“I
like to think Spider-Man gives people hope.”
Di edisi pertama
reboot miliknya dua tahun lalu itu superhero jenius dengan gerak cepat dan
refleks yang memikat ini berhasil membuktikan bahwa ia tidak menjadi sesuatu
yang totally useless ketika kembali
beraksi bersama tubuh dibalut latex
ketat itu hanya lima tahun setelah ia melakukan aksi terakhirnya. Sukses
menampar sikap pesimis, beban yang sedikit berkurang, edisi kedua ini berhasil
tampil lepas untuk menawarkan kembali cerita familiar itu dalam sebuah
petualangan yang menyenangkan masih dengan aksi terbang dan melayang di antara
gedung pencakar langit kota New York. The
Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro, when music and action sequence kill a
bit draggy story minus. I'll simply say it's on again, it's on again.
Paska peristiwa
tersebut Peter memutuskan untuk kembali menuntaskan hasrat miliknya dengan
mencari tahu keberadaan ayahnya (Campbell
Scott). Hal tersebut ternyata menyimpan sebuah fakta yang membawa Peter
menuju Oscorp, perusahaan atau kerajaan
bisnis yang memiliki pemimpin baru setelah ditinggal Norman Osborn (Chris Cooper) dan kini dikendalikan oleh Harry Osborn (Dane DeHaan), sahabat
karib Peter yang masih bergelut dengan masalah pribadi, yang celakanya tidak
tahu telah hadir monster baru yang berasal dari perusahaannya, seorang pekerja
listrik bernama Max Dillon (Jamie Foxx) yang
hanya ingin keluar dari kesepian dan memperoleh perhatian.
Menilik sinopsis
diatas tadi akan hadir kesan ambigu pada misi utama yang ingin dicapai oleh The Amazing Spider-Man 2, banyak masalah
yang potensial untuk dikembangkan namun faktanya mayoritas dari mereka tidak
memperoleh sentuhan yang cukup dalam pada tahap eksekusi. Yap, timbunan konflik
yang gemuk itu pada akhirnya memang akan terkesan dipaksa untuk mampu menyelip
masuk kedalam alur cerita dengan berbagai isu, dari menciptakan ruang cerita
untuk arena kreatifitas adegan aksi lewat Max
Dillon, future plan yang tidak bisa dibuang pada sosok Harry, hingga
pemanis tambahan pada Aleksei. Berantakan, sedikit tidak konsisten, tapi
masalahnya adalah Marc Webb tetap
berhasil membentuk ini menjadi sajian berantakan yang menghibur.
Aneh memang
karena dibalik segala kekacauan yang mayoritas masih di isi dengan hal lama
pada elemen script sulit pula untuk tidak mengakui bahwa The Amazing Spider-Man 2 mampu memberikan unsur fun yang terasa pas
selama 142 menit durasi yang ia punya. Cerita hasil kerja sama Alex Kurtzman, Roberto Orci, dan Jeff
Pinkner yang terkesan pemalas dan sedikit terburu-buru dalam gerak berat
yang ia hadirkan itu seperti membentuk sebuah rollercoaster, terkadang bermain
dengan drama mengandalkan emosi yang coba menelusuri hubungan multi arah antar
karakter dengan Peter sebagai sentralnya meskipun cenderung lebih sering
berakhir terlalu stabil, dan ketika penonton mulai merasa tenang dan nyaman Marc Webb kemudian menghantam mereka
dengan adegan aksi penuh koreografi dan akrobatik dinamis dalam gerak cepat
yang presisi dan rapi hasil sentuhan “palsu” yang memikat dari
departemen visual efek bersama kualitas 3D yang mumpuni.
Hal tersebut
yang kerap kali menjadi sumber hadirnya senyuman sembari terus bertanya apa sih
sebenarnya maunya film ini. The Amazing
Spider-Man 2 seperti dikemas tanpa eksistensi dinding yang membatasi diri
seorang Spider-Man sebagai seorang superhero yang hanya bertugas menyelamatkan
penduduk dari bahaya. Memang tidak selevel dengan Spider-Man 2 versi Sam Raimi,
tapi tragedi serta kisah romansa itu berhasil ditampilkan oleh Marc Webb yang uniknya ia kemas dengan
terus menekankan kesan freestyle didalam penceritaan, bergerak bebas namun
punya point-point utama yang berhasil muncul di dalam cerita dan tergambarkan
dengan baik, walaupun disamping itu sayangnya mereka hanya sebatas ada karena Marc Webb cenderung lebih asyik
bermain-main dengan banyak hal yang punya kapasitas minor.
