"To be reborn, you have to die first."
Terkadang revolusi lahir dari sesuatu yang tidak
berada dalam cakupan luas, tidak megah, tidak krusial bahkan, hanya
mengandalkan semangat kecil yang kemudian berkombinasi membentuk sebuah
kesatuan besar yang berani namun juga terkendali. Ya, kontrol, hal kecil yang
mampu menghasilkan masalah besar, isu yang coba dibawa oleh film ini, coming-of-age bertemakan obsesi dengan
nafas LGBT. Kill Your Darlings, a movie which will make Voldemort smile very wide.
Walaupun ibunya, Naomi
Ginsberg (Jennifer Jason Leigh) masih terus bertarung dengan gangguan
kejiwaan yang membuatnya sering merasa ketakutan, Allen Ginsberg (Daniel Radcliffe) tidak mau membuang kesempatan
besar yang ia peroleh untuk melanjutkan studi di Columbia University, sebuah kesempatan besar yang juga dapat
semakin mempermudah Allen untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang penulis.
Allen memang merupakan anak yang pintar, bahkan sebuah pertanyaan yang ia
ajukan telah mampu memberikan impresi positif bagi seorang pengajar bernama Professor Steeves (John Cullum). Tapi
tidak semua berakhir indah.
Berawal dari tur berkeliling kampus, Allen bertemu
dengan pelajar senior bernama Lucien Carr
(Dane DeHaan). Celakanya Lucien ibarat madu dan racun bagi Allen, ia punya
link yang dapat membuat kemampuan Allen semakin besar, tapi ia juga punya
obsesi yang berbahaya. New Vision,
sebuah konsep yang bersama Jack Kerouac
(Jack Huston) dan William S.
Burroughs (Ben Foster) hendak mereka wujudkan, mengganti bahkan menghapus
sejarah yang mereka anggap terlalu membosankan dengan sesuatu yang jauh lebih
segar. Namun ini perlahan menjadi rumit, dengan keterlibatan emosi lewat
kehadiran David Kammerer (Michael C.
Hall), dan juga Edie Parker
(Elizabeth Olsen).
Ketika telah mengumpulkan point-point penting yang ia
bawa, Kill Your Darlings dapat
dikategorikan sebagai sebuah film biografi yang mengandung banyak isu menarik.
Ya, pada awalnya memang ini akan terasa sulit untuk di ikuti, tampak seperti
tumpukan materi klasik dan familiar bahkan, yang kemudian semakin berat karena
mereka dibawa oleh sekelompok anak muda berjiwa bebas yang belum matang dan
juga baru mengenal dunia, akhirnya kemudian menimbulkan rasa ragu apakah mereka
mampu menyampaikan misi utama? Namun justru nilai dari hal tersebut yang
digunakan oleh John Krokidas dan Austin Bunn untuk menjadi kulit dari
cerita yang mereka bangun, menciptakan pesan positif dengan menggunakan
penggambaran dari sisi negatif para jiwa muda.
Inspirasi dibalik frustasi, mungkin sederhananya
seperti itu. Semua hal yang identik dengan remaja bermasalah ada disini,
semangat yang tidak terkendali, ketidakdewasaan dalam bertindak dan
menghasilkan hal-hal ceroboh yang merugikan, kurang pengalaman, hingga obsesi
dan rasa cemburu. Tapi, dibalik itu Kill
Your Darlings mampu menyajikan sebuah penggambaran yang akan membuat
penontonnya ingin untuk hidup lebih baik lagi, bukan dengan teknik penjabaran
seperti belajar sejarah disertai interaksi guru dengan muridnya, melainkan
lewat cara membentuk sudut pandang penonton menggunakan proses penggabungan
antara kekuatan dari sebuah kecerdasan bersama kebodohan dengan sentuhan cinta
dan emosi yang rapuh.
