“You have been
the embodiment of every graceful fancy that my mind has ever become acquainted
with.”
Jika suatu saat
ketika kisah cinta yang anda miliki telah berjalan dalam hitungan dekade, namun
perlahan mulai merasakan bahwa kekuatan cinta itu telah pudar, apa yang akan
anda lakukan? Terus memaksakan diri sekalipun faktanya sudah tidak lagi merasakan
bahagia, atau justru mengambil langkah berani dengan berlayar dan berlabuh pada
sosok baru yang dapat memberikan rasa bahagia tersebut kepada anda. Simple system but seems complicated. Hal tersebut coba digambarkan oleh The
Invisible Woman, film kedua Lord Voldemort sebagai sutradara, a sad love story in effective and elegant
way. This is a tale of woe. This is a tale of sorrow.
Dengan kemahiran
yang ia miliki dalam merangkai kata-kata tidak heran sangat sedikit orang pada
tahun di akhir abad 19 yang akan merasa ragu bahwa Charles Dickens (Ralph Fiennes) punya permasalahan dalam
kehidupannya. Apa yang ia tulis menjadi terkenal, bahkan ia panggung teatrikal
yang ia tangani juga menjadi hits. Namun faktanya berbeda, Charles telah kehilangan
gairah cinta, istrinya kini yang bernama Catherine
Dickens (Joanna Scanlan) tidak lagi ia rasa dapat menjadi rekan berbagi
bahagia dan duka bersama.
Hal tersebut
yang menjadikan Charles dengan mudah tertarik pada Nelly Ternan (Felicity Jones), gadis muda yang bersama saudari dan
ibunya, Catherine Ternan (Kristin Scott
Thomas) datang pada Charles untuk menjadi bagian dari pertunjukkan. Celakanya
daya tarik yang tercipta tidak hanya satu arah, karena disisi lain Nelly yang
sangat mengagumi karya Charles juga merasakan hal yang sama. Namun sistem
masyarakat yang berlaku saat itu menjadi penghalang, yang kemudian menjadikan
kisah cinta mereka harus terjalin dalam keterbatasan.
Konsep sederhana
tapi kompleks sepertinya terus dipegang teguh oleh Ralph Fiennes ketika membangun kisah yang ditulis ulang oleh Abi Morgan dari buku berjudul The Invisible Woman: The Story of Nelly
Ternan and Charles Dickens karya Claire
Tomalin ini. Materinya sederhana, luas lingkupnya juga tidak ada yang
rumit, tapi ada intensitas yang sangat sangat menarik disini, dan Ralph Fiennes berhasil menciptakan unsur
terpenting dari sebuah kisah drama yang berdiri tunggal hanya dengan
mengandalkan romansa: emosi. Perlahan dengan tempo yang mungkin akan terasa
sedikit lambat, penuh sabar dengan kehalusan yang mumpuni, penonton hanya
menerima dan kemudian bermain dengan rasa peka karena ini seperti mendengarkan
sebuah dongeng.
Ya, dongeng,
anda akan tertidur, atau anda akan
tertarik lebih dalam. Keuntungan yang diperoleh film ini adalah
alih-alih menggunakan penggambaran sosok Charles
Dickens hingga akhir hal tersebut justru ia pakai sebagai patokan utama,
karena dari sana kisah mulai terbuka. Perlahan terbuka, masalah-masalah lain
mulai muncul dan uniknya mereka tidak kalah menarik, mampu sejajar dengan isu egoisme
yang dimiliki kaum pria. Ya harus diakui disini Ralph Fiennes sangat cerdik dalam mempermainkan cerita, ia
mencampur tragedi dan rasa sedih dalam sebuah dramatisasi yang pas, simple tapi
tajam, sehingga sekalipun cerita berjalan terlalu stabil kita sebagai penonton
tidak pernah kehilangan intensitas dari gesekan yang dihasilkan permasalahan
utama.
Intim dan
intens, mungkin itu jawaban dari pertanyaan apa yang menjadi daya tarik utama The Invisible Woman. Memang visual juga
banyak membantu, seperti sinematografi berani yang kerap berperan dalam
membentuk suasana, hingga bagian kostum yang memperoleh nominasi Oscar tahun lalu, tapi bagaimana Ralph Fiennes menciptakan pendekatan dan
memperkenalkan masalah pada hubungan cinta itu sendiri yang terasa
mengasyikkan. Alur maju dan mundur memang kerap mengganggu, tapi anehnya kisah
cinta Charles dan Nelly tidak pernah kehilangan pesonanya, kegelisahan gairah
cinta terlarang yang bertumbuh secara perlahan, dan hebatnya mereka terbentuk
tanpa menembus batas tradisi kaum bangsawan masa lalu yang mayoritas tampak
elegan, tanpa dramatisasi seksual yang berlebihan.
The Invisible Woman sangat terbantu berkat keseimbangan antara development
pada sisi cerita dan karakter. Ini memang resiko yang tercipta ketika sutradara
tidak memberikan sesuatu yang besar sejak awal, secara bertahap ia melemparkan
kepingan-kepingan kecil yang membuat penontonnya berjalan mendekat sembari
penasaran. The Invisible Woman bahkan
lebih sering berkembang berkat momen-momen kecil yang intim dan mendebarkan, hal
yang mungkin melahirkan penilaian ini adalah sebuah kisah yang stuck dan berputar-putar.
Ada kedalaman yang terjaga dengan baik disini, bersama dialog-dialog puitis
yang tidak semuanya bekerja dengan baik tiap karakter punya ruang bermain
sendiri yang menarik untuk diamati, disamping tentu saja pertarungan pada cinta
antara mereka yang terus saja tampil menghibur.
Hingga akhir, kisah
cinta penuh ambiguitas itu terus menarik perhatian. Itu bukan hanya berkat
narasi yang sabar dengan ketukan yang tepat, sisi teknis yang mumpuni, namun
juga kinerja divisi akting. Ralph
Fiennes adalah pusat
cerita, dan ia mampu menciptakan potret yang efektif dari seorang Charles Dickens, dari popularitas dan
keahlian miliknya yang membuat banyak orang jatuh hati, hingga permasalahan
pada sisi cinta (yang juga banyak memperoleh bantuan dari kinerja Joanna Scanlan). But Felicity
Jones steals the show, bersahaja, intim dan chemistry yang mumpuni, tekanan
internal, emosi yang ekspresif bahkan hanya dengan mata dan bibirnya yang
cemberut. Dia memang tampil baik di Like
Crazy, namun ini adalah sebuah breakout performance lainnya dan mungkin akan
membawanya ke jenjang yang lebih tinggi.
Overall, The Invisible Woman adalah film yang
memuaskan. Pendekatan yang ia ciptakan berjalan dengan penuh rasa sabar, dan
berpotensi pula menggerus rasa sabar penontonnya. Tapi disamping itu ia juga
punya sebuah kisah percintaan sederhana yang dikemas dengan intim dan juga
intens, terasa halus dan ketika mampu menyentuh sisi peka dapat menjadikan
penonton terpaku hingga akhir. Film keduanya sebagai sutradara, menjadi
penasaran apalagi yang akan diberikan oleh Ralph
Fiennes selanjutnya setelah memberikan kisah sedih yang dibentuk dengan
manis ini.
0 komentar :
Post a Comment