Ya, The Amazing Spider-Man 2 adalah
presentasi yang warna-warni, dan ini kacau sebetulnya, tapi disamping itu
keputusan tersebut seolah telah di prediksi oleh mereka. Seperti sebuah
perjudian, gambling, mari mencoba tampil sedikit lebih segar dan siap menerima
resiko terburuknya, dan hasilnya tidak buruk serta cukup berimbang. Cerita yang
sedikit melelahkan, humor konyol yang cenderung mengandalkan slapstick klasik
namun bekerja dengan baik, kurangnya tekanan dan ancaman dari sosok antagonis
karena dibentuk dengan tipis tanpa motivasi yang kuat, hingga observasi pada
dilema dengan menggunakan kekuasaan, tanggung jawab, resiko, hingga asmara yang
juga tampil baik, ada sebuah pertarungan plus dan minus yang menarik dan
menghasilkan dinamika cerita yang variatif untuk menyelamatkan ini dari situasi
membosankan.
Tapi ada satu
hal lainnya yang berhasil menjawab kepercayaan Marc Webb sejak awal disamping aksi balet di medan perang dimana
Webb seperti paham kapan momen yang tepat untuk mempermainkan visual untuk
menciptakan gambar yang impresif, serta score
electronic hasil kolaborasi Hans
Zimmer dan Pharrell Williams yang
secara mengejutkan tampil kokoh dan mempertajam kesan segar dan kerap
mengendalikan tensi serta tempo cerita. Kisah cinta antara Peter dan Gwen,
mereka mengalahkan kepentingan para penjahat dalam cerita untuk memperoleh
posisi utama, dan itu terbayarkan lewat eksekusi mumpuni pada sebuah kejutan
menjelang akhir. Saya tidak membaca komiknya, tapi saya sudah terlanjur tahu
dengan kejutan tersebut saat mencari tahu Gwen
Stacy di Wikipedia, dan anehnya
ketika kejutan itu hadir masih tercipta emosi yang memikat pada kehancuran
tersebut.
Tidak heran
memang ketika kita akan memperoleh kisah cinta yang menjadi bagian dari fokus
yang terpecah belah itu dalam bentuk yang impresif, karena Andrew Garfield dan Emma
Stone mampu melakukan transfer pada kekuatan cinta yang mereka punya di
kehidupan nyata kedalam layar tanpa terkesan berlebihan. Chemistry tidak megah, namun kuat dan punya ketulusan yang terasa
alami sehingga mampu membuat penontonnya tetap rooting kepada mereka ketika
kisah cinta itu tergambarkan dalam penceritaan yang kurang bergelora. Andrew Garfield semakin mampu membuat
penontonnya yakin bahwa ia Spider-Man yang baru, ia punya kelembutan yang
tampil meyakinkan di kala suka dan duka. Emma
Stone sendiri sedikit terbatasi ruang geraknya namun mampu membangun
karakternya dengan efektif dan tajam.
Pemeran
pendukung yang sejak awal sebenarnya turut berkontribusi pada sedikit
meningkatnya ekspektasi justru harus puas menjadi bayangan. Mereka tidak punya
ruang yang cukup, oke untuk Sally Field
yang memang hanya punya satu bagian penting pada cerita, namun tidak dengan Jamie Foxx dan Dane DeHaan. Karakter Green
Goblin memang baru sebatas perkenalan, namun ia dapat memberikan bahaya
yang jauh lebih kuat. Dan Jamie Foxx
seperti terbuang percuma, Electro
tampil unthreatening bersama tujuan
yang tidak fokus, untung saja Foxx masih mampu menciptakan pondasi yang jelas
ketika karakternya masih berada dalam kondisi sederhana terkait ulang tahun dan
atensi itu. Paul Giamatti mampu
mencuri atensi sesaat, and I really hope
Black Cat can be a part in next film to make a bigger room to Felicity Jones.
Overall, The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro
adalah film yang cukup memuaskan. Anda dapat menyebutnya sebagai sebuah kemasan
berani yang inovatif, sebuah petualangan tidak fokus tanpa motivasi yang kuat,
sebuah kisah superhero dengan kedalaman penceritaan yang sedikit berantakan dan
juga canggung, sebuah pertunjukkan adrenaline
pumping sembari bermain bersama dilema yang digambarkan dengan mumpuni,
sebuah video game dalam balutan dramatisasi yang terlalu stabil, hingga sebuah
roman manis dan tidak berlebihan yang seolah tidak peduli dengan eksistensi
bahaya disekitar mereka. For me, The
Amazing Spider-Man 2 is a bold guilty pleasure. It’s an enjoyable stupid fun.
I'll simply say it's on again, it's on again.
Bad Movie
ReplyDelete