Tidak peduli ia kemasan ringan penuh tembakan dan baku
hantam, romansa dan komedi klise, ataupun sebuah kemasan berat yang
menghadirkan proses mengamati, semua film pasti punya sesuatu yang ingin ia
sampaikan, punya pesan yang ingin ia gambarkan, itu mengapa bagi saya menonton
film ibarat sedang belajar. Nah, film yang ia sebut menjadi karya terakhirnya
ini kembali memberikan arena bagi opsi kedua, Tsai Ming-liang bersama dua jam
penuh meditasi, refleksi, apapun itu sebutannya. Watching Stray Dogs (Jiao you) feels like being alone in the middle of
jungle, meditate yourself in silence. Exhausting fun cinema experience.
Seorang pria (Kang-Sheng
Lee) harus berhadapan dengan tantangan hidup yang sangat berat. Miskin,
bersama dua orang anaknya (Yi Cheng Lee,
dan Yi Chieh Lee) yang ia lakukan
setiap hari bukannya memikirkan masa depan, namun sebatas bagaimana cara untuk
bertahan hidup, mereka tidak punya tempat tinggal, listrik hingga air, bahkan
harus menggunakan toilet umum. Yang pria itu lakukan setiap hari adalah mencari
uang dengan memegang sebuah papan berisikan iklan permukiman mewah, sedangkan
disaat bersamaan kedua anaknya bermain-main di supermarket dan juga mal, dan
ketika senja tiba mereka mencari bangunan lain untuk tidur.
Namun suatu ketika seseorang masuk kedalam kehidupan
mereka, wanita (Lu Yi-ching) yang
pertama kali bertemu dengan salah satu anak dari si pria, melihat kondisinya,
dan berniat membantu anak tersebut. Perlahan hubungan mereka terus berkembang,
dari sekedar mencari makanan hingga membacakan cerita pengantar tidur, bahkan
ia mempersiapkan sebuah kue pada hari ulang tahun si pria. Tapi upaya untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik tidak serta merta berjalan tanpa
rintangan, dari ambiguitas, hypnotic mural, hingga emosi dari masa lalu.
Menggambarkan karya terbaru dari sosok bernama Tsai Ming-liang ini sebenarnya sangat
mudah, self-care restaurant. Ya,
ibarat sebuah restoran, disini Tsai
Ming-liang tidak memberikan satu kesatuan hidangan yang telah dimasak
dengan matang dan kemudian tinggal disantap oleh konsumen, karena justru
sebaliknya kita yang menentukan rasa yang ingin kita capai, memilih sendiri
tiap hidangan kecil yang telah ia taruh di layar untuk kemudian menyatu di
dalam piring. Tentu akan muncul kesan pemalas dengan sendirinya, tapi bukankah
hal tersebut justru terasa lebih menarik, meskipun pada akhirnya memang
pencapaian yang diperoleh sangat tergantung pada cara konsumen tersebut
mengolah yang ada hadapannya.
Rumit? Ya, memang begitu, baru dua film Tsai
Ming-liang yang pernah saya saksikan, The
Wayward Cloud dengan semangka yang gila itu, serta bermain bersama puisi
penuh nostalgia yang manis di Goodbye,
Dragon Inn, namun dua pilihan yang menghasilkan sebuah keseimbangan
tersebut sudah cukup untuk menghadirkan rasa yakin bahwa penilaian banyak orang
terhadap film-film Tsai Ming-liang adalah benar: not for everyone. Super segmented malah, dimana kita akan sering
mendapati kondisi yang secara sepintas dilemparkan kedalam layar dalam status
mentah, berlama-lama dalam shoot statis penuh keheningan dengan durasi yang
cukup panjang tapi uniknya punya makna menarik didalamnya, minim dialog yang
menemani irama nafas dari karakter yang terisolasi, serta punya resiko sangat
besar untuk menghadirkan rasa monoton, menghadirkan rasa bosan.
