Selalu ada nilai positif dan negatif dari sebuah film
action thriller yang mengambil setting pesawat terbang. Riskan mungkin lebih
tepatnya, karena dengan ruang gerak yang terbatas cerita harus mampu
memanfaatkan dengan cermat setiap kesempatan yang ia miliki untuk mempermainkan
penontonnya dengan misteri dari sebuah pertanyaan yang tentu saja selalu menjadi
sajian utama. United 93 dan Red Eye pernah tampil memikat di
kategori ini, namun ada pula yang akhirnya jatuh pada proses menunggu tanpa
sensasi seperti Snakes on a Plane dan
juga Flightplan. Ruang sempit, antara
impresif atau justru super konyol. Non-Stop,
you got mystery-thriller sensation, you got fooled.
Bill Marks (Liam
Neeson), seorang U.S.
federal air marshal, sedang berada pada stage dimana kehidupannya sangat
berantakan, dari anak perempuannya yang meninggal dunia karena kanker,
perceraian dengan sang istri, hingga masalah pada rasa takut ketika berada
didalam pesawat, hal yang tampak lucu bagi seorang wanita bernama Jen Summers (Julianne Moore) yang
akhirnya duduk disebelah Bill setelah bertukar tempat dengan pria bernama Zack White (Nate Parker), pada
penerbangan non-stop dari New York
menuju London. Namun masalah ternyata
belum mau menjauh dari Bill.
Disaat mereka sedang berada diatas lautan Atlantik,
Bill menerima sebuah pesan teks yang meminta ia untuk melakukan transfer uang
sebesar $ 150 juta dengan ancaman akan jatuh korban dalam tempo waktu setiap 20
menit. Bill memberitahukan hal tersebut kepada rekannya yang juga berada
didalam pesawat, Jack Hammond (Anson
Mount), kepala pramugari bernama Nancy
(Michelle Dockery), dan juga pilot pesawat. Mereka menganggap itu adalah
sebuah tindakan iseng, namun yang menjadi masalah korban pertama jatuh, dan
sang pelaku tahu semua informasi pribadi Bill, awal mula munculnya kekacauan
didalam pesawat.
Plot hole menjadi masalah utama film ini. Sangat
banyak red herring disini, dari orang
yang meminta lighter, menawarkan obat tetes mata, orang yang menghalangi jalan,
wanita yang ingin bertukar bangku, seorang muslim, gadis kecil, hingga pria
yang mengaku sebagai NYPD. Sejak awal ia
sudah melemparkan banyak opsi yang disengaja untuk menimbulkan ambiguitas
dengan mengandalkan pertarungan antara rasa ragu dan feeling dalam menebak
pelaku. Ya, menebak pelaku, karena ini justru lebih terasa seperti undian lotere dimana anda diminta menebak siapa
pelakunya, dan jika benar hanya karena anda beruntung, bukannya membangun
uraian dari sebuah proses mencari pelaku utama dengan disertai sebuah
penjelasan yang mumpuni.
Sederhananya Non-Stop
adalah film yang tidak memberikan rasa hormat kepada penontonnya. Bukan berarti
mengharapkan sesuatu yang cerdas, ini popcorn
movie, hal bodoh tentu saja harus di maklumi. Namun dibalik itu ada limit
pada toleransi, dan Non-Stop sedikit
melewati batasan tersebut. John W.
Richardson, Chris Roach, dan Ryan
Engle mungkin merangkai cerita ini tanpa wajah yang serius, seperti tidak
berupaya merangkai sebuah struktur dengan materi bodoh yang dapat dimaklumi
namun memiliki konklusi yang mumpuni, dan lebih memilih memasukkan berbagai hal
yang mereka anggap menarik dengan sesuka hati untuk mengisi kekosongan ruang
cerita dibalik tekanan tunggal yang mereka ciptakan pada batas waktu 20 menit
itu, hal utama yang sukses memberikan sensasi menarik dan menjaga cerita terus
hidup.
Nah, ini dia alasan mengapa Non-Stop pada akhirnya mampu berada pada level cukup memuaskan,
sensasi. Bagi saja kisah ini menjadi tiga babak, dan dua babak awal harus
diakui kita seperti ikut terjebak dalam ruang sempit berupa kabin pesawat itu.
Memang feel ketegangan yang diberikan tidak besar, namun Jaume Collet-Serra paham betul cara untuk terus mencuri atensi
penontonnya. Sejak mengenalnya lewat film Orphan,
dan kemudian disusul Unknown, tidak
peduli seberapa dangkal materi yang ia berikan dan rasa kesal diakhir cerita,
selalu ada sedikit rasa puas yang diperoleh. Kali ini ia berhasil menyuntikkan
cita rasa modern yang dinamis pada teknik mengambil gambar, yang kemudian
dipadukan bersama pilihan untuk menampilkan percakapan pesan dengan teks grafis
pada layar.
Liam Neeson yang sudah jelas menjadi jualan utama film ini
berhasil memberikan performa sesuai dengan apa yang penonton harapkan darinya.
Neeson berhasil menjadikan teka-teki dan misteri yang ia bawa tampil menarik,
kerapuhan emosi dan efek alkoholisme yang juga sanggup menimbulkan rasa ambigu.
You got what you want from him. Yang menarik adalah beberapa pendukung yang
mampu dimanfaatkan dengan baik untuk menggerakkan misteri, seperti Julianne Moore dengan tampilan dingin
dan ekspresi meragukan, Nate Parker
yang sejak awal tidak berhasil menghilang dari daftar, hingga Michelle Dockery yang dibalik rasa
ragunya pada Bill justru membuat kita meragukannya. Lupita Nyong'o? No, jangan berharap banyak, film ini diproduksi
hampir bersamaan dengan 12 Years a Slave.
Overall, Non-Stop
adalah film yang cukup memuaskan. Apresiasi patut diberikan kepada Jaume Collet-Serra yang mampu membangun
sensasi dari sebuah perpaduan antara misteri dan thriller dengan sentuhan
action yang manis. Namun titik krusial dari film dengan tipe seperti ini
terletak pada proses pengungkapan jawaban, dan Non-Stop berada jauh dari kata mumpuni pada bagian ini, yang
mungkin akan menjadikan beberapa penonton merasa tertipu dengan semua upaya
mereka ketika ikut menebak jawaban atas pertanyaan sederhana yang ia lemparkan.
ending film nya betul-betul tidak bisa ditebak... saya yang nonton jadi terbawa emosi..
ReplyDelete