Apakah anda pernah meragukan kinerja dari para pejabat
pemerintahan dibalik tampilan necis dan mewah yang mereka tunjukkan? Jika
jawabannya tidak, mungkin anda adalah salah satu warga negara yang langka,
karena mayoritas penduduk suatu negara yang mampu bersikap kritis pasti pernah
memiliki rasa ragu tadi. Apakah tujuan mereka bekerja memang tulus ingin
membantu warga, atau justru tidak pernah peduli dan hanya berupaya membuka
jalan untuk meraih ambisi pribadi masing-masing. Way Back Home (Jibeuro Ganeun Gil), an effective typical Korean
drama.
Song Jeong-yeon
(Jeon Do-yeon) dan Kim Jong-bae (Go Soo) mungkin dapat dikatakan salah satu contoh
dari pasangan suami istri idaman banyak orang. Kehidupan mereka memang
sederhana, namun mereka punya salah satu faktor kunci yang jauh lebih penting
ketimbang harta, kebahagiaan, pernikahan yang sudah berlangsung selama satu
dekade, dengan seorang anak perempuan berusia empat tahun bernama Hye-rin (Kang Ji-woo). Namun kehidupan
mereka dalam seketika berubah saat seorang sahabat Jong-bae melakukan aksi
bunuh diri karena merasa putus asa setelah terlilit hutang.
Masalah utama disini adalah Jong-bae yang menjadi
sosok penjamin, ia bahkan pernah meminjamkan uang pada sahabatnya itu tapi
sayangnya jumlah yang kini harus dilunasi menjadi empat kali lipat dari apa
yang pernah ia berikan. Finansial mereka runtuh, yang kemudian memaksa
Jeong-yeon untuk menerima tawaran pekerjaan dari rekan Jong-bae. Tugasnya
sederhana, membawa sekoper batu permata dari Paris menuju Seoul. Namun
nasib buruk masih menghantui Jeong-yeon, dari isi koper yang ternyata kokain,
bantuan dari Kedutaan Besar Korea Selatan yang tidak serius, memberinya derita dari
hitungan minggu, bulan, hingga tahun.
Dengan kombinasi antara judul yang ia gunakan bersama
sinopsis diatas pada awalnya akan sangat mudah untuk mengatakan bahwa Way Back Home tidak lebih dari sebuah drama yang mengandung
berbagai elemen yang menjadi ciri khas film Korea
Selatan . Urgensi dari konflik utama
tidak besar, bahkan apa yang Bang Eun-jin
ingin capai dari kisah nyata seorang wanita Korea yang harus berakhir di Martinique (Karibia) yang ditulis oleh Yoon Jin-ho ini pada awalnya juga akan
tampak sangat sempit, mencari jalan pulang. Hal tersebut akan kental terasa,
namun ada sesuatu yang lebih menarik disini, sebuah kritik tajam pada sistem
pemerintahan yang dikemas dengan efektif tanpa menghakimi, lebih kepada
melemparkan sisi gelap dan kemudian membiarkan penontonnya perlahan mulai
terbakar oleh rasa kesal denga sendirinya.
Ya, Bang Eun-jin
sangat berhasil secara bertahap menarik penontonnya masuk kedalam gejolak isu
yang lebih kelam. Dramatisasi tentu saja ada, terlebih pada cara kerja kedutaan
besar yang berhasil dikemas dengan tepat, namun ketimbang menjadi elemen
pendukung untuk mewarnai konflik utama isu tersebut justru perlahan mencuri
konsentrasi utama. Umpamakan saja konflik utama mencari jalan pulang tadi
sebagai sebuah bunyi dari gong yang dipukul dengan sangat kuat dibagian awal,
dan dengungan yang ia hasilkan tetap bertahan hingga akhir, tapi perlahan
narasi yang dikemas dengan sentuhan yang terlalu klasik itu mulai menjalankan
tugas lainnya untuk membawa penonton bertransisi ke sisi yang uniknya terasa
lebih menarik.
Ketidakadilan, sederhananya mungkin seperti itu, dan
sebagai sebuah informasi topik tersebut mempunyai power yang begitu besar untuk
dengan mudahnya mencuri empati dan simpati dari penonton. Ibarat sebuah
bendungan yang terus menerus di isi dengan air dan hanya menunggu waktu untuk
pada akhirnya jebol, begitu cara Bang
Eun-jin mencoba bermain-main dengan emosi penonton, ia juga tahu mengatur
tensi cerita yang sedikit terlalu lambat itu. Walaupun tetap dijabarkan dengan
tepat, kita mulai tidak begitu ambil pusing lagi dengan berbagai syarat rumit
untuk menciptakan jalan pulang bagi Jeong-yeon, karena konflik mulai mundur dan
letak fokus mulai bergeser pada karakter.
Tekanan, kemudian mental, dua hal tersebut yang
menjadi hal menarik di paruh kedua. Dari sistem yang seperti terus tersenyum
dibalik sikap kurang peduli, penggunaan metode surat menyurat, hingga percakapan
lintas bahasa yang meskipun kerap menyisipkan unsur fun namun disisi lain ikut
membangun kuantitas rasa perih pada masalah utama. Uniknya disamping terus
mengemis atensi penontonnya dengan penggunaan beberapa materi mellow yang tidak
semuanya gagal, Way Back Home seperti
meninggalkan sebuah isu lain yang justru menjadi menarik setelah penonton
keluar dari perputaran masalah yang sedikit terlalu lama ini, kasih dan cinta
dari keluarga pada kita.
Yap, betapa pentingnya peran keluarga bagi semangat kita
untuk terus bertahan hidup, ia memang punya intensitas kecil dan hadir sedikit
terlambat namun justru menjadikannya sesuatu yang terasa segar. Hal tadi juga
terbentuk berkat kinerja dari dua pemeran utama, tentu saja tanpa melupakan
tingkah menjengkelkan dari dua pejabat pemerintahan itu. Go Soo tampil efektif, terlebih dengan penggambaran kondisi serba
salah yang ia alami, namun bintang utamanya tentu saja Jeon Do-yeon, yang mungkin tidak membuang rasa takutnya berakting
dengan para tahanan dan sipir sungguhan itu, sehingga karakternya terasa kuat,
kondisi rentan tak berdaya yang terasa lembut dan tampak alami serta tulus.
Overall, Way
Back Home (Jibeuro Ganeun Gil) adalah film yang cukup memuaskan. Ini tidak
megah, ini adalah sebuah dramatisasi yang efektif. Sejak awal sasaran yang
ingin ia capai memang tidak begitu tinggi, seorang wanita yang ingin pulang,
kemudian diwarnai dengan kekacauan dari sistem kerja pejabat pemerintahan serta
berbagai perputaran materi terkait hukum yang menemani. Apa yang menarik disini ia berhasil
menyampaikan point penting yang dibawa, dari sisi keluarga hingga kritik
terhadap pemerintah, mempertahankan kualitas isu utama hingga akhir yang
ditemani bersama hal paling penting dari tipe film seperti ini, empati dan
simpati penontonnya. Sebuah dramatisasi yang efektif, sadly a little bit
segmented.
0 komentar :
Post a Comment