“I loved you since the wind brought you to me.”
Apakah film animasi memang diciptakan hanya untuk penonton berusia
muda? Pertanyaan tersebut tentu tidak akan menemukan sebuah jawaban yang
konkret, namun sekilas dapat kita nilai bersama dari apa yang dilakukan oleh
mayoritas film animasi, mengusung visi dan misi skala ringan seperti tema
keluarga dan kasih sayang sehingga menghalanginya untuk tampak sedikit lebih
kompleks yang sesungguhnya dapat menambah nilai positif. Hal tersebut yang
menjadikan karya terakhir dari master animasi, Hayao Miyazaki, ini terasa impresif, berani walaupun harus menjadi segmented. The Wind Rises, an art house
animation, there’s an explosion on screen, there’s an explosion on emotion.
Gorgeous!!
Tidak seperti ukuran kota tempat ia tinggal yang kecil, Jiro Horikoshi (Hideaki Anno) memiliki hal yang menjadi bagian dari semua anak-anak dalam kapasitas
yang sangat besar, impian. Majalah berbahasa Inggris, kamus, hingga sosok
desainer pesawat terbang asal Italia bernama Giovanni Battista Caproni (Nomura
Mansai) telah menjadi bagian dari fantasi yang ingin ia
wujudkan. Jiro berhasil, ia telah berkuliah di bidang teknik mesin, bahkan
sudah menimba ilmu hingga ke Jerman. Namun kegagalan terus
menemaninya, hingga Jiro memutuskan untuk kembali ke Jepang.
Celakanya keputusan tersebut memberi polemik besar bagi Jiro. Jiro
bertemu dengan Naoko
Satomi (Miori Takimoto), yang pada tahun 1923 pernah ia
selamatkan pada tragedi gempa bumi Kanto. Cinta mereka mulai mekar dan
mulai bergerak menuju jenjang yang lebih serius. Sayangnya Naoko menolak untuk
bergerak lebih jauh karena masih cemas pada penyakit yang ia miliki, dan
meminta Jiro menunggu hingga ia pulih. Tapi nasib berkata lain, karena disisi
lain Jiro justru mulai menemukan jalan untuk mewujudkan impiannya selama ini,
mendesain sebuah pesawat terbang.
Sinopsis tadi dan kombinasi yang ia lakukan bersama judul yang
digunakan akan dengan sangat mudah menciptakan sebuah gambaran umum tentang apa
yang penonton peroleh dari The Wind Rises, karya terakhir dari salah satu
legenda di dunia animasi, Hayao Miyazaki. Perang dunia, pesawat, dan
cinta, memang benar ketiganya menjadi unsur utama pembentuk cerita, namun The Wind Rises pada faktanya tidak sesederhana itu. Ini seperti sebuah rangkuman dari
proses kehidupan seseorang, dari dunia nyata kemudian masuk ke alam mimpi,
ditemani kisah berisikan tekad, usaha, obsesi, kegagalan, kerja keras, hingga
jalinan cinta lengkap dengan pilihan dan resiko yang ia punya. Materi-materi
tadi dibangun dengan totalitas dan rasa percaya diri yang tinggi oleh Hayao Miyazaki, dan akan dengan mudah menjadikan penonton tidak begitu terpaku pada
isu terkait “killing machines” yang banyak diperdebatkan itu.
Yap, menghipnotis, dari kualitas tampilan visual memang tidak ada
sebuah gebrakan baru dari Studio Ghibli, penonton akan mendapatkan
kualitas yang mereka harapkan hingga detail. Namun ada sebuah kesejukan yang
menarik pada sisi struktur dan nada cerita, ia fokus, tenang, dan lembut, terus
menemani pergerakan alur cerita sembari menyimpan sesuatu yang lebih besar
dibaliknya. Ini adalah sebuah isu dan kisah kompleks dibalik karakter
sederhana, sebuah kebalikan dari apa yang selama ini identik dengan Miyazaki
yang kerap bermain bersama karakter kompleks penuh warna-warni dan magis untuk
mengusung kisah dan isu yang sederhana. Something yang memang kurang begitu
familiar, sedikit keluar dari pattern yang selama ini menjadi ciri mereka,
namun justru akan terasa mengasyikkan bagi mereka yang menjadi bagian dari
pasar penonton sasaran.