Yap, dibalik kerumitan puisi dan seni yang ia
tampilkan pada dasarnya ini adalah sebuah film tentang jiwa manusia. Kondisi
stagnan dari sastra dan budaya yang terjadi pada era perang dunia ke 2 hanya
berfungsi sebagai latar, dibalik itu kita akan menemukan dramatisasi dari
proses perubahan yang dialami tiap manusia dan dikemas dengan variatif, dari anak
polos yang terjerumus akibat terpaku pada ambisi, manusia manipulatif yang
berniat memanfaatkan, hingga sosok fans yang tergila-gila seolah tidak ada lagi
orang yang tepat untuknya selain orang yang ia kagumi. Mereka dikemas dalam
ritme penceritaan yang meskipun memiliki dialog kurang kuat namun sanggup
menciptakan irama yang menarik.
John Krokidas berhasil membangun tahapan yang menarik disini,
dengan efektif membentuk proses perkenalan yang tepat sasaran, kita dapat
merasakan obsesi dari karakter utama, kemudian hadir rasa ragu pada misi
karakter utama seiring masuknya karakter lain, setelah itu bermain dengan naik
dan turun kehidupan. Tidak megah memang, namun dengan teknik yang tidak tepat
ia mampu menjadi sebuah kisah observasi yang menarik, meskipun di beberapa
bagian John Krokidas seperti hendak
sedikit mengedepankan gaya yang akhirnya memberikan sedikit nilai minus,
beberapa dari mereka terkesan dipaksakan, seperti gerak mundur yang terkesan
kurang penting dan berakhir datar, serta fokus yang sering kehilangan power.
Nilai minus tadi sebenarnya tidak mengganggu, tapi
masalahnya adalah sejak awal Kill Your
Darlings seperti sengaja dibangun dan bergerak dalam level yang stabil,
sehingga eksistensi hal-hal tadi berpotensi untuk merusak. Untung saja John Krokidas cerdik menggunakan elemen
lain untuk meminimalisir dampak destruktif yang mungkin terjadi, sebut saja
seperti penggunaan musik dalam bentuk kombinasi jazz kontemporer dengan cita
rasa modern yang terkadang menyuntikkan unsur fun kedalam cerita, sehingga tema
utama tidak menjadi kaku serta karakter memiliki ruang yang berwarna untuk
menciptakan koneksi emosi. Benar, divisi akting punya peran yang begitu besar
menyelamatkan Kill Your Darlings dari
menjadi sebuah informasi sejarah yang monoton.
Para aktor tampil kuat. Daniel Radcliffe tentu berada ditengah panggung utama, dan ia mampu
memberikan penampilan yang memikat, terlebih dalam membentuk status Allen
sebagai pemula penuh ambisi. Namun disisi lain ia juga punya chemistry yang
kuat dengan Dane DeHaan, yang justru
di banyak bagian berhasil mengalahkan Radcliffe. Misterius, manipulatif, ada
kedalaman nyawa yang menarik dari Dane
DeHaan pada karakternya, tatapan mata dan ekspresi yang ia miliki mampu
menampilkan kesombongan dan kesedihan dengan sama baiknya. Scene stealer
sendiri menjadi milik Michael C. Hall,
porsi minim namun karakternya justru tampil menarik. Ben Foster dan Jack Huston
punya beberapa momen menarik, sedangkan David
Cross dan Elizabeth Olsen minim
kesempatan.
Overall, Kill Your
Darlings adalah film yang cukup memuaskan. John Krokidas berhasil membangun sebuah biografi yang bukan hanya
menggambarkan kisah berisikan obsesi dan tekanan secara efektif, namun juga
menyenangkan dibalik teknik hafalan yang ia terapkan. Di beberapa bagian
mencoba menyuntikkan style, sedikit mengganggu, dan ia juga kerap kehilangan
power dari fokus utama. Namun kinerja dari divisi akting memberikan nilai
positif yang mumpuni, dan sukses menjadikan film ini menunjukkan bahwa untuk
dapat maju dan berkembang terkadang kita harus merelakan apa yang selama ini
kita sayangi, membunuh apa yang kita cintai.
0 komentar :
Post a Comment