Jika anda menelusuri Kim Ki-duk pada search engine,
dan masuk ke halaman wikipedia, maka anda akan bertemu dengan kalimat “idiosyncratic
"art-house" cinematic works” di bagian pembuka. Idiosyncratic:
keanehan, keganjilan, keistimewaan, tiga makna dari kata tersebut telah menjadi
hal yang identik dengan sosok auter asal Korea Selatan yang karya miliknya tak
pernah jauh dari kata kontroversial itu. Namun ia adalah seorang pendongeng
yang kuat, mampu memberikan pengalaman menonton yang bukan hanya menyenangkan,
namun terkadang menyerang dan juga mengejutkan. Karya terbarunya ini masih
punya hal tersebut, Moebius, a beautiful
and uncomfortable story about family and, genital. (Warning: review contains strong language)
Yang menjadi masalah adalah konflik tersebut justru
menjadi sumber pemicu amarah besar dari sang ibu yang tidak terima suaminya
menjalin hubungan lain dengan seorang wanita penjaga toko. Sang ibu meledak,
dan berupaya memberi hukuman dalam level ekstrim dengan memotong penis
suaminya. Celakanya usaha tersebut gagal, dan sang anak yang justru menjadi
korban. Keluarga ini semakin tersiksa, bukan hanya sang anak yang harus
beraktivitas dengan penuh rasa malu, namun juga sang ayah yang terus dihantui
rasa bersalah.
Walaupun terkesan dangkal dan sempit, permasalahan di
atas terasa sangat ektrim bukan? Namun sebelum bergerak terlalu jauh ada satu
hal unik yang hadir disini, semua konflik dijabarkan dalam alur cerita yang
tidak memiliki dialog. Ya, kosong, mereka dibentuk hanya dengan mengandalkan
permainan ekspresi dari tiap karakter untuk menggambarkan sisi putih dan hitam
cerita. Hal tersebut semakin melengkapi langkah berani yang diambil oleh Kim Ki-duk di film terbarunya ini untuk
menemani berbagai fantasi gila miliknya yang sangat menghibur namun tidak dapat
dipungkiri akan membuat beberapa orang merasa ini adalah sebuah kesesatan yang
berlebihan.
Benar, ketimbang menjulukinya sebagai sebuah fantasi
penuh inovasi mungkin kalimat yang paling tepat adalah sesat. Pada dasarnya Moebius hanya menggunakan template dasar
dari sebuah cerita yang mengusung misi balas dendam, tapi dari sana bersama
dengan materi yang terkesan mentah penonton kemudian akan dibawa berpetualang
dengan narasi yang bergerak lebih jauh untuk mencoba menyentuh isu-isu yang
punya kekuatan untuk menciptakan suasana tidak nyaman bagi yang menyaksikan,
yang menariknya berhasil dibentuk oleh Kim
Ki-duk menjadi tampak indah tanpa terkesan murahan. Penderitaan ia
gabungkan bersama obsesi, kehancuran dikemas dengan totalitas yang mumpuni
dengan berjalan bergandengan bersama sisi brutal.
Lantas apakah film ini tidak punya kelemahan?
Sebenarnya tidak, karena tanpa dialog penonton mungkin akan merasa sulit untuk
menaruh simpati dan empati pada permasalahan yang dihadapi karakter, factor
yang sebenarnya cukup penting dari sebuah proses observasi seperti ini. Namun
dampak dari nilai minus tadi berhasil di minimalisir oleh Kim Ki-duk berkat kepiawaiannya dalam memutar sebuah premis dengan
materi sederhana menjadi sebuah lingkaran kisah yang kompleks dan berimbang.
Ya, seperti Pieta, ini ekstrim namun
dengan tingkat percaya diri yang sangat tinggi sanggup dikemas menjadi sebuah
presentasi yang seimbang sehingga semua misi dangkal yang ia usung sukses
tersampaikan dengan efektif.
Ya, ini sebenarnya dangkal, menemukan cara untuk
melampiaskan obsesi dan kecanduan seksual dalam penderitaan. Namun walaupun
minim simpati dan empati ada sebuah intimitas yang memikat disini, dari tingkat
emosi mungkin tidak begitu tinggi tapi kadar yang ia bentuk berhasil menjadi
wadah yang efisien untuk menyampaikan isu yang tak kalah ekstrim seperti
sexsual disorder, aksi bully, bahkan incest. Sering kali terkesan absurd
memang, namun ada tampilan natural yang jauh dari kesan memaksa sehingga secara
bertahap penonton bukan hanya tertarik dan terjebak, namun perlahan mulai
menikmati imajinasi yang ia tawarkan, imajinasi yang seperti tidak mengaku
adanya batas dalam moral dan etika.
Overall, Moebius
adalah film yang memuaskan. Totalitas, itu yang kerap menjadikan film-film
karya Kim Ki-duk berhasil
meninggalkan kesan yang mendalam sekalipun ia tidak mudah untuk dinikmati
terlebih dengan isu-isu ekstrim andalannya. Moebius punya hal tersebut, sebuah
eksplorasi yang jujur dan provokatif dari sebuah proses destruktif yang bersumber pada sisi liar
yang dimiliki setiap manusia, dibentuk dengan berani, efektif, efisien, namun
tetap jauh dari kesan murahan.
Film Kim Ki Duk yg pertame aku tonton itu Time. Dan yak dia berhasil membuat bingung. Mungkin aku yg agak bodoh jadi lama pahamnya. Ternyata pesannya dalam. Ciri khas Kim Ki Duk kayaknya menampilkan film2 fiolosofis sejenis ini juga. Banyak scene kosong, biar org yg mikir dan org2 yg mau mikir juga yg mau nonton. Mengutip kata teman, "film yg bagus itu yg buat penonton mau berdiskusi bahkan berdebat ttgnya setelah selesai ditonton."
ReplyDeleteDua jempol buat teman kau Dit. :)
DeleteMemang paling nikmat yang begitu, gak cuma sekedar menghibur tapi ada kontroversi yang provokatif, jadi setelah selesai ada hal menarik yang bisa dipikirin lagi, bukan sekedar kasih jawaban diakhir atas pertanyaan diawal.
Tp yg paling aku heran,,, pemeran anaknya masih berumur 15 thn
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Deletesama kak aku juga heran, itu si cowoknya kelahiran 1998 dan filmnya rilis 2013, umurnya 15 taun, trus palingan itu syutingnya pas umurnya 14 taun, heran biasanya aktor yg masih minor kan didampingi ortunya ya, kok ortunya ngebolehin gtu lohh anaknya main film 'gila' kya gini:') aku syok berat liat filmnya:'))
DeleteIya ,,, yg jd pertanyaan,,, managernya kemana ya ??? Ko aktornya malah ngebiarin main film gituan??? Ini sich konfliknya sama kyk sinetron Zahra LG ya ??? 🤔🤔🤔🤔🤔🤔🤔
Delete