The Wind Rises ibarat sebuah film art-house dalam bentuk animasi. Itu mengapa diawal
ada kata segmented, bahkan ini mungkin terasa cukup berat bagi penonton remaja
yang akan dengan mudah kehilangan minat mereka. Ini bukan film animasi yang
punya daya untuk menjangkau dan memuaskan setiap kelas penonton karena ia tidak
menawarkan kisah ringan dengan balutan humor klasik dalam narasi gerak cepat
penuh dinamika cerita yang menyenangkan, sebuah jawaban atas pertanyaan
sederhana yang telah identik dengan dunia animasi. Ini kompleks, dalam cerita
yang terus bergerak stabil pada level yang ia ciptakan sejak awal, hal yang
juga mungkin menjadi sumber utama rasa jenuh dan monoton, dibalik warna cantik
dilayar Miyazaki justru dengan penuh rasa sabar terus berupaya mengajak
penontonnya untuk merasakan bagaimana rumitnya sebuah sistem yang dihadapi
manusia.
Ketimbang dituntun dalam penceritaan yang menjelaskan hingga akhir
disini penonton akan diberikan kebebasan bermain bersama interpretasi yang
mereka miliki, menyerap cerita terkait proses kehidupan dan kemudian
menganalisa ide-ide kuat dalam nada gelap yang Miyazaki lemparkan pada berbagai sisi cerita, mulai dari sejarah hingga kisah
cinta klasik dangkal namun kokoh yang lebih banyak tampil lewat ekspresi
sederhana karakter. Kisah cinta yang dihadirkan disini sebenarnya juga terasa
unik, memiliki power yang bersifat kumulatif, hal yang akan membuat penonton
yang sejak awal tidak berhasil menemukan clue dari potensi elemen itu untuk
hadir kemudian (walaupun sulit jika menilik poster), dan lebih fokus kepada hal
terkait perang dan pesawat ketimbang memberikan investasi emosi secara
bertahap, akan merasakan drama percintaan itu sebagai sesuatu yang tidak
dibangun dengan baik, terasa datar bahkan cenderung hambar.
Apakah serumit itu? Ya, ini rumit karena sejak awal ia memang ingin
menjadi rumit. Cara termudah untuk menikmati The Wind Rises adalah mencoba klik dengan irama
yang ia ciptakan sejak awal dan terus dipakai hingga akhir, karena kisah dengan
tema familiar yang kerap bergerak mondar-mandir penuh lompatan waktu ini tidak
pernah mencoba bergerak terlalu jauh untuk menjadi sebuah ceramah moral penuh
kepalsuan, pada dasarnya bahkan ia punya materi yang sangat menarik. Dari
semangat, kreatifitas, mereka dibentuk dengan kapasitas dan tingkat kepadatan
yang mumpuni, menggambarkan kehancuran dan kerusakan dengan indah namun disisi
lain mengerti bagaimana cara menghadirkan sebuah refleksi yang menyayat hati
dan emosi dalam gairah penuh syahdu serta lembut dan menyentuh dengan tingkat
sentimentalitas yang terasa pas.
Ini akan terlalu panjang jika harus ikut membahas sisi cerita seperti
proses dari pengembangan Mitsubishi A6M Zero yang terus terjaga dengan
baik daya tariknya, kisah Jiro Horikoshi yang secara mengejutkan cukup inspiratif, kombinasi yang ia lakukan
bersama pergeseran random yang imajinatif, serta pendekatan lembut dari Hayao Miyazaki pada dua elemen utama cerita tanpa pernah lupa untuk menempatkan isu
kecil lainnya untuk terus berada didalam radar atensi para penontonnya. The Wind Rises memang tidak se-energik film-film Miyazaki lain seperti Howl's Moving Castle, Porco Rosso,
Princess Mononoke, bahkan tidak sebesar My Neighbor Totoro dan Spirited
Away, namun dibantu kinerja mumpuni dari pengisi suara
seperti Hideaki Anno dan Miori
Takimoto, teknik narasi yang Miyazaki ciptakan seperti
menghancurkan dinding pembatas, sebuah ekspansi yang membuka ruang baru bagi
dunia animasi untuk dieksplorasi.
Overall, The
Wind Rises (Kaze Tachinu) adalah film yang
memuaskan. Sedikit keluar dari ciri khas yang ia punya, Hayao Miyazaki justru
mengambil pilihan berani dan kemudian menjadikan film yang ia katakan menjadi
karya terakhirnya ini sebagai sebuah penutup yang mengejutkan. Ini adalah
kumpulan proses kehidupan manusia dalam kumpulan teknik dengan tingkat
kesulitan yang tinggi: merubah kisah konvensional bukan hanya menjadi menarik
seperti The Aviator namun juga imajinatif dan cerdas, mewarnainya dengan dramatisasi yang
tetap mampu mempertahankan keindahan kemasan tanpa tampil berlebihan,
memberikan sengatan emosi yang cantik lewat pendekatan yang lembut, dan
dibungkus dalam narasi dengan pergeseran random yang menyenangkan. Captivating.
0 komentar :
Post a Comment