"It's just your imagination playing tricks."
Tersesat ketika sedang menuju suatu tempat karena
kehilangan arah tentu bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi jika hal
tersebut telah didahului dengan rencana indah yang telah disusun dan sedang
menanti untuk diraih. Kasus sederhana itu yang coba ditawarkan oleh Jeremy
Lovering kedalam sebuah hiburan dangkal yang cukup menarik, debut layar lebar
dari sosok yang pernah ambil bagian di tv-series Sherlock, In Fear, when horror becomes psychological mindplay thriller.
Good chiller.
Lucy (Alice
Englert) sedang berada di dalam toilet sembari memperhatikan
sebuah kalimat yang tertulis di dinding yang menjadi awal kehadiran naluri
jahil yang ia miliki. Lucy menambahkan sebuah kalimat singkat tepat dibawah
kalimat yang berisikan sebuah peringatan secara tidak langsung itu, yang
celakanya tanpa ia sadari dari sebuah lubang kecil ada bola mata yang sedang
mengintipnya. Setelah itu ia kembali menuju Tom
(Iain De Caestecker), cintanya yang baru berusia dua minggu, untuk bersama
menuju festival musik.
Namun ternyata Tom telah menyusun rencana lain. Tom
telah menyewa sebuah kamar hotel untuk menghabiskan malam mereka dengan
romantis, berada ditengah hutan, dan mereka menuju kesana dengan iringan sebuah
mobil. Yang menjadi masalah adalah mobil itu tidak mengantar mereka sampai
menuju hotel, hanya sebatas tepat di pintu masuk menuju area hotel, pintu yang
juga menjadi awal malapetaka bagi Tom dan Lucy, sebuah labirin yang terus
membawa mereka berputar-putar dan mengubah suasana dari romantis menjadi
tekanan psikologis.
Super dangkal, super tipis, dan mungkin dapat pula
digunakan berbagai kalimat dengan bumbu super untuk menggambarkan betapa
sederhananya isi yang dimiliki oleh In
Fear. Super tradisional, konsep minimalis dalam ruang gerak yang sempit,
kemudian ditemani dengan perputaran berulang dengan set yang sama, potensi yang
diawal berupa sebuah horror klasik yang gelap justru perlahan berubah menjadi
sebuah rasa ragu bahwa ini akan menjadi sebuah horror murahan yang monoton.
Sayangnya hal tersebut justru tidak terjadi sama sekali karena sebuah keputusan
dari Jeremy Lovering untuk merubah
haluan In Fear setelah semua karakter terjebak dan mencari jalan keluar.
“Is it horror?” Yes, tapi ketimbang menyebutnya sebagai sebuah horror
murni saya justru lebih memilih untuk memberikan label thriller psikologis pada In
Fear, karena pada elemen ini ia bekerja dengan baik. Terjebak dan kemudian
berteman bersama hal-hal buruk yang secara silih berganti hadir, menghadirkan
rasa panik yang mengubah cinta menjadi sebuah paranoia untuk menemani tingkatan
frustasi yang semakin tinggi, dan itu semua dilengkapi dengan iringan suasana
mencekam yang dibangun oleh score yang seolah terus terpompa bersama
pemanfaatan latar yang sangat efektif, seperti gubuk penuh misteri hingga hal
super klise dalam bentuk bayangan dari sosok misterius. Ada gerak cekatan dalam
membungkus mereka semua, dan itu berhasil mengalihkan perhatian dari beberapa plothole yang juga eksis.
Materi yang sejak awal telah terasa minimalis dapat
membawa kesan stuck pada cerita. Akan muncul kesan Jeremy Lovering tidak tahu lagi akan membawa cerita kearah mana,
narasi tipis yang selalu membawa rasa tidak nyaman dari penontonnya dalam aksi
mondar-mandir liar tanpa motivasi dalam aksi menebak dikelilingi gelapnya
hutan. Momentum juga kerap terasa kendor, tapi dari sana pula hadir kesan bahwa
In Fear memang sengaja dibiarkan
bergerak liar karena sejak awal sepertinya strategi yang digunakan oleh Jeremy
Lovering untuk menakuti-nakuti penontonnya adalah dengan mengandalkan sisi
emosi di posisi utama. Yap, it’s a
mindplay, ketegangan yang terjaga dengan baik untuk menuntun pikiran
kedalam ruang isolasi penuh rasa frustasi yang dimanipulasi. Itu manis.
Bukan hanya manis, namun hal tersebut pula yang
berhasil menyelamatkan In Fear dari
nilai negatif pada mereka yang mampu klik dengan elemen yang sesungguhnya
secara implisit mendapat posisi utama dalam cerita itu. Tidak dapat dipungkiri
ekspektasi akan meningkat setelah adegan pembuka, dan mungkin saja akan ada sebuah
kekecewaan bagi mereka yang terus mempertahankan horror sebagai menu utama
(faktanya ini memang tidak kuat jika hanya berdiri sebagai horror) dan tidak
mencoba untuk memberi ruang bagi permainan psikologis yang justru ikut menambah
nilai plus dari elemen horror tadi, kepanikan yang terasa nyata, dan itu juga
berkat kinerja aktor yang efektif.
Mereka tidak brilliant, namun performa dari Alice Englert (Beautiful Creatures) dan Iain De Caestecker berhasil menciptakan
sebuah perpaduan yang manis. Mereka berhasil memanfaatkan materi yang dimiliki
oleh karakter mereka, Alice Englert sebagai wanita yang bermain dengan
perasaan, dan Iain De Caestecker
sebagai pria yang lebih menggunakan logika. Mereka juga berhasil menciptakan
sebuah tahapan pada perkembangan dari karakter, dari hal manis di awal,
kemudian rasa ragu, berganti dengan rasa cemas yang semakin tinggi dan mulai
menggerus keindahan diawal tadi, hingga akhirnya terjebak dan menjadi panik
serta frustasi.
Overall, In Fear
adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah thriller kuno bersama sentuhan horror
minimalis dan manis yang hadir dengan nada suram serta materi yang juga
minimalis diberbagai area, mampu memberikan cengkeraman yang cukup nikmat pada
rasa waspada dengan tingkat ketegangan yang juga terasa mumpuni, meskipun hanya
berisikan aksi mondar-mandir yang berpotensi besar menggerus rasa nikmat bagi
penonton yang melihat aksi karakter sebagai sebuah tindakan tanpa motivasi. It’s a mindplay. Good chiller.
0 komentar :
Post a Comment