Refleksi, mediasi, begitu mereka sering menyebut
film-film Tsai Ming-liang, hal yang
juga hadir pada Stray Dogs. Namun
ketimbang menyebutnya seperti itu, Stray
Dogs justru lebih terasa seperti sebuah puisi melankolis, terkadang
menyenangkan, terkadang juga melelahkan. Tugasnya memang sederhana, kita diajak
untuk mendefinisikan apa yang kita lihat, menjelajahi luasnya layar yang statis
bersama tetesan air hingga hujan dan angin, merasakan apa yang karakter
rasakan, dan jika harus membandingkan dengan dua film yang disebutkan tadi ini
tidak berada di level yang jauh berbeda, ada sebuah kelembutan dalam nafas
depresif yang ia ciptakan, bergerak sangat lambat penuh kesan hati-hati bersama
sinematografi yang dikemas tajam, namun secara keseluruhan ini terasa sedikit
liar.
Ya, sedikit liar. Setelah menyaksikan Stray Dogs ada sebuah senyum ketika
teringat pada apa yang dilakukan oleh Hayao
Miyazaki di film terakhirnya, The
Wind Rises. Momen sebagai film terakhir seperti menjadikan Tsai Ming-liang
berupaya membentuk keahlian yang ia punya ke titik paling maksimum, di beberapa
bagian ia tampak sedikit berlebihan. Tidak perlu belasan menit sebenarnya,
walaupun durasi dari tiap isu sedikit di buat menjadi sedikit padat tujuan yang
ia punya sebenarnya tetap dapat tersampaikan, dapat ditangkap maknanya, dapat
dirasakan emosinya, sehingga mereka sering terlihat diperpanjang tanpa
mengusung sesuatu yang krusial. Celakanya hal tersebut juga disertai dengan
narasi yang minim, sehingga opsi yang tercipta hanya dua, penonton merasakan
semangat, atau justru tersesat dan kehilangan minat.
Pada akhirnya Stray
Dogs akan tampak seperti sebuah dongeng indah yang sering kehilangan
momentum bagi mereka para penonton yang dalam waktu singkat telah klik dengan
tujuan yang ia bawa di tiap bagian kecil tersebut. Hasilnya, sisa waktu akan
menjadi proses menunggu yang perlahan menggerus misteri cerita. Sayang memang
karena sisa waktu tersebut dapat diisi dengan upaya untuk semakin mendekatkan
penonton pada cerita dan karakter, yang kali ini saja sudah terasa sedikit
luas. Kondisi sosial, sebuah gambaran dari keputusasaan, eksplorasi psikis
manusia yang hidup dalam survival struggle, ide yang cantik sebenarnya namun
keputusan berani untuk berlama-lama itu menggerus kepadatan cerita dan juga daya
tarik dari isu-isu tersebut.
Namun bagaimana dengan misi yang ia bawa? Apakah
mereka tersampaikan dengan baik? That’s it, mereka tepat mencapai sasaran
dengan kuat. Tidak dapat dipungkiri memang point-point yang Stray Dogs bawa memang menarik, dan itu
ia sampaikan dengan seolah mengajak penontonnya melihat kondisi tragis sekitar
mereka dalam ketenangan, berjalan kemudian berhenti sejenak kemudian merenung
tentang kehidupan. Aksi mondar-mandir yang ia tampilkan juga tidak begitu
mengganggu, humor kecil juga menjadi pewarna yang bagus, ada sebuah kecermatan
dalam kepercayaan diri penuh komitmen yang ia tunjukkan, termasuk didalamnya
kinerja Kang-Sheng Lee yang murni
menjadi bintang utama.
Overall, Stray
Dogs (Jiao you) adalah film yang memuaskan. Tentu saja tidak bisa
mengharapkan sebuah hiburan dengan oktan tinggi dari film seperti ini, akan
ditemani ketenangan dalam proses meditasi, refleksi, apapun itu namanya, dan Tsai Ming-liang mampu memberikan
kesenangan dengan cara yang berani dalam mengusung konsep tradisional ini. Ini
sangat tergantung pada point of view penontonnya, dan juga mood, karena isu
tentang eksistensi kesedihan dibalik perubahan dunia itu dapat menjadi sebuah
hiburan yang emosional jika anda berada dalam kondisi yang siap terjebak lebih
dalam.
Screened at 2014 Indonesia Arts Festival
0 komentar :
Post a Comment