang semakin tebal, gesekan penuh iritasi yang uniknya
terselip didalam sikap penuh komitmen, rasa sayang yang tetap hadir dibalik
rasa frustasi pada ekspresi wajah. Familiar.
Hal utama yang
menjadikan Le Week-End sukses menjadi
petualangan singkat yang menyenangkan adalah ketika kita memperoleh atau
memperdalam informasi terkait cinta tanpa terkesan sedang menghadiri kuliah
penuh ceramah yang terkadang memaksa dan monoton. Layaknya Notting Hill dan Morning
Glory, inti utama dipegang dengan kuat oleh Roger Michell dan kemudian kembali mengisinya dengan berbagai hal
lucu menjurus bodoh yang berhasil menjadi ruang bagi humor untuk mewarnai
cerita, hal-hal ringan yang dijaga dengan baik sehingga tidak melukai esensi
utama cerita. Kombinasi diantara mereka menjadikan observasi berisikan refleksi
dari kegagalan itu tersampaikan dengan lembut, sekalipun banyak dari mereka
terasa familiar dan terbentuk sedikit mentah.
Ya anggap saja
keputusan untuk tidak memperdalam tiap bagian kecil itu sebagai upaya dari Roger Michell untuk tidak memperkeruh
alur cerita, yang faktanya terbukti memberikan hasil positif. Hal yang
berpotensi mejadi minus itu dengan cerdik Roger
Michell tutup dengan memanfaatkan lingkaran setan yang dimiliki karakternya
dengan baik, sebuah siklus yang bertumpu pada sisi peka berisikan aksi tarik
dan ulur yang variatif, perkelahian yang dilanjutkan dengan perdamaian,
perdebatan penuh gelisah intim yang kemudian dilanjutkan oleh situasi lucu,
sedikit offbeat tapi terkesan natural dan hangat serta tanpa beban yang
menjadikan cerita terasa terus mengalir hidup dan terasa aktif.
Dibalik segala
perpaduan mumpuni yang ia miliki pada sisi teknis dan juga cerita, Le Week-End pada
dasarnya adalah sebuah studi karakter, dan Roger Michell patut berterima kasih
pada para aktornya, performa mereka memberikan nilai positif yang cukup besar. Semua hal tadi dapat bekerja dengan baik juga berkat
kinerja dari divisi akting yang sangat kuat, chemistry antara Jim Broadbent dan Lindsay
Duncan sangat hidup, ketidakpuasan atas pernikahan itu tergambarkan dengan
efektif, serius dan santai sama baiknya, Broadbent sukses menjadikan
karakternya menunjukkan ironi dari pernikahan, sedangkan Duncan dibalik sikap
tenang yang ia tunjukkan mampu mewakili manusia dengan kompleksitas yang mereka
punya. Yang mengejutkan disini justru Jeff
Goldblum, yang dalam waktu singkat menjadikan
karakternya menyampaikan apa yang ada dipikiran para penonton.
Overall, Le Week-End adalah film yang memuaskan.
Tidak ada yang baru pada materi yang dimiliki oleh genre ini, sebuah kisah
berisikan dilema pada pernikahan yang familiar, namun cara ia dibentuk kembali
yang menjadikan ini berhasil menjauh dari kesan sebuah presentasi basi. Intim
dan tajam bahkan terkadang terasa haunting, dikemas dengan santai dan ringan
lengkap dengan humor implisit yang mayoritas bekerja dengan baik. Beginilah
pernikahan, tawa dalam suka, namun juga ada dikala duka, masalah berisikan
gesekan pasti ada namun akan mudah teratasi dengan sikap berkorban dengan
komitmen untuk menjadikan cinta itu terus bekerja. You can’t not love and hate the same person. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment