"Some guys, the don't keep their promises."
There’s no limit for family. Anda boleh bimbang ketika
hendak melakukan sesuatu untuk kekasih anda, rasa ragu ketika akan memberikan
pertolongan kepada sahabat terbaik anda, namun hal tersebut tidak boleh hadir
jika sudah mengikut sertakan masalah terkait keluarga anda didalamnya. Ya,
tidak ada kalimat “how far” dalam hubungan keluarga, help each other in sadness
and happiness. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh film ini, Blood Ties, dark and soft family story.
Sangat mudah untuk merasa jengkel pada Chris Pierzynski (Clive Owen), pria
berjiwa bebas yang seolah selalu bertindak sesuka hati tanpa peduli aturan.
Chris bukan tipe orang yang senang dengan sesuatu yang rumit, ia bahkan tanpa
rasa malu langsung menuju rumah mantan kekasihnya, Monica (Marion Cotillard), untuk bertemu dengan anak yang telah ia
tinggalkan begitu lama karena harus mendekam di penjara, setelah sebelumnya
mengunjungi ayahnya, Leon (James Caan)
bersama dua saudaranya, adik perempuannya Marie
(Lili Taylor), dan juga Frank (Billy
Crudup), saudara laki-laki yang uniknya bekerja sebagai polisi NYPD.
Itu yang menjadi dilema, karena berkat Frank, yang
juga memiliki masalah lain dengan wanita bernama Vanessa (Zoe Saldana) dan kekasihnya Anthony (Matthias Schoenaerts), Chris mendapatkan jaminan
dikarenakan profesi saudaranya tersebut, namun dilain sisi ia juga mulai
kembali membuat kekacauan baru, mulai terpikat untuk kembali masuk kedalam
dunia kriminal dan bertemu teman lamanya yang bernama pembunuhan serta
pencurian, dan celakanya semua itu ikut menyeret orang disekitarnya kedalam
masalah, dari seorang wanita yang baru ia kenal bernama Natalie (Mila Kunis), hingga menghadirkan dilema dan tekanan pada
Frank.
Sangat mudah untuk menjabarkan Blood Ties kedalam kalimat sederhana: kisah klasik yang potensial
namun tumbuh secara berantakan. Remake dari thriller
Perancis berjudul Les liens du sang ini punya potensi besar
untuk membawa sebuah gambaran dengan perspektif sederhana terkait sebuah
persaudaraan, namun Guillaume Canet seperti
terlena ketika membentuk cerita yang ia tulis kembali bersama James Gray ini. Nyala api dari tiap
masalah sepanjang cerita terus dijaga agar tampil kecil, yang penting tetap
hidup mungkin seperti itu upaya yang mereka ingin ciptakan sembari terus
membangun kekuatannya dengan bermain-main bersama kisah pengkhianatan dan aksi
manipulasi. Hasilnya, premis ringan itu perlahan menjadi terasa keruh.
Blood Ties mencoba sangat kuat untuk dapat tampil kompleks dan
rumit. Ada pergerakan yang liar dan mungkin akan terkesan berlebihan, dimana
kita sebagai penonton akan bertemu dengan berbagai subplot yang melimpah namun
juga menggantung, menciptakan lika-liku masalah untuk menghadirkan ruang bagi
eksplorasi berbagai isu, dari rumah tangga, cinta baru, cinta lama, hingga
hubungan keluarga, tapi sayangnya hanya yang terakhir itu yang akan memberikan
sebuah kenikmatan, sisanya hanya berisikan hawa nafsu klise dengan penggalian
mentah yang bukan hanya berpotensi menghadirkan kesan pointless di akhir cerita
namun juga ikut menggerus kekuatan dari fokus utama.
Yap, tumpukan masalah yang coba disatukan namun terasa
kasar akibat tidak terkontrol dengan baik. Dinamika cerita yang tercipta tampil
kurang memikat disini, stabil cenderung datar, energi kerap terasa loyo akibat
fokus yang terpecah belah menjadi beberapa bagian. Seperti karakter yang
perlahan merasa letih, penonton mungkin akan mudah untuk ikut pula merasa letih
menyaksikan berbagai skenario yang sibuk itu, kita dapat melihat bahwa cerita
itu berkembang namun eksekusi yang ia hadirkan kurang mampu meninggalkan kesan
yang mendalam karena pergerakan yang ia hasilkan terasa sangat minim. Tapi ada
satu cara untuk at least mendapatkan kepuasan dari Blood Ties, taruh kisah persaudaraan itu sebagai fokus utama.
Ada permainan emosi terkait batin antara Chris dan
Frank yang menarik disini, dan itu terasa kuat. Finale yang ia hadirkan akan
menciptakan ledakan emosi yang cukup besar berkat ketukan yang Canet ciptakan
pada dua karakter ini, worthed sekalipun faktanya untuk itu ia telah dan harus
mengorbankan banyak karakter dalam tahapan yang terkesan pemalas dan tanpa
motivasi ketika menuju babak akhir. Ada diam pada adegan di stasiun kereta api
itu, hadir makna keluarga yang powerfull dan mungkin akan membuat penontonnya
setelah itu bergegas mengambil gadget dan kemudian mengontak saudara mereka
untuk sekedar say hi dan bertanya apa kabar. I love that scene.
Kinerja pada aktor juga terasa manis. Clive Owen tampil mumpuni, dibalik
ekspresi wajah dengan mata dan senyum yang sukses menghadirkan rasa jengkel itu
ia juga mampu menampilkan situasi karakter miliknya yang berani namun juga
punya rasa lelah didalam jiwanya. Chemistry mereka memang terlalu simple, namun
ikatan persaudaraan yang ia bangun dengan Billy
Crudup juga berhasil hidup hingga akhir. Nama terakhir juga berhasil menggambarkan dilema
yang ia alami, antara profesi dan keluarga, aksi penuh ketenangan dibalik
kekacauan yang eksis disekitarnya. Yang disayangkan mungkin adalah trio, Marion Cotillard, Mila Kunis, dan Zoe Saldana, kinerja yang efektif namun
terasa kurang tepat untuk berperan sebagai pemanis belaka, punya konflik
potensial yang justru ditinggalkan.
Overall, Blood
Ties adalah film yang cukup memuaskan. Ini terasa berantakan karena ia
terlalu sibuk membangun tahapan-tahapan multi-focus
sebagai upaya untuk memperkuat fokus utama terkait persaudaraan dalam gerak
yang kurang cekatan. Mencoba rumit dalam gerak mondar-mandir yang lamban, mudah
untuk merasa lelah dan jengkel, namun kinerja para aktor mampu menghadirkan
jiwa dalam cerita sehingga ketika konklusi itu muncul tercipta sebuah
kesimpulan sederhana yang terasa tajam.
0 komentar :
Post a